PKT Berterimakasih pada Jepang atas Invasinya ke Tiongkok

Dari 1939 hingga 1945, Perang Dunia II berlangsung selama 6 tahun; sedangkan sejak 1931 hingga 1945, Tiongkok diinvasi oleh Jepang selama 14 tahun. Tiongkok adalah negara yang menderita kerugian terbesar selama Perang Anti-Fasis Dunia.

Menurut Li Zhongjie, mantan wakil direktur Kantor Riset Sejarah Partai dari Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok, selama perang melawan Jepang, korban tewas dan terluka dari militer dan sipil Tiongkok dilaporkan mencapai 35 juta jiwa; berdasarkan perbandingan harga per 1937, kerugian harta benda dan konsumsi perang mencapai lebih dari 100 miliar dolar AS (1.519 triliun rupiah, kurs per 10/02), dan kerugian ekonomi tidak langsung mencapai 500 miliar dolar AS (7.597 triliun rupiah).

Buku “Operasi Perang Frontal Perang Anti-Jepang Tiongkok” mencatat bahwa selama perang berlangsung, pemerintah Republik Tiongkok (pemerintahan yang berkuasa di Tiongkok pada 1912 – 1949) mengorganisir 22 kali pertempuran frontal berskala besar, 1.117 kali pertempuran skala besar, dan 38.931 pertempuran skala kecil. 3,21 juta perwira dan prajurit Tentara Nasional, 206 jenderal Tentara Nasional, dan 4.321 pilot gugur dalam tugas melawan invasi Jepang; 2.468 pesawat tempur ditembak jatuh, Angkatan Laut Tentara Nasional beserta 104 kapal perang musnah total.

Doktor Bian Xiuyue dari Institut Sejarah Modern Akademi Ilmu Sosial Tiongkok mengatakan dalam sebuah wawancara dengan seorang reporter dari Kantor Berita Xinhua bahwa tentara Jepang tidak hanya menimbulkan korban yang sangat besar bagi Pasukan Tiongkok Nasionalis selama Perang Perlawanan, juga bagi warga sipil Tiongkok yang tak berdosa. Dari Provinsi Heilongjiang di utara, ke Pulau Hainan di selatan, dari pantai pesisir timur, hingga Kota Chongqing di barat, mesin perang tentara Jepang membawa bencana tak terperikan.

Selama Insiden 28 Januari 1932 (perang singkat antara tentara Republik Tiongkok dengan
Kekaisaran Jepang sebelum Perang Tiongkok-Jepang Kedua 1937), Tentara Rute Kesembilan Belas
dari Tentara Nasional ROC menghadang Tentara Jepang di Shanghai. (wikipedia)

Selama delapan tahun dari 1937 hingga 1945, Tentara Jepang melakukan puluhan ribu kasus pembunuhan warga sipil Tiongkok, termasuk tidak kurang dari 4.000 kasus pembunuhan berskala cukup besar, dan telah menewaskan puluhan juta warga sipil Tiongkok.

Menurut penelitian Bian Xiuyue, ada sebanyak 250 metode pembunuhan warga sipil Tiongkok oleh Tentara Jepang, yang sebagian besar di luar imajinasi sehat akal manusia. “Yang lebih mengerikan adalah sebagian besar metode pembunuhan ini dilakukan terhadap wanita dan anak-anak.”

Namun, bagaimana para pemimpin PKT (Partai Komunis Tiongkok) dari Republik Rakyat Tiongkok bersikap terhadap invasi Jepang ke Tiongkok, yang telah membawa bencana besar bagi rakyat Tiongkok itu? Fakta-fakta yang akan kami beberkan berikut ini, akan menumbangkan persepsi banyak orang Tiongkok zaman sekarang.

Mao Zedong berkali-kali berterima kasih kepada tentara Jepang karena telah menginvasi Tiongkok

Menurut data dari “Volume 19 Dokumen Penting Terpilih Sejak Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok”, pasca PKT merebut kekuasaan di Daratan Tiongkok pada 1949, ketika Mao Zedong bertemu dengan orang Jepang, ia setidaknya berterima kasih kepada penjajah Jepang sebanyak tujuh kali. Misalnya, pada 9 Juli 1964, Mao Zedong berkata dalam percakapan dengan perwakilan Simposium Ekonomi Asia II mengatakan:

“Ada seorang kapitalis Jepang bernama Nango Saburo yang pernah berbicara satu kali dengan saya. Ia berkata, ‘Maafkan kami, Jepang telah menginvasi negeri Anda’. Saya berkata: ‘Tidak, jika imperialis Jepang tidak melancarkan agresi besar-besaran dan menduduki sebagian besar Tiongkok, maka tidak mungkin seluruh rakyat Tiongkok bersatu melawan imperialisme, dan Partai Komunis Tiongkok pun tidak mungkin bisa menang.’” Faktanya, Imperialisme Jepang telah menjadi guru kami yang baik. Pertama, ia telah melemahkan Chiang Kai-shek (Presiden Republik Tiongkok); kedua, kami telah mengembangkan daerah pangkalan dan tentara yang dipimpin oleh Partai Komunis. Sebelum Perang Perlawanan, tentara kami pernah mencapai 300.000 orang, tetapi karena kesalahan kami sendiri, maka berkurang menjadi hanya 20.000 lebih. Selama delapan tahun perang perlawanan terhadap Jepang, pasukan kami telah berkembang menjadi 1,2 juta personil. Coba lihat, bukankah Jepang telah sangat membantu kami?”

Contoh lainnya, pada 10 Juli 1964, Mao Zedong menerima kunjungan Sasaki, seorang anggota Partai Sosialis Jepang yang sedang berkunjung ke Tiongkok. Sasaki menyatakan “sangat menyesal” atas kerusakan besar yang disebabkan oleh invasi Jepang ke Tiongkok. Mao Zedong malah menjawab: “Tidak ada yang perlu disesali. Militerisme Jepang telah membawa manfaat besar bagi Tiongkok dan memungkinkan rakyat Tiongkok telah merebut kekuasaan. Tanpa Tentara Kekaisaran Anda, kami tidak mungkin dapat merebut kekuasaan.”

Mengapa Mao Zedong berulang kali berterima kasih kepada tentara Jepang yang telah menginvasi Tiongkok? Alasan utamanya adalah: Tentara Jepang memang benar-benar telah menyelamatkan nyawa PKT.

Dari 1930 hingga 1934, di bawah kendali Partai Komunis Uni Soviet, PKT mendirikan Republik Soviet Tiongkok, sebuah “negara dalam negara,” di Tiongkok untuk menggulingkan pemerintahan resmi Tiongkok yakni Republik Tiongkok (ROC = Republic of China) serta mendorong etnis minoritas untuk berpisah dari Republik Tiongkok dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Pemerintahan Nasionalis Republik Tiongkok mengepung dan berupaya menumpas PKT sebanyak lima kali.

Setelah kampanye anti-pengepungan kelima gagal, pada Oktober 1934, Tentara Merah Partai Komunis Tiongkok terpaksa mundur dari Provinsi Jiangxi dan memulai apa yang disebut “Long March”, yang sebenarnya merupakan pelarian besar-besaran ke wilayah utara Tiongkok.

Sebelum Jepang meluncurkan perang agresi berskala penuh untuk menginvasi Tiongkok pada 1937, jumlah total personal Tentara Merah PKT, menurut Mao Zedong, hanya berkisar 20.000 lebih. Jika bukan karena invasi besar-besaran Jepang ke Tiongkok di tahun itu, PKT pasti akan dapat dimusnahkan oleh pemerintah Republik Tiongkok (ROC).

Jadi, apa sebenarnya yang dilakukan PKT selama 14 tahun dalam Perang Melawan Agresi Jepang (1931 – 1945)? Dari awal hingga akhir, yang senantiasa tidak dilupakan oleh mereka adalah Merebut Kekuasaan.

Setelah pecahnya Perang Perlawanan menyeluruh pada 1937, Tindakan riil PKT adalah: 10% perang melawan Jepang——tentu saja itu hanya berpura-pura; dan 120% propaganda——menggembar-gemborkan perang melawan Jepang; kemudian 100% mengembangkan diri—— mereka berusaha paling keras pada aspek ini, bahkan tidak segan-segan berkolusi dengan penjajah Jepang untuk mempersiapkan “perebutan kekuasaan” setelah kemenangan Perang Melawan Jepang berhasil diraih (pada 1945).

Begitu Perang Melawan Jepang berakhir, PKT segera memprovokasi perang saudara, dan mengarahkan moncong senjatanya terhadap Tentara Republik Tiongkok yang telah berdarah-darah berperang selama 14 tahun.

Sikap Partai Komunis Tiongkok terhadap pampasan perang Jepang

Sebagai negara pemenang dan yang paling lama menderita agresi Jepang, paling banyak menderita korban tewas dan terluka, serta kerugian materi paling besar, Tiongkok pantas mendapatkan kompensasi yang sangat besar dari Jepang sebagai negara kalah perang.

Pada awal pasca perang, Republik Tiongkok (Pemerintahan Nasionalis) jelas-jelas menuntut ganti rugi, dan menuntut agar Jepang merealisasikan sebagian dari ganti rugi itu (pada 1945) terlebih dahulu. Namun, seiring dengan PKT (Partai Komunis Tiongkok) memprovokasi perang saudara dan menduduki DaratanTiongkok (pada 1949), Amerika Serikat melihat munculnya negara komunis besar lainnya (selain Uni Soviet) di Timur Jauh, maka diubahlah strateginya dan mulai mendukung Jepang melawan RRT (Republik Rakyat Tiongkok), dan membatasi pemberian kompensasi Jepang. Pada saat itu, pemerintah Republik Tiongkok yang telah mundur ke Taiwan (sejak 1949) berada dalam situasi internasional yang sulit, maka terpaksa harus berkoordinasi dengan Amerika Serikat, serta berulang kali membuat konsesi tentang masalah kompensasi, dan pada akhirnya terpaksa harus melepaskan kompensasi tersebut. 

Foto: 1931 – 1945, Tiongkok di bawah Pemerintahan Nasionalis diinvasi oleh Jepang selama 14 tahun. Tiongkok merupakan negara yang paling menderita dalam Perang Anti-Fasis Dunia. Foto: Prajurit pejuang dari Korps Tentara ke-29 dari Pemerintahan Nasionalis memegang golok dan senapan di medan tempur melawan agresor Jepang. (Wikipedia – public domain)

Bagaimana dengan PKT, yang telah mengambil alih kekuasaan politik di Daratan Tiongkok dalam menangani masalah kompensasi dari Jepang?

Dari 1953 hingga 1977, Jepang dengan lebih dari 20 negara telah menandatangani 54 perjanjian terkait tanggung jawab perang, dengan total kompensasi sekitar 500 miliar yen.

Kompensasi yang diterima oleh negara-negara tersebut di atas adalah sebagai berikut:

Negara-negara penderita perang di Asia, masing-masing memperoleh: Myanmar menerima US$140 juta; Filipina US$550 juta; Indonesia US$223 juta; Kamboja 1,5 miliar yen; Laos 1 miliar yen; Vietnam meminta kompensasi dua kali: Vietnam Selatan sebelum reunifikasi, meminta US$39 juta, dan setelah Vietnam Utara mencaplok Vietnam Selatan, meminta lagi 8,5 miliar yen.

Singapura, yang merdeka dari Malaysia pada 1965, tidak memenuhi syarat untuk menuntut ganti rugi dari Jepang. Namun, Pemerintah Singapura menggunakan pembantaian Tentara Jepang terhadap etnis Tionghoa di Singapura sebagai alasan untuk terus menuntut ganti rugi, dan akhirnya menerima hibah 25 juta dollar Singapura dari Jepang.

Malaysia yang tidak ikut perang juga kebagian berkah dari tuntutan Singapura dan menerima 25 juta dolar Singapura. Selain itu, Korea Selatan menuntut 300 juta dolar amerika, negara netral Swiss menuntut 1,1 miliar yen, Spanyol menuntut 2 miliar yen, Swedia menuntut 500 juta yen, dan Denmark menuntut 700 juta yen. Selain itu, Mongolia yang semula termasuk wilayah Tiongkok, kemudian memperoleh kemerdekaan, juga menerima kompensasi sebesar 5 miliar yen.

Jika diperbandingkan, alasan Tiongkok untuk mendapatkan kompensasi perang dari Jepang lebih kuat dari seluruh negara-negara Asia tersebut.

Menginjak 1968, Jepang telah menjadi badan ekonomi terbesar kedua di dunia. Pada saat RRT dan Jepang memulai negosiasi tentang pembentukan hubungan diplomatik pada 1972, Jepang telah memiliki kemampuan untuk membayar kompensasi perang yang sangat besar ke RRT, dan pemerintah Jepang juga telah mempersiapkan kompensasi tersebut.

Kala itu, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka mempercayakan pada Yoshikatsu Takeiri, ketua Partai Komeito Jepang, sebagai utusan untuk menguji niat otoritas PKT.

Menurut buku “China and Japan: 1500 Years of Exchange History“, pada 25 Juli 1972, Takeiri Yoshikatsu mengunjungi Tiongkok dan mengadakan pembicaraan dengan Zhou Enlai (perdana menteri kala itu) selama lebih dari sepuluh jam dalam tiga hari dari 27 sampai 29 Juli 1972. Takeiri Yoshikatsu diberitahu bahwa PKT akan melepaskan tuntutan pampasan perangnya ke Jepang. Artinya, satu sen pun tidak mau.

Penulis Jin Xin menulis dalam artikel “18 Misteri Penolakan Mao atas Ganti Rugi Jepang Mengejutkan Dunia”: “Mengapa Mao Zedong (dibaca: mao ce tung) secara sewenang-wenang bertindak atas masalah nasional yang begitu penting?”; “Diputuskan seorang diri, membiarkan rakyat Tiongkok dilanggar haknya tanpa alasan jelas, siapakah yang telah mengkhianati kepentingan rakyat Tiongkok? Mengkhianati Negara demi memajukan Partai, tak akan diampuni oleh prinsip alam!”

PKT Memberikan Perlakuan Istimewa dan Amnesti kepada Penjahat Perang Jepang

Setelah PKT berkuasa, sekelompok penjahat perang Jepang ditangkap dan diekstradisi dari Uni Soviet.

Menurut artikel “Amnesti untuk Penjahat Perang Jepang” yang diterbitkan oleh “Yangcheng Evening News” pada 1 Oktober 2012, pada akhir 1955, ketika Perdana Menteri RRT Zhou Enlai mendengarkan laporan tentang pekerjaan investigasi Kejaksaan Agung, ia dengan jelas menginstruksikan: “Penanganan terhadap penjahat perang Jepang tidak akan dijatuhi hukuman mati satu pun, juga tidak diberikan hukuman seumur hidup, dan hanya sejumlah kecil saja yang dijatuhi hukuman penjara dengan jangka waktu tetap ……. Penjahat perang yang telah melakukan kejahatan biasa tidak akan diadili.”

Dari Juni hingga Juli 1956, Pengadilan Militer Khusus Mahkamah Agung RRT mengadili 45 penjahat perang Jepang yang telah melakukan kejahatan serius di Kota Shenyang dan Taiyuan. Dari 45 orang ini masing-masing dijatuhi hukuman penjara jangka waktu tetap mulai dari 11 hingga 20 tahun. Namun, kecuali satu orang yang meninggal karena sakit di penjara, 44 penjahat perang lainnya dibebaskan dan dikembalikan ke Jepang sebelum Maret 1964.

Pada 3 Juli 2014, Arsip Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok merilis pengakuan bertanda tangan dari Letnan Jenderal Keihisa Suzuki, kepala Divisi ke-117 Angkatan Darat Jepang. Antara lain ditulis: “Hanya berdasarkan ingatan pribadi saya bahwa 5.470 warga terbunuh dan 18.229 rumah warga Tionghoa dibakar. Jumlah sebenarnya (mungkin) jauh lebih banyak.”

Keihisa Suzuki yang seharusnya dijatuhi hukuman mati, hanya dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan dibebaskan pada awal Juni 1963.

Pada 1956, menurut instruksi Zhou Enlai, Kejaksaan Agung mengumumkan dalam tiga gelombang bahwa 1.017 penjahat perang Jepang yang melakukan kejahatan ringan dan menunjukkan pertobatan yang baik akan dibebaskan dari tuntutan dan dibebaskan kembali ke Jepang.

Pada 6 Maret 1964, tiga penjahat perang Jepang terakhir yang dipenjarakan di Kota Fushun dibebaskan. Sejauh ini, semua tawanan perang Jepang di Tiongkok telah dibebaskan dan dipulangkan.

Namun, sangat kontras dengan perlakuan istimewa dan amnesti untuk penjahat perang Jepang, setelah pembentukan pemerintah RRT pada 1949, untuk menekan kekuatan Kuomintang yang tersisa di daratan, PKT melancarkan kampanye untuk menindas yang disebut “kaum kontra-revolusioner.” Menurut sebuah artikel yang dikumpulkan oleh Huaxia Digest.com pada 2015: Selama perang saudara antara KMT dan PKT, sebagian besar jenderal senior tentara nasional yang “memberontak”, membelot ke Partai Komunis, tertangkap, pensiun dan kembali ke kampung halaman, tinggal di rumah atau berbisnis, sebagian besar telah dibunuh, dan dipenjara.

Hampir semua jenderal senior Tentara Nasional Kuomintang yang dieksekusi mati dan dipenjara telah berpartisipasi dalam Perang Perlawanan terhadap Jepang, dan kebanyakan dari mereka adalah jenderal terkenal anti-Jepang bahkan pahlawan nasional. Di antara 242 jenderal senior Tentara Nasional yang dibunuh, terdapat 4 jenderal dan veteran Revolusi 1911, 78 letnan jenderal, dan 159 mayor jenderal.

Pada 14 Oktober 2000, Perdana Menteri RRT Zhu Rongji, yang sedang mengunjungi Jepang, berkata dalam sebuah wawancara dengan Tokyo Broadcasting Corporation: “Dalam semua dokumen resmi Jepang, tidak pernah ada permintaan maaf kepada rakyat Tiongkok.”

Namun, karena PKT telah berulang kali berterima kasih kepada Jepang atas invasinya ke Tiongkok, dan menolak sama sekali kompensasi perang dari Jepang, serta memperlakukan secara istimewa penjahat perang Jepang yang melakukan kejahatan serius di Tiongkok, dan memberikan amnesti kepada ribuan penjahat perang Jepang lainnya, maka tidak mengherankan jika setiap periode pemerintah Jepang tidak pernah meminta maaf di semua dokumen resmi mereka. (SUD/WHS)