Tahun 2018, Mengapa Tiongkok Kehilangan AS?

He Qinglian

Di penghujung tahun mendata berbagai peristiwa besar dunia tahun 2018 lalu, tidak ada yang mengalahkan memburuknya hubungan RRT-AS secara drastis. Dilihat dari keseluruhan situasi, AS tengah mempersempit sedikit demi sedikit pintu yang dulu dibukakan lebar bagi RRT, dan terhadap hal ini RRT hanya bisa pasif menerimanya.

Situasi seperti ini membuat orang teringat pada era 1940 sampai 1950an abad lalu, dimana terjadi pembicaraan besar di berbagai kalangan di Amerika seputar masalah “siapa yang membuat AS kehilangan Tiongkok”. Menilik kembali 2018, bagaimana dan kenapa RRT kehilangan AS, hal ini cukup menarik untuk dicermati.

Refleksi Strategis Terhadap Hubungan RRT-AS

Tahun 2018, segala aktivitas RRT terhadap AS masih tetap dilakukan, program “Thousand Talents Program” tetap berjalan, propaganda terhadap luar negeri tetap tajam dan gencar, ambisi besar “Made in China 2025” dengan cara meminta, meminjam dan mencuri, dipropagandakan sebagai kebijakan negara, tapi Amerika yang selama ini terus bertoleransi namun tahun ini sudah tidak bisa lagi menerimanya.

Setelah memastikan sikap presiden baru yang sangat memikirkan masalah keamanan nasional, kalangan anti-PKT/pembantai naga (bahasa Inggris: Dragon Slayer) yang selama ini tertekan dalam kebijakan diplomatik jangka panjang terhadap RRT kini mulai melontarkan pernyataan keras, semua pekerjaan Fron Persatuan yang selama bertahun-tahun dibangun oleh RRT di dalam negeri AS, tahun ini mengarah pada kehancuran.

Berbeda dengan beberapa forum dengar pendapat di tahun 2017 yang terbatas masalah kekayaan intelektual dan mata-mata akademisi, di tahun 2018 telah meningkat menjadi persaingan strategis AS-RRT. Pada tanggal 16 Februari 2018, Komisi Militer pada Kongres AS mengadakan forum dengar pendapat terkait persaingan strategis antara AS-RRT.

Dosen hubungan internasional dari Princeton University bernama Aaron Friedberg yang juga menjabat sebagai wakil asisten urusan keamanan nasional bagi Wapres Dick Cheney dari tahun 2002 hingga 2005, pada forum tersebut menyatakan, sejak berakhirnya Perang Dingin, AS menempuh kebijakan “selain berinteraksi juga menyeimbangkan” terhadap RRT, tujuannya adalah dengan menjaga stabilitas interaksi dengan RRT sekaligus juga ‘menjinakkan’ dan pada akhirnya akan mengubah RRT, membuatnya menjadi bagian dari strategi tatanan internasional liberal AS, lalu dapat mewujudkan demokratisasi politik.

Tapi RRT tidak berjalan di arah yang dikehendaki AS, tidak hanya tidak menjadi demokratis, politik dalam negeri RRT justru semakin otoriter, dalam hal militer semakin nasionalistis, dalam hal diplomatik semakin keras, bahkan terkadang mengintimidasi negara lain.

Kesimpulan Aaron Friedberg adalah: “Kebijakan AS terhadap RRT selama 25 tahun terakhir ini telah gagal; saat ini RRT tengah mencari sebuah kebijakan full (dikendalikan) pemerintah dengan ruang lingkup luas, tujuannya untuk menggantikan posisi dominan AS di Asia Timur bahkan di seluruh dunia.”

Oleh sebab itu, untuk menghadapi tantangan RRT ini dibutuhkan suatu kebijakan kombinasi baru, kebijakan yang lebih efektif menyatukan dan menggerakkan tidak hanya pihak AS saja tapi juga meliputi segenap kekuatan negara sekutu AS.

Pendapat pakar yang menghadiri forum adalah: persaingan strategis RRT-AS tak terhindarkan, sekarang AS masih ada peluang, dan harus segera mengambil keputusan. Sebulan lebih setelah forum tersebut, AS mulai melancarkan perang dagang terhadap RRT.

Untuk menghadapi perang ini, Wang Qishan yang termasuk Kelompok Pengenal AS, kerap menemui berbagai tokoh bisnis, politik dan akademis dari AS yang berkunjung ke RRT, namun senantiasa tidak berhasil, penyebabnya sebenarnya sangat sederhana: yang ditemui Wang adalah para kalangan ‘pemeluk panda (bahasa Inggris: Hug Panda)’, mereka itu adalah tokoh anti-Trump, selain tidak mengerti pemikiran Gedung Putih, pendapat yang mereka berikan sama sekali tidak tepat sasaran.

Tahun 2018: Beberapa Laporan Penting AS Melawan Penyusupan PKT

Sejak masa kekuasaan tiga presiden mulai dari Clinton selama 24 tahun, setiap kali ada konflik antara AS dengan RRT, adalah momentum bagi kaum ‘pemeluk panda’ ini memainkan perannya, begitu tokoh penting dari Komisi Nasional Hubungan AS-RRT tampil, maka awan pekat pun akan segera sirna.

Namun tahun 2018 ini berbeda dengan sebelumnya, beberapa laporan dan forum dengar pendapat di AS, semua mengarah pada kelompok ‘pemeluk panda’ ini, dan berniat tidak memberikan pasar kepada mereka.

  1. Tudingan Mata-Mata Akademisi Terungkap Ke Publik

Februari 2018, Direktur FBI Christopher Wray pada forum dengar pendapat Senat mengatakan, ‘mata-mata akademisi’ RRT telah membidik institusi akademis di seluruh AS, khususnya di bidang ilmiah dan matematika, yang mereka gunakan adalah informan yang “non-konvensional”, seperti dosen, ilmuwan, mahasiwa, informan ini pada dasarnya telah menyusup ke setiap jurusan, dan akan menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat AS.

Dan, kalangan akademis AS yang ‘lugu / naif’ mengakibatkan masalah ini menjadi semakin parah, karena mereka menolak mengakui di internal mereka terdapat ‘informan’ yang memberikan data intelijen bagi RRT.

Menurut penjelasan Wray, mata-mata PKT memanfaatkan keterbukaan pada kalangan akademisi AS, dan keterbukaan ini selama ini amat dihormati di tengah masyarakat AS; oleh sebab itu, ancaman RRT terhadap AS tidak hanya sebatas pada ‘seluruh pemerintahan AS’ saja, melainkan terhadap ‘seluruh masyarakat AS’, dan dalam hal ini dibutuhkan seluruh lapisan masyarakat AS untuk bergandeng tangan menghadapinya.

Pada forum itu Wray berkata, Confucius Institute adalah sasaran utama pengawasan oleh FBI. Karena institusi tersebut dapat bekerjasama dengan semua perguruan tinggi di AS.

Majalah “Washington Observer” telah memberitakan forum ini. Berita tersebut juga menyebutkan, rata-rata pejabat AS berpendapat bahwa RRT berencana memanfaatkan mata-mata akademisi dan proyek pendidikan untuk memengaruhi opini publik AS, semua ini merupakan bagian dari rencana jangka panjang mendorong pertumbuhan kekuatan RRT; program diplomatik jangka panjang ini disebut “Maraton Seratus Tahun”, sasaran akhirnya adalah menjadikan RRT sebagai negara adidaya menggantikan AS pada abad ini.

Tanggal 11 April, Komisi Iptek pada Kongres AS menggelar dengar pendapat membahas penyusupan badan intelijen asing terhadap institusi akademis AS. Dalam acara tersebut, banyak saksi menyebutkan, ‘mata-mata akademis’ RRT tengah menyusup ke berbagai sekolah tinggi AS, berusaha mendapatkan teknologi ilmiah, yang bisa mengancam keamanan nasional dan ekonomi Amerika.

Daniel Golden, penulis buku “Spy Academy: Bagaimana CIA, FBI dan Intelijen Asing Diam-Diam Memanfaatkan Perguruan Tinggi AS” juga ikut serta dalam forum tersebut, ia secara khusus menjelaskan, lewat Confucius Institute RRT telah meluaskan kekuatan lunak (soft power)nya beserta pengaruh jangka panjangnya, dan berupaya memengaruhi pemimpin AS generasi berikutnya; di saat yang sama RRT juga berusaha menyediakan dana lewat sekolah tinggi AS, untuk membentuk wadah bagi RRT mengumpulkan data intelijen dan memengaruhi proses politik.

  1. Kepentingan Wadah Pemikir dan K Street Lobbying Group Dengan PKT Terungkap

Tudingan ‘mata-mata akademis’ membuat kalangan riset Tiongkok di AS mengalami tekanan relatif besar. Wadah pemikir AS sejak dulu sangat dikenal dengan objektivitasnya, pemerintah dan media massa sangat mengandalkan hasil riset mereka, dan menjadi kekuatan tidak langsung yang cukup penting yang dapat memengaruhi pemerintah dan opini publik.

Namun beberapa tahun terakhir, wadah pemikir itu menghadapi tuduhan telah menerima bantuan dana untuk beropini berpihak pada pemerintah negara asing.

Surat kabar “New York Times” tanggal 7 September 2014 silam mempublikasikan suatu hasil riset menyebutkan, beberapa tahun terakhir, belasan wadah pemikir di Washington DC telah menerima dana besar dari pemerintah asing, dan telah terjerumus menjadi instansi pelobi, mendorong para pejabat AS untuk menempuh kebijakan yang menguntungkan bagi negara pemberi dana tersebut.

Sejumlah akademisi waktu itu juga terpaksa mengakui bahwa mereka telah membuat kesimpulan yang menguntungkan negara pemberi dana akibat adanya tekanan.

Menurut surat kabar “New York Times”, mayoritas dana yang menyuap wadah pemikir adalah negara dari Asia Timur, Eropa, Timur Tengah, dan sebagian negara Asia. Di antaranya UAE dan Qatar paling parah, RRT juga di posisi atas, dengan cara penyuapan yang beraneka ragam.

Kejadian tidak terpuji di atas menyangkut K Street Lobbying Group yang dibentuk oleh wadah pemikir dan tokoh politik dari Partai Demokrat, walaupun tidak ada yang menyangkal kebenaran dari laporan investigasi tersebut, pemerintah Obama tetap berpura-pura tidak tahu.

Setelah itu tuduhan serupa masih ada, beberapa laporan dan forum yang cukup dikenal antara lain: 30 Juli 2016, wadah pemikir bidang keamanan internet ICIT di Washington DC merilis laporan berjudul “China’s Espionage Dynasty: Economic Death by a Thousand Cuts”.

Laporan tersebut menyebutkan, RRT tidak hanya mencuri rahasia bisnis, tapi juga mengacau dan merusak secara ekonomi, dan ini termasuk terhadap Amerika.

Dengan adanya jerih payah selama dua tahun di atas sebagai landasan, Juni 2018 lalu, adanya pensiunan pejabat tinggi AS yang kemudian menjadi pelobi bagi RRT sekaligus menjadi duta RRT di AS dan setelah surat kabar The Daily Beast mengkritik mereka. Komisi Tinjauan Ekonomi dan Keamanan AS-RRT (USCC) pada 24 Agustus merilis laporan sepanjang 39 halaman berjudul “China’s Overseas United Front Work: Background and Implications for United States”, secara menyeluruh mengungkap latar belakang sejarah pekerjaan Fron Persatuan PKT tersebut, tujuannya, struktur organisasainya, dan analisa metode Fron Persatuan PKT terhadap AS, Taiwan, Australia dan lain-lain.

Laporan tersebut juga membelejeti Confucius Institute bahwa Confucius Institute yang didirikan oleh Han Institute pada Departemen Pendidikan RRT, hingga tahun 2017 lebih dari 500 unit institut ini telah didirikan di lebih dari 140 negara di seluruh dunia, ambisinya adalah memutihkan citra PKT.

Confucius Institute membolehkan siswa mempelajari Bahasa Mandarin, tapi tidak memperbolehkan siswa membahas soal Tragedi Tiananmen, Taiwan, Xinjiang, Falun Gong dan topik lain yang mereka anggap sensitif.

Selain itu, organisasi independen yang bekerjasama dengan Confucius Institute serta Departemen Fron Persatuan yang disebut sebagai “Asosiasi Pelajar dan Cendekia Tiongkok”, didirikan setelah Tragedi Tiananmen dan memiliki lebih dari 150 cabang di seluruh dunia.

Organisasi ini berhubungan erat dengan Kedubes RRT di setiap negara, misi utamanya adalah mengawasi pelajar RRT di luar negeri dan mengintervensi kegiatan sekolah setempat.

Reaksi masyarakat internasional terhadap pidato Wapres Pence di Hudson Institute, Washington DC pada 4 Oktober 2018 yang secara terbuka menuding intervensi militer RRT – pencurian rahasia bisnis – penindasan HAM dan – upaya intervensi terhadap pilpres paruh waktu AS pada 6 November lalu, cukup keras, ada yang bahkan mengkritik pidato ini telah “membuka kembali layar perang dingin”, dan menyebabkan keretakan hubungan AS-RRT.

Jika memahami kebijakan AS terhadap RRT, akan didapati bahwa konten pidato Pence selama beberapa tahun terakhir kerap muncul di wadah pemikir kalangan Anti PKT di Washington, Michael Pillsbury, yang disebut dalam pidato Mike Pence merupakan salah satu tokoh Anti PKT, di tahun 2015 ia menulis buku “2049: Maraton Seratus Tahun — Rahasia RRT Kuasai Dunia” yang laris terjual, tema buku tersebut adalah merefleksi hubungan AS-RRT secara menyeluruh dan kesalahan penilaian AS terhadap RRT sehingga menimbulkan kebijakan diplomatik yang salah kaprah.  (SUD/WHS/asr)

Bersambung

Artikel Ini Terbit di Epochtimes versi Bahasa Indonesia Edisi 586