Ketidakpastian Indonesia Mengejutkan Harapan Beijing

oleh Gregory Copley

Tidak ada apa pun dalam keseimbangan global  yang  tampaknya  pasti saat 2022 berkembang. Tidak pula di Indo-Pasifik, di mana  Tiongkok berada di antara harapan pertumbuhan strategis di luar negeri dan realitas kontraksi ekonomi di dalam negeri.

Indonesia, khususnya, dipengaruhi secara signifikan oleh Beijing yang berusaha untuk memperluas pengaruhnya, karena penguasaan RI atas sumber daya dan jalur laut yang vital

Dan, Indonesia, jika ingin mempertahankan pertumbuhan ekonominya di dunia yang menghadapi gangguan ekonomi, terus melihat Tiongkok sebagai harapan terbaiknya untuk investasi asing skala besar.

Presiden Jokowi menghadapi tantangan ekonomi besar-besaran, terutama dengan keputusannya pada  Januari 2022 untuk memindahkan ibu kota  dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur—800 mil jauhnya—ke kota yang

direncanakan bernama Nusantara. Langkah ini diproyeksikan menelan biaya 466 triliun rupiah tetapi pada akhirnya akan dapat menelan biaya hingga 10 kali lipat.

Para politisi dan pejabat keamanan nasional menyadari bahwa jika langkah tersebut mengharuskan pemerintah untuk mencari dukungan keuangan Tiongkok, maka harapan perlawanan yang berarti terhadap tuntutan strategis Beijing akan berkurang. Tetapi Tiongkok mungkin tidak mampu membayar komitmen pembiayaan proyek besar seperti itu, terlepas dari pengaruh yang akan diberikan Beijing.

SoftBank Jepang—yang telah menunjukkan minat untuk membiayai kota baru itu—mengundurkan diri dari proyek tersebut pada Maret 2022.

Mungkin juga terbukti terlalu mahal untuk Arab Saudi. Tetapi sesuatu harus dilakukan dengan cepat untuk meredakan tekanan di Jakarta. Sebagian besar tanah ibu kota itu saat ini sedang ambles, dan polusi serta kemacetan menjadi tidak dapat dikendalikan.

Uni Emirat Arab menawarkan $10 miliar untuk ibu kota baru, tetapi lebih dari 50 persen anggaran sekarang kemungkinan akan berasal dari pemerintah Indonesia. Hal ini secara signifikan akan membebani bidang anggaran lainnya, terutama pertahanan, yang sudah mendapat porsi anggaran lebih rendah daripada di negara-negara ASEAN atau Australia lainnya.

Ketika muncul isu mengupayakan amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi melampaui 2024, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani  putri mantan Presiden Megawati Sukarnoputri (2001-2004), bahkan bulan lalu terpaksa membantah desas-desus bahwa dia telah ditawari kesempatan  untuk  menggantikan wakil presiden Jokowi saat ini, Ma’ruf Amin, jika masa jabatan tambahan dapat diusahakan untuk Sang Presiden.

The Asia Times mengatakan pada 29 Maret bahwa perpecahan dalam PDI-P tentang apakah akan mencari masa jabatan tambahan untuk Jokowi sebagian berasal dari gesekan antara  pendukung  Gubernur Jawa Tengah yang karismatik, Ganjar Pranowo, dan orang-orang dari Puan Maharani, yang sebagian besar disebabkan oleh keunggulan yang dimiliki Ganjar atas dirinya dalam jajak pendapat calon presiden berikutnya.

Megawati masih  menjalankan  otoritas yang cukup besar atas 128 kursi PDI-P, meskipun hubungannya dengan Jokowi sering renggang. Ada spekulasi bahwa Megawati, putri mendiang Presiden Sukarno, sangat ingin melihat keluarganya terus mengontrol kepresidenan. 

Perekonomian  Indonesia  mungkin telah pulih dari penurunan signifikan pada 2020—dengan PDB turun menjadi $1,058 triliun dari 2019 sebesar $1,119 triliun—dan diperkirakan akan mencapai lebih dari $1,15 triliun pada 2022.

Sebagai perbandingan, PDB negara tetangga Australia bernasib relatif baik pada 2020 sebesar $1,331 triliun, turun hanya sedikit dari 2019 sebesar $1,393 triliun. Tetapi Australia diperkirakan akan mencapai $1,37 triliun pada 2021, hanya sedikit peningkatan dibandingkan 2020, tetapi kemudian mencapai $1,45 triliun pada 2022.

Semua ini menimbulkan pertanyaan ke mana Indonesia akan pergi dengan pengeluaran pertahanannya, terutama dibandingkan dengan Australia, dan terutama mengingat pertanyaan apakah  Australia dan Indonesia dapat bekerja sama untuk membatasi Tiongkok secara militer. 

Atau apakah Indonesia akan condong ke Beijing. Ini mungkin kurang menjadi perhatian Canberra satu dekade lalu, tetapi di bawah Jokowi, pertahanan Indonesia telah dipercayakan kepada mantan Jenderal Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.

Menteri Prabowo mewarisi kekuatan militer yang, dalam kata-katanya sendiri pada Debat Capres 2019 lalu “sangat lemah”, dan bahkan pada anggaran 2021, ia hanya berhasil meningkatkan belanja pertahanan menjadi 0,78 persen dari PDB Indonesia.

Dalam tiga bulan menjabat, Prabowo telah mengunjungi tujuh negara: Prancis, Turki, Jepang, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Tiongkok. Dia membuat kesepakatan untuk mengakuisisi 42 pesawat tempur Dassault Rafale, dua kapal selam Scorpene, dua pesawat angkut Airbus A400M dari Prancis, dan delapan fregat Fincantieri dari Italia.

Prabowo, meskipun prihatin dengan kemampuan Indonesia untuk berpatroli di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang luas, telah mengindikasikan bahwa ia merasa serangan ke perairan Indonesia oleh rezim Tiongkok bukanlah ancaman besar karena hubungan ekonomi Indonesia-Tiongkok yang sehat. 

Memang, Tiongkok tetap menjadi investor terbesar kedua dan mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Jadi, apakah Beijing menjadi investor atau tidak di Nusantara, ia akan mempertahankan posisi pengaruh yang dominan.

Lebih penting lagi, Beijing sangat mendukung kontrol pemerintah Indonesia atas Papua Barat, yang kedaulatannya  diperebutkan oleh penduduk asli Papua. Dalam benak para pemimpin Indonesia, Australia dan Selandia Baru tidak akan menjadi pendukung kedaulatan Jakarta atas Papua Barat, wilayah ekspor sumber daya paling signifikan di Indonesia.

Perang saudara di Papua Barat terus meningkat. Kasus yang dibuat orang Papua tentang ilegalitas perampasan wilayah oleh Indonesia pada 1963, ketika pasukan kolonial Belanda mundur, juga mendapatkan dukungan dan perhatian internasional yang lebih besar.

Pada 27 Maret, separatis teroris Papua menyerang pangkalan satuan tugas Angkatan Laut Indonesia di Kenyam, daerah Nduga, di Provinsi Papua,  seorang Marinir gugur dan melukai sembilan lainnya. Namun kelompok separatis KKB melaporkan telah membunuh dua Marinir.

Beberapa hari kemudian, penyerang dari Tentara Pembebasan Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka, menembak dan membunuh seorang tentara Indonesia dan istrinya serta melukai dua anak mereka dalam serangan di Distrik Yalimo, Papua. Kematian orang Indonesia dan Papua dilaporkan hampir terjadi setiap hari.

Perang ini tidak akan hilang, tetapi cadangan emas dan energi provinsi ini sekarang menjadi landasan kekayaan Indonesia. Amerika Serikat memulai eksploitasinya di sana, tetapi Tiongkok membutuhkan sumber daya dan kekayaan yang  mereka ciptakan untuk Beijing dan Jakarta—tetapi tidak untuk orang Papua. (Eko)

Gregory Copley adalah presiden  International Strategic Studies  yang berbasis di Washington. Lahir di Australia, Copley adalah Anggota Ordo Australia, pengusaha, penulis, penasihat pemerintah, dan editor publikasi pertahanan. Buku terbarunya adalah The New Total War of the 21st Century and the Trigger of the Fear Pandemic.