Inisiatif Belt and Road Mendatangkan Konsekuensi Buruk, Teriakan Presiden Sri Lanka Mundur Menggema

Lin Yi – NTD

  • Sri Lanka, sebuah negara Asia Selatan yang terperangkap dalam perangkap utang “Belt and Road” partai komunis Tiongkok, kini sedang menghadapi krisis ekonomi terburuknya sejak kemerdekaan pada tahun 1948.
  • Aksi protes massal meletus di seluruh negeri, menuntut pengunduran diri presiden Gotabaya Rajapaksa. Pihak berwenang mencabut perintah darurat pada Selasa, 5 April 2022.

Pada Selasa (5/4) malam, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengeluarkan komunike yang membatalkan keadaan darurat yang mulai berlaku pada 1 April.

Namun demikian, gelombang aksi protes rakyat tidak kunjung mereda.

Dokter dari seluruh Sri Lanka berkumpul di jalan-jalan ibukota Kolombo pada Rabu 6 April, untuk memprotes kekurangan obat-obatan penting di rumah sakit karena krisis ekonomi.

Mereka khawatir sistem kesehatan negara bisa ambruk.

Vasan Ratnasingam, juru bicara Asosiasi Pejabat Medis Pemerintah mengatakan: “Kami telah mengidentifikasi kekurangan lima obat-obatan vital dan kekurangan 189 obat-obatan esensial. Akibatnya, kami akan menghadapi bencana kesehatan yang akan segera terjadi.”

Sejak Sri Lanka bergabung dengan “Inisiatif Belt and Road” partai komunis Tiongkok, negara itu telah terperosok dalam krisis utang. Ditambah dengan epidemi dan perang Rusia-Ukraina, industri pariwisata yang diandalkan negara itu telah terpukul keras, memicu memburuknya ekonomi  dalam beberapa dekade. Lebih parah lagi menyebabkan, kekurangan makanan, perawatan medis, bahan bakar dan kebutuhan lainnya yang serius, dan melonjaknya harga barang telah menyebabkan keluhan publik.

Seorang pemilik toko kecil, N.K. Amitha mengatakan: “Saya baru-baru ini memulai usaha kecil. Tetapi sangat sulit untuk mempertahankannya. Tidak ada gas, tidak ada BBM. Itu sebabnya orang-orang turun ke jalan untuk memprotes.”

Sementara itu, seorang Supir taksi, Ruwanpathiranage Dharmawardena berkata : “Orang-orang sangat menderita. Kesabaran mereka telah habis.”

Untuk meredam gelombang aksi protes, sebanyak 26 menteri kabinet mengundurkan diri pada 4 April, tetapi Presiden Rajapaksa kemudian mengangkat kembali empat menteri baru, sedangkan saudaranya, Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa saat ini, tidak mengundurkan diri.

 Para pengunjuk rasa  di negara itu terus menuntut agar keluarga Rajapaksa mundur, sebagai bentuk reformasi politik.

Seorang demonstran, Muneera Dawoodbhoy berkata: “Masalahnya adalah, kami tidak hanya mencoba mengganti dan merombak anggota yang sama dan membuat hal yang sama terjadi berulang kali. Kami menginginkan perubahan sistemik.”

Rajapaksa mencoba membentuk pemerintahan persatuan, tetapi partai yang berkuasa dan oposisi menolak proposal tersebut. (hui)