Perubahan Kepemilikan pada Twitter, Dapatkah Partai Komunis Tiongkok Memanfaatkan Peluang?

DR. XIE TIAN

Perusahaan media sosial Twitter asal AS (Amerika Serikat) baru-baru ini tiba-tiba mengalami perubahan kepemilikan. Konglomerat wahid dunia, Elon Musk berhasil mengakuisisi perusahaan Twitter dengan nilai 44 miliar USD (637 triliun rupiah per 6 Mei). 

Musk sebelumnya telah berjanji, baik akuisisi ini berhasil ataupun tidak, ia akan berupaya menyelesaikan permasalahan kebebasan berpendapat yang menurutnya terjadi pada platform Twitter bahkan di seluruh AS. Mengaktifkan kembali akun yang diblokir, adalah dugaan terbanyak dari para pengguna Twitter. 

Kolumnis AS bernama Benny Johnson bertanya di Twitter, “Begitu Musk mengendalikan Twitter, akun diblokir mana yang paling Anda inginkan untuk diaktifkan kembali?” Jawaban terbanyak pengguna Twitter adalah akun milik mantan Presiden AS, Donald Trump.

Akuisisi  ini  telah  membuat  kalangan masyarakat kaum konservatif maupun yang berupaya mengembalikan tradisi merasa lega, mereka menilai akuisisi ini akan membuat Twitter menjadi sebuah platform media sosial yang adil dan fair, serta menjadi ajang kebebasan berpendapat, menjadi sebuah “balai kota” (town hall) bagi masyarakat AS seperti yang dikatakan Musk, juga menjadi platform bagi masyarakat biasa untuk berpendapat secara bebas dan bertukar informasi. 

Tapi akuisisi dan privatisasi Twitter ini, telah membuat kaum sayap kiri dan juga kelompok radikal hingga kekuatan “progresivisme” merasa cemas, dan mereka mengerahkan seluruh perangkat media sosial, untuk melontarkan caci maki begitu tawaran akuisisi tersebut diluncurkan, selama proses akuisisi berlangsung berbagai “peringatan” dilontarkan secara intens. Bahkan berusaha meminta lembaga pemerintah federal seperti Komisi Komunikasi Federal (FCC), Komisi Dagang Federal (FTC), dan juga Kementerian Kehakiman AS (DOC) untuk melakukan pemblokiran!

Apakah alasan kaum sayap kiri menginginkan FCC untuk turun tangan? Open Market Institute (OMI) berupaya mengutip UU telegraf AS 1860 (Telegraph Act of 1869), yang menyebutkan akuisisi ini “telah menjadi ancaman langsung bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat di AS”, mereka merasa bahwa FCC, FTC, dan DOJ mempunyai wewenang yang diberikan hukum, untuk mencegah keberhasilan transaksi ini. Ini sungguh tidak masuk akal dan memutar balikkan fakta. 

Seorang konglomerat AS mengakuisisi sebuah perusahaan media sosial adalah hal yang sangat wajar, media massa AS,yang terkenal, mulai dari surat kabar hingga

televisi, selama seratus tahun terakhir entah sudah berapa kali diperjualbelikan. 

Seperti yang baru-baru ini terjadi, belum lama ini CEO Amazon, Jeff Bezos telah mengakuisisi surat kabar Washington Post, pengusaha etnis Tionghoa bernama Patrick Soon-Shiong mengakuisisi surat kabar Los Angeles Times, pemimpin spiritual aliran “The Unification Church” Sun Myung Moon membeli surat kabar Washington Times, CEO Salesforce Marc Benioff membeli majalah Times, tidak satu pun timbul reaksi dari kaum sayap kiri yang menggunakan kriteria ganda seperti itu.

Untungnya pejabat FCC masih berpikiran jernih. Direktur FCC, Brendan Carr pada 27 April lalu pun menyampaikan pernyataan yang menegaskan,  “FCC  tidak  memiliki wewenang dan tidak layak memblokir penawaran akuisisi Twitter oleh Elon Musk, pemikiran apa pun yang menilai bahwa kami dapat melakukan hal itu, adalah sesuatu yang konyol.” 

Pernyataan FCC secara khusus menjelaskan hal ini, dan tidak akan menggubris alasan yang tidak serius seperti itu lagi. Brendan Carr dulunya adalah seorang pengacara, lalu diangkat menjadi pengacara penasihat FCC, ia pada 2017 diangkat menjadi Direktur FCC oleh Presiden Trump yang kemudian disetujui oleh senat AS pada Agustus 2017.

Kalangan media bias dan sayap kiri di AS telah sengaja mengabaikan dewan direksi Twitter sebelumnya yang memblokir suara kaum konservatif dan menutup akun Presiden Trump, dan condong pada satu pihak pada Pilpres 2020  lalu,  sementara terhadap upaya Musk mengembalikan Twitter menjadi ajang kebebasan berpendapat, justru dikeluhkan, hal ini menunjukkan perpecahan ideologi di tengah masyarakat AS saat ini. 

Kecemasan kaum sayap kiri ini sama sekali tidak perlu tapi terhadap perubahan yang dialami Twitter, apakah PKT (Partai Komunis Tiongkok) berpeluang campur tangan, dengan memberikan tekanan terhadap investasi Musk di Tiongkok untuk menyusupkan pengaruh PKT? 

Kemungkinan ini telah memicu sorotan masyarakat luas. Pesaing Musk dalam bidang antariksa sekaligus konglomerat terkaya kedua di dunia yakni CEO Amazon Jeff Bezos, juga secara terbuka meragukan hal ini.

Pendiri Amazon, Jeff Bezos acapkali berkonfrontasi dengan Musk, tak terkecuali kali ini. Bezos meragukan, Tesla milik Musk harus mengandalkan  pasar dan produksinya di Tiongkok, hal ini mungkin akan mengakibatkan Twitter harus menghadapi tekanan  dari  PKT   di masa mendatang. 

Bezos menjawab pertanyaan seorang wartawan New York Times di Twitter, di mana wartawan itu mempertanyakan ketergantungan Tesla pada pasar Tiongkok yang besar dan baterai  Lithium-nya,  “Pertanyaan yang menarik adalah, apakah pemerintah Tiongkok sekarang mampu mengendalikan ‘balai kota’ ini?” Perdebatan antara kedua konglomerat ini, bahkan telah memicu respons dari Kemenlu Tiongkok yang bergegas mendahului.

Istilah “balai kota” yang dikutip oleh Bezos, adalah mengejek cuitan Musk di Twitter, Musk menilai bahwa kebebasan berpendapat adalah pondasi berjalannya demokrasi, sedangkan Twitter merupakan sebuah “balai kota” digital, di mana segala permasalahan penting yang menyangkut masa depan masyarakat dapat dibahas di forum ini. 

Apakah perubahan di Twitter ini akan memberikan peluang untuk dimanfaatkan oleh PKT? Apakah “balai kota” digital milik Musk ini akan dikendalikan oleh PKT? Apakah PKT akan memperoleh keuntungan dan memanfaatkan perubahan di Twitter, memang merupakan hal yang harus dicermati masyarakat. Walau juru bicara pemerintahan Tiongkok telah menyatakan sikap, mengatakan Beijing tidak akan intervensi dan campur tangan dalam hal ini, masyarakat dunia tentu tidak semudah itu percaya pernyataan tersebut. Tapi apakah PKT berniat dan mampu memaksakan pengaruhnya? Inilah pertanyaan yang paling krusial.

Bezos merasa Tesla “mungkin akan terjerumus ke dalam kondisi yang sangat rumit di Tiongkok”, tetapi ia juga menambahkan, selama ini Musk dikenal sangat mahir mengatasi masalah yang rumit, Faktanya memang demikian, investasi Musk di Shanghai, sepertinya telah memprediksikan adanya kemungkinan gangguan  semacam ini dari politik dan pemerintah, dan

dia berhasil menggunakan cara bisnis untuk menghindari risiko politik.  Sehingga menyebabkan penguasa  di Tiongkok sama sekali tidak bisa mencari celah yang bisa dimanfaatkan.

Kemenlu PKT mengatakan, pihaknya tidak akan memaksakan pengaruhnya terhadap platform Twitter melalui raksasa mobil listrik Tesla. Dalam hal ini, PKT bukan tidak mau melakukan, melainkan tidak mampu melakukannya.

Dalam bisnis internasional, menghindari risiko politik (political risk) dan risiko regulasi (regulatory risk) adalah hal yang wajib dipertimbangkan dan direncanakan dengan matang oleh seorang pengusaha yang handal. 

Karena ketika sebuah perusahaan masuk ke negara yang memiliki risiko tinggi, ada kemungkinan akan kehilangan seluruh investasi, teknologi, dan pasarnya, mungkin  juga  terpaksa harus hengkang dengan menyedihkan dari negara yang dituju akibat perubahan iklim politik di negara tersebut, dan akan kehilangan seluruh investasinya. Satu cara yang sangat efektif untuk menghindari risiko itu adalah, dengan “meminjam uang di negara setempat” (borrow locally, red.).

 Makna dari strategi ini adalah, jika perusahaan mempunyai kredibilitas dan reputasi yang baik, dapat meminjam modal dari negara investasi yang dituju, dengan modal pinjaman tersebut membangun dan menjalankan perusahaannya, dan bukan dengan membawa modalnya sendiri dari negara asal. 

Dengan demikian, risiko politik yang dihadapi perusahaan mungkin dapat ditekan hingga paling rendah, karena jika pemerintah negara setempat akhirnya menyita perusahaan itu, yang akan menanggung risiko terakhir adalah bank setempat.  Bahkan mungkin bank milik pemerintah itu sendiri, dan biasanya cara ini dapat mencegah berbagai tindakan ilegal pemerintah setempat.

Pabrik Tesla milik Musk di Shanghai, adalah salah satu dari empat pabrik produsen mobil listrik berskala besar Tesla di seluruh dunia. Kelebihan Musk adalah, dia telah menangkap pemikiran rezim Beijing yang buru-buru hendak menyerap investasi asing, membangun pabrik, ditambah lagi adanya perselisihan di antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang mendukung di permukaan tapi menentang di belakang, juga memanfaatkan nilai Tesla sebagai merek internasional serta keunggulan teknologinya, sehingga berhasil membuat pihak Beijing memberikan banyak kompromi. 

Tanah dibangunnya pabrik Tesla di Shanghai, adalah lahan yang diberikan  secara khusus oleh pemerintah Kota Shanghai, serta diberikan perlakukan tanpa pajak yang sangat istimewa; modal yang dibutuhkan oleh Tesla, juga disediakan oleh perbankan Tiongkok dengan kredit lunak. Musk sama sekali tidak perlu membawa modal miliknya sendiri, tapi mampu mendirikan pabrik di Tiongkok. Bagaimana tentang keunggulan teknologi Tesla, apakah akan dicuri oleh PKT?

PKT jelas mengincar teknologi canggih milik Tesla. Namun Musk sepertinya tidak begitu ambil pusing akan kehilangan teknologi tersebut, dia sendiri bahkan berinisiatif membebaskan hak patennya, dengan melepaskan sejumlah hak paten terkait mobil listrik. 

Alasan Musk begitu penuh percaya diri adalah karena dia yakin Tesla akan terus mengembangkan teknologi baru, terus menjadi pionir teknologi, terus berinovasi, dan akan meninggalkan semua pesaingnya jauh di belakang. 

Musk juga tidak keberatan menggunakan para pemasok lokal Tiongkok, juga terus membina sistem pasokannya sendiri, untuk memproduksi mobil listrik yang akan dijual di dalam negeri Tiongkok.

Dengan kondisi seperti itu, apakah PKT masih dapat menjadikan Tesla sebagai alat untuk memeras, untuk menekan Musk? Sama sekali tidak mungkin! Bagaimana jika PKT tidak bisa memaksa Musk, sehingga Tesla harus hengkang dari Tiongkok, apa yang akan terjadi? Hal ini hanya akan melontarkan sinyal yang sangat kuat kepada seluruh dunia, dan akan mengakibatkan seluruh industri rantai pasokan yang masih tersisa di Tiongkok akan semakin cepat hengkang dari Tiongkok. 

Faktanya adalah PKT yang lebih membutuhkan Musk, dan bukannya Musk yang lebih membutuhkan PKT. 

Apalagi, Musk juga mempunyai sebuah kartu as, Starlink Program, yang dapat menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan segala blokade internet oleh PKT! Beijing sangat ketakutan akan prospek beroperasinya Starlink di Tiongkok, dan tidak mempunyai cara apa pun pula untuk mengantisipasinya.

Terhadap perubahan di Twitter, kalangan yang penuh dengan rasa keadilan akan merasa sangat bersyukur; terhadap PKT yang tidak akan bisa memanfaatkan  celah dari perubahan di Twitter, masyarakat juga akan merasa lega. 

Musk berkata, “Saya berharap bahkan pengkritik yang paling buruk terhadap saya pun tetap dapat berada di Twitter, karena inilah makna kebebasan berpendapat yang sesungguhnya.” 

Terhadap hal ini kita menantikan pembuktian. Masyarakat berharap orang yang penuh dengan kebajikan dan kebenaran, dapat terus mempertahankan kebajikan dan ketulusannya, tetapi masyarakat juga harus mengantisipasi jika banyak orang akan berubah dan berjalan ke arah kemerosotan akibat godaan dan rayuan PKT yang sesat. 

Karena bagaimanapun manusia adalah manusia, bukan dewa maupun malaikat, mayoritas masyarakat juga tidak mampu menjadi orang arif bijaksana, selama manusia masih mempunyai keinginan menuntut keuntungan dan kepentingan.  

Maka mungkin saja masih akan tergoda oleh kepentingan yang lebih besar, tentu saja ini adalah takdir dan keterbatasan umat manusia.

Maka dari itu, marilah kita semua, lanjutkan men-tweet dan mem-forward-nya, lanjutkan penyebaran fakta, juga lanjutkan mendorong Musk untuk terus melangkah ke depan. (SUD)