Presiden Sri Lanka Kabur ke Luar Negeri, Apa Penyebab Krisis Terbesar dalam 70 Tahun?

Jin Shi

Sri Lanka sedang mengalami krisis terburuk dalam kurun waktu 70 tahun. Para pengunjuk rasa menduduki istana kepresidenan selama beberapa hari. Presiden Gotabaya Rajapaksa akhirnya kabur ke luar negeri. Seperti apa awal mula krisis yang melanda Sri Lanka, simak laporan analisisnya.

Pada 11 Juli, di Kolombo, ibu kota Sri Lanka, gara-gara hampir tidak ada lagi pasokan gas, restoran hanya bisa menggunakan kayu bakar untuk memasak.

Seorang Koki restoran, Abdul Kasim berkata : “Sudah 15 hari. Pihak berwenang mengatakan akan ada gas, tapi belum ada.”

Sementara itu, para pengunjuk rasa berhasil menduduki kediaman presiden di Sri Lanka untuk hari ketiga berturut-turut. Massa menuntut presiden mengundurkan diri.

Pemimpin demonstran Lahiru Weerasekera mengatakan rakyat tidak akan meninggalkan istana presiden dan kantor perdana menteri, sampai para pemimpin  secara resmi mengumumkan pengunduran diri mereka.

Pada 9 Juli, ribuan pengunjuk rasa menyerbu kediaman presiden dan membakar kediaman pribadi perdana menteri, sedangkan perdana menteri dan presiden telah melarikan diri. Sejumlah orang  terjun ke kolam renang mewah Istana Kepresidenan dan berenang dengan baik. Para personel keamanan kediaman presiden tidak menanggapinya.

Menghadapi gelombang tekanan opini publik, Kantor Perdana Menteri mengumumkan pada Senin 11 Juli, bahwa Presiden Rajapaksa dan seluruh kabinet akan mengundurkan diri yang memberikan jalan bagi pembentukan pemerintahan baru.

Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe mengatakan pihaknya membutuhkan pemerintahan koalisi semua partai dan sedang mengusahakannya.

Kabar terbaru, Rajapaksa telah tiba di sebuah pangkalan udara di dekat Bandara Internasional Kolombo. Beberapa media Sri Lanka berspekulasi bahwa Rajapaksa mungkin telah melarikan diri ke luar negeri. Ia juga dikabarkan kabur ke Maladewa. 

Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken mengatakan sedang memantau perkembangan politik di Sri Lanka.

Sri Lanka kini mengalami krisis ekonomi terburuk sejak didirikan lebih dari 70 tahun lalu. Kini dilanda parahnya kekurangan makanan dan obat-obatan.  Orang-orang kini mengalami kelaparan, minyak, persediaan gas alam dan cadangan devisa hampir habis. Bahkan kebutuhan bahan pokok tidak dapat lagi diimpor dari luar negeri.

Bagaimana Sri Lanka, yang pernah menjadi negara dengan ekonomi yang tumbuh dengan cepat, menjadi seperti sekarang ini?

Komentator urusan internasional Tang Hao mengatakan kebangkrutan Sri Lanka sebenarnya melibatkan banyak alasan. Yang pertama dan paling penting adalah korupsi politik dan kurangnya disiplin fiskal. Secara khusus, serangan teroris tahun 2019 dan epidemi berikutnya telah memukul pendapatan pariwisata dengan keras, akan tetapi pemerintah bukannya menggerakkan negara dengan bijaksana sesuai kemampuan mereka, mereka justru  menghabiskan banyak uang untuk merangsang ekonomi, dan sebagai hasilnya, mereka mengumpulkan utang dalam jumlah besar. 

Lebih buruk lagi, Sri Lanka tiba-tiba melarang impor pupuk kimia pada akhir April tahun lalu. Pemimpin negara itu mengklaim mempromosikan “pertanian organik”, yang mengejutkan jutaan petani. Sehingga menyebabkan tanaman padi sebagai penghasilan utama dari pertanian  di negara itu menjadi anjlok. Akhirnya  Sri Lanka dilanda krisis pangan.

Ditambah lagi meletusnya Perang Rusia-Ukraina pada akhir Februari lalu, menjadi pukulan terakhir. Perang tersebut mendorong harga pangan dan energi global meningkat, menyebabkan Sri Lanka menghabiskan cadangan devisanya dan tak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

Tang Hao juga mengomentari tentang Sri Lanka yang bergabung dengan inisiatif “Belt and Road” Tiongkok dan berhutang sebesar 5,5 miliar dolar AS  untuk mengembangkan infrastruktur, yang mana justru meningkatkan tekanan pada utang. Tak hanya dipaksa menyewakan  pelabuhan untuk melunasi utang, tetapi juga menyebabkan negara bangkrut.

Sebelum pembentukan pemerintahan baru, dapat diperkirakan situasi di Sri Lanka masih tidak kondusif. (hui)