Pencemaran Sampah Plastik yang Memasuki Lautan Didominasi Bersumber dari Sungai di Tiongkok

Chriss Street

ETindonesia- Sebanyak 91 persen dari 8,8 juta ton sampah plastik yang mengalir ke lautan pada setiap tahun bersumber dari aliran sungai.  Melansir dari The Epochtimes, Sungai Yangtze dan lima sungai di Tiongkok lainnya adalah pencemar yang paling dominan.

Polusi lingkungan laut dengan puing-puing plastik secara luas, diakui sebagai meningkatnya keprihatinan ekologis. Dikarenakan, persistensi kimia dari plastik dan fragmentasinya menjadi “mikroplastik.” 

Sampah plastik itu kemudian dilahap oleh organisme kecil, seperti zooplankton. Kemudian dimakan oleh predator yang semakin besar dalam rantai makanan di lautan.

Produksi plastik dimulai pada tahun 1950 dengan 2,3 juta ton. Jumlahnya mengalami pertumbuhan menjadi 448 juta ton pada tahun 2015. 

Sebanyak 18 persen dari plastik yang diproduksi, tidak ditangani dengan benar. Bagi para peneliti disebut sebagai “limbah plastik yang dikelola secara salah.” 

Dengan tren produksi global, diperkirakan bahwa “sampah plastik yang salah dikelola” melonjak tiga kali lipat menjadi 170 hingga 292 juta ton pada tahun 2060 mendatang.

Tiongkok yang dikuasai oleh pemerintahan Komunis Tiongkok, saat ini mendominasi industri plastik dengan sekitar 143 juta ton produksi, atau sekitar 29 persen dari pangsa pasar global. 

Akan tetapi, Tiongkok selama beberapa dekade juga menyediakan layanan pemrosesan daur ulang untuk sekitar 70 persen daur ulang plastik global.

Hampir dua pertiga dari plastik baru yang diproduksi, digunakan untuk tujuan komersial dengan harapan bertahan rata-rata sekitar sepuluh tahun. 

Tetapi, Tiongkok memproduksi sekitar setengah dari semua bahan kemasan plastik yang memiliki harapan bertahan rata-rata hanya enam bulan.

Menurut laporan investigasi National Public Radio, dikarenakan sebagian besar bungkus plastik tidak dapat didaur ulang secara menguntungkan, banyak limbah plastik domestik dan impor Tiongkok dibuang oleh “pendaur ulang” yang tidak diatur.  Mereka “membuang barang-barang yang tidak dapat didaur ulang, menyebabkan polusi di daratan dan di aliran air, ”

Dari 8,8 juta ton sampah plastik yang hanyut hingga ke sungai-sungai besar yang mengalir ke laut. Sebanyak sepuluh besar” sungai pencemar menyumbang 88 hingga 95% plastik yang mengalir setiap tahun ke lautan dunia. Enam sungai Tiongkok dalam daftar “sepuluh besar” — Sungai Yangtze, Sungai Kuning, Sungai Hai, Sungai Mutiara,  Sungai Amur yang berbatasan dengan Rusia, dan Tanjung Sungai Mekong — menyumbang sekitar 3,8 juta ton, atau hampir setengah dari aliran plastik dunia ke lautan. 

Sungai Yangtze sendiri, menyumbang sebanyak 1,6 juta ton plastik yang dibuang ke lautan. Rezim Tiongkok mulai menindak pencemaran plastik mulai tahun 2017 silam. Pemerintah itu mulai bergerak untuk melarang hampir semua impor sampah pada pertengahan 2018 silam. 

Langkah itu, mengakhiri 700.000 ton sampah plastik yang diekspor setiap tahun oleh Amerika Serikat ke Tiongkok.

The Huffington Post, melaporkan bahwa kota Shanghai, Tiongkok, mulai memberlakukan pemilahan kode warna tempat sampah untuk perumahan dan komersial. Untuk tempat sampah hitam khusus untuk sampah “kering,” coklat untuk sampah “basah,” biru untuk sampah yang “dapat didaur ulang” dan merah untuk sampah yang “berbahaya.” 

Menentukan jenis sampah  dalam kategori tertentu, kini menjadi wajib di Shanghai pada 1 Jul lalu. 

Komunis Tiongkok hanya mendaur ulang sekitar 20 persen dari limbahnya, dibandingkan dengan sekitar 35 persen di Amerika Serikat. Negara itu secara historis mengandalkan jutaan pengusaha “informal” yang menggali tempat sampah untuk plastik dan kaca yang bisa dijual. 

Untuk meningkatkan volume daur ulang, hukuman denda di Shanghai bagi setiap pelanggaran warna daur ulang, kini mencapai adalah 200 yuan atau sekitar  28 dolar AS. (asr)