Legacy Politik Jiang Zemin: Kejahatan dan Korupsi

Alex Wu

Jiang Zemin, mantan pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT), meninggal dunia karena sakit di Shanghai pada 30 November 2022, pada usia 96 tahun, menurut pengumuman resmi. Jiang memegang kendali yang cukup besar atas Tiongkok selama lebih dari 20 tahun, meninggalkan legacy (warisan) politik abadi yang ditandai dengan kejahatan dan korupsi.

Dugaan Mata-Mata untuk Jepang dan Uni Soviet

Menurut catatan sejarah dan penelitian oleh mendiang scholar sipil dan sejarawan Tiongkok Lyu Jiaping, ayah Jiang bukan hanya pengkhianat selama pendudukan Jepang di Tiongkok pada Perang Dunia II, tetapi Jiang sendiri juga merupakan mata-mata intelijen militer kekaisaran Jepang.

Jiang Shijun, ayah kandung Jiang, bergabung dengan “Kongres Penyelamatan Perdamaian” yang diselenggarakan oleh pasukan pendudukan Jepang dan kolaborator Tiongkok pada tahun 1938. Setelah jatuhnya Nanjing, dia bekerja untuk kolaborator “Asosiasi Pemeliharaan Sementara Nanjing” dan untuk Jepang.

Presiden Rusia Boris Yeltsin (kiri) dan pemimpin Tiongkok Jiang Zemin saling bersulang setelah penandatanganan perjanjian perbatasan antara kedua negara, di Beijing pada 9 Desember 1999. (AFP via Getty Images)

Mengandalkan koneksi ayahnya, Jiang mendaftar di Departemen Teknik Elektro di Perguruan Tinggi Teknik Universitas Pusat di Nanjing. Selama waktu itu, ia bergabung dengan kelas pelatihan kader pemuda perguruan tinggi yang didirikan oleh kepala mata-mata Jepang di Tiongkok, dan dilatih sebagai mata-mata untuk memantau mahasiswa Tiongkok lainnya, menurut Lyu.

Jiang pergi ke Pabrik Mobil Stalin Moskow di Uni Soviet untuk magang dari tahun 1955 hingga 1956. Badan intelijen Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti  (KGB) atau  Komite Keamanan Negara menemukan sejarah Jiang sebagai pengkhianat dan mengembangkannya menjadi mata-mata KGB dari Biro Timur Jauh, menurut sejarawan. Setelah kembali ke Tiongkok, Jiang menjalin hubungan dengan KGB dan menjadi mata-mata Soviet yang bersembunyi di PKT. Untuk menutupi sejarah kelam ini, Jiang menandatangani perjanjian rahasia dengan Rusia dan menjual wilayah Tiongkok.

Pada  Desember 1999, Jiang dan Presiden Rusia Boris Yeltsin yang sedang berkunjung menandatangani “Protokol tentang Protokol Naratif antara Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok dan Pemerintah Federasi Rusia di Bagian Timur dan Barat dari Batas Tiongkok-Rusia” di Beijing. Dia menandatangani perjanjian lain dengan Presiden Rusia Vladamir Putin pada tahun 2001, “Perjanjian Sino-Rusia tentang Tetangga Baik, Persahabatan, dan Kerja Sama.”

Dalam perjanjian tersebut, Jiang menjual setidaknya 1,5 juta kilometer persegi wilayah milik Tiongkok ke Rusia, termasuk Wulianghai, Pulau Sakhalin, dan Vladivostok, yang setara dengan puluhan Taiwan. Jiang juga mengalokasikan muara Sungai Tumen ke Rusia, menutup akses timur laut Tiongkok ke Laut Jepang.

Berkuasa Setelah Pembantaian Tiananmen

Obituari resmi PKT menyebutkan peran Jiang selama pembantaian Tiananmen pada 4 Juni 1989, mengatakan bahwa Jiang “mendukung dan menerapkan sikap PKT melawan kerusuhan” dan “secara efektif menjaga stabilitas Shanghai.”

Selama gerakan demokrasi dan protes massa pada tahun 1989, Jiang dipanggil ke Beijing karena dia membersihkan publikasi “World Economic Herald” di Shanghai, yang mendukung gerakan mahasiswa, dan mendapat dukungan dari mantan pemimpin PKT Deng Xiaoping. Setelah gerakan tersebut ditekan dengan keras oleh militer rezim, Jiang diangkat sebagai pemimpin baru PKT.

Seorang pria berdiri sendirian untuk memblokir barisan tank yang menuju ke timur di Jalan Perdamaian Abadi Beijing selama pembantaian Lapangan Tiananmen pada 5 Juni 1989. (Jeff Widener/AP Photo)

Setelah pembantaian Tiananmen, PKT menghadapi sanksi dan blokade dari dunia demokrasi yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Jiang berjanji untuk meningkatkan hak asasi manusia dengan imbalan keuntungan perdagangan dengan Barat, sebuah janji yang tak akan terpenuhi.

Sementara itu, dia meluncurkan kampanye pendidikan dan propaganda nasionalistik untuk memanipulasi opini dan sentimen publik Tiongkok terhadap Barat.

Jiang  menempatkan loyalisnya dari Shanghai di banyak posisi penting sejak dia berkuasa, termasuk Zeng Qinghong, yang kemudian menjadi faksi Jiang nomor 2 di dalam partai, juga dikenal sebagai faksi Shanghai, dan wakil presiden negara.

Korupsi

Sejak era Jiang, semua tingkat PKT dan militernya  dipenuhi dengan tingkat korupsi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sudah menjadi praktik umum untuk mengumpulkan kekayaan dengan panik melalui segala cara dari level atas ke bawah. Korupsi sistemik menjadi ciri khas pemerintahan PKT.

Pada 2018, miliarder Tiongkok di pengasingan di Amerika Serikat, Miles Guo mengklaim bahwa keluarga Jiang adalah yang terkaya di dunia, dan aset yang “dicuri dari negara” oleh Jiang dan keluarganya mencapai $500 miliar, yaitu dipegang oleh cucunya Jiang Zhicheng atas nama keluarga Jiang.

Penasihat mantan pemimpin Tiongkok Zhao Ziyang, Dr. Wu Guoguang mengatakan kepada Voice of America bahwa di bawah pemerintahan Jiang, korupsi pejabat individu berkembang menjadi korupsi kelompok skala besar dari keluarga pejabat tingkat tinggi, tingkat menengah, dan tingkat rendah. “Tingkat korupsi PKT pada periode ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Tentu saja, telah menciptakan sejumlah besar kepentingan pribadi.”

Menganiaya Falun Gong

Ketika Jiang berkuasa, dia dengan keras menindas para pembangkang, terutama penganiayaan terhadap Falun Gong pada  1999, yang dikutuk oleh komunitas internasional.

Falun Gong, latihan spiritual tradisional berdasarkan prinsip-prinsip Sejati, Baik, dan Sabar, dengan cepat mendapatkan popularitas di Tiongkok pada 1990-an setelah diperkenalkan di publik. Praktik ini telah dipuji secara luas karena meningkatkan kebugaran fisik dan moralitas sosial. Falun Gong memiliki banyak pengikut di semua strata sosial di Tiongkok, yang memicu kemarahan Jiang.

Pada 1999, meskipun ditentang oleh anggota lain dari Komite Tetap PKT, Jiang melancarkan kampanye penganiayaan secara nasional terhadap Falun Gong, bahkan memerintahkan pengambilan organ praktisi Falun Gong secara hidup-hidup. Sejalan dengan itu, industri transplantasi organ di Tiongkok mulai berkembang pesat pada saat itu, menurut  laporan the World Organization to Investigate the Persecution of Falun Gong (WOIPFG).

 

Praktisi Falun Gong mengambil bagian dalam parade yang menandai ulang tahun ke-22 dimulainya penganiayaan rezim Tiongkok terhadap Falun Gong, di Washington pada 16 Juli 2021. (Samira Bouaou/The Epoch Times)

Penganiayaan masih berlanjut hingga hari ini. Menurut data dari minghui.org, jumlah praktisi Falun Gong yang  dianiaya hingga meninggal dunia dan namanya telah diidentifikasi telah mencapai 4.828 orang dan ratusan ribu praktisi telah ditahan secara ilegal dan disiksa di pusat penahanan, kamp kerja paksa, dan penjara.

Jiang mengundurkan diri dari posisi pemimpin PKT pada 2002, dan digantikan oleh Hu Jintao. Namun, para ahli percaya bahwa Jiang telah mengendalikan situasi politik Tiongkok dari balik layar. Banyak pejabat dari faksi Jiang yang sebenarnya memegang kendali menerima perintah dari Jiang, yang menjadikan Hu sebagai boneka.

Praktisi Falun Gong memeragakan adegan pengambilan organ di Tiongkok. (Xiaoyan Sun / The Epoch Times)

Setelah Xi Jinping berkuasa pada tahun 2012, dia telah berperang sengit dengan faksi Jiang. Dalam masa jabatan pertamanya, Xi menurunkan sejumlah besar pejabat dari faksi Jiang atas nama antikorupsi. Namun, dia tidak menyentuh Jiang dan Zeng Qinghong.

Meninggal dalam Malu

Chen Yonglin, mantan diplomat PKT, mengatakan kepada The Epoch Times pada 30 November, “Sebagai penjagal manusia, Jiang Zemin meninggal dengan penghinaan dan rasa malu.” Dia percaya bahwa tidak hanya Jiang tetapi juga PKT harus bertanggung jawab atas kejahatan yang telah mereka lakukan. “Karena meskipun Jiang sudah mati, ini belum berakhir. Selama Partai Komunis masih ada, penganiayaan terhadap agama dan hak asasi manusia tak akan berhenti. Tak hanya Falun Gong yang dianiaya, sekarang kebijakan ‘nol-COVID’ rezim telah menyebabkan orang-orang di seluruh negeri sangat menderita.”

Feng Chongyi, profesor asosiasi di Studi Tiongkok di Universitas Teknologi, Sydney, menunjukkan: “Penindasan Jiang Zemin terhadap Falun Gong telah tercatat dalam sejarah, dengan rasa malu, dan dia tak akan pernah lepas dari kejahatan ini. Dia telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Wang Xing, mantan insinyur dari perusahaan milik negara di daratan Tiongkok, mengatakan bahwa kematian adalah jalan keluar yang mudah bagi Jiang, karena “akhir terbaik adalah membawa Jiang Zemin ke pengadilan.”

Li Yuanhua, seorang sejarawan yang berbasis di Australia, mengatakan kepada The Epoch Times: “Jiang berkuasa setelah pembantaian Tiananmen, yang pada dasarnya memalukan. Dia mulai memerintah negara dengan korupsi, dan menghasilkan banyak uang secara diam-diam. Selama pemerintahannya, dia membawa malapetaka bagi negara dan rakyat, terutama penganiayaan yang tak manusiawi terhadap Falun Dafa, yang pada akhirnya merugikan bangsa Tiongkok.” (asr)

Ning Haizhong, Luo Ya, Li Yun, dan Zhou Xiaohui berkontribusi pada laporan ini.