Keuangan Global Memasuki Era Bergejolak, Kejutan Bank Silicon Valley Beri Warning

Dr. Xie Tian

Peristiwa restrukturisasi likuidasi Silicon Valley Bank (SVB) AS (Amerika Serikat), selama lebih dari seminggu terakhir telah menimbulkan banyak sekali efek berantai. Dari empat lima bank dengan kondisi serupa dilikuidasi, sampai Credit Suisse yang mengalami “momen Lehman Brothers”, tidak terelakkan lagi seluruh dunia finansial global sontak memasuki masa penuh gejolak. Di tengah asap mesiu perang global belum lagi mereda, dan masih banyak krisis perang mengintai dimana-mana, rantai pasokan terbentuk kembali, namun masih rapuh, inflasi masih terus menanjak, dan pada saat perekonomian berbagai negara stagnan bahkan mengalami kemunduran, bencana keuangan ini membuat pemerintah beserta tokoh ekonomi dan moneter berbagai dunia tenggelam ke dalam kekhawatiran dan ketakutan yang amat sangat.

Mengapa Silicon Valley Bank (SVB) terjebak ke dalam likuidasi restrukturisasi? SVB adalah bank yang khusus melayani perusahaan Venture Capital (VC) dan bank khusus perusahaan di Silicon Valley yang baru didirikan, model bisnisnya selama empat dasawarsa sejak didirikan pada 1983, adalah berkat perkembangan Silicon Valley dan berkembang pesatnya industri komputer berikut industri turunannya, hingga sebelum 2019, semua masih berjalan stabil. 

Namun antara 2019 hingga 2021, omsetnya mendadak melonjak tinggi, bahkan tumbuh berlipat ganda. Dari sekitar 3 milyar dolar AS (46 triliun rupiah, kurs per 20/03) pada 2019, mendadak melonjak mencapai 6 milyar dolar AS (92 triliun rupiah) pada 2021. Pertumbuhan yang berlebihan bagi bank yang konservatif dan konvensional, acap kali bukanlah suatu hal baik. Jumlah simpanan di Silicon Valley Bank pada 2019 adalah sekitar 40 milyar dolar AS (615 triliun rupiah), hingga 2021, jumlah simpanan mendadak melonjak menjadi 125 milyar dolar AS (1.920 triliun rupiah), naik tiga kali lipat dibandingkan dua tahun sebelumnya!

Menghadapi banyaknya dana yang datang tiba-tiba ini para pengelola SVB memilih untuk menempatkan 77% dari 127 milyar dolar AS pada 2021, atau hampir 100 milyar dolar AS, ke dalam investasi berupa US Treasury Bond jangka panjang dengan tenor 10 tahun. 

Pada 2021, imbal hasil obligasi jangka panjang AS tersebut hanya antara 0% hingga 2%. Pada waktu itu, pemerintahan sayap kiri Biden baru saja berkuasa, pembelanjaan pemerintah yang agresif serta inflasi yang tak terkendali, belum terlepas dari kandangnya!

Namun tiba tahun 2022, seiring dengan semakin agresifnya pembelanjaan pemerintah dan hilang kendalinya inflasi, mau tidak mau The Fed harus menaikkan suku bunga, imbal hasil US Treasury Bond pun naik menjadi 4% ~ 5%. Di pasar obligasi, naiknya suku bunga menandakan harga obligasi turun. 

Dalam beberapa bulan terakhir, semua nasabah SVB, yakni perusahaan baru di Silicon Valley dan perusahaan Venture Capital (VC) itu, tiba-tiba mulai menarik simpanan mereka, dan bersiap melakukan investasi baru. Di saat mereka membutuhkan uang tunai dalam jumlah besar, SVB harus menjual obligasi jangka panjang yang mereka miliki, sedangkan pada saat itu imbal hasilnya telah mencapai 4 hingga 5 kali lipat dibandingkan saat dibeli 2 tahun silam. 

Bunga obligasi naik berarti harganya akan anjlok, jadi mereka terpaksa harus menjual sangat murah obligasi yang dimiliki, dan mengalami kerugian yang amat besar. Seberapa besar kerugian tersebut? Sekitar 1,8-2,4 milyar dolar AS (27,6 – 36,9 triliun rupiah, kurs per 20/03)!

SVB mengalami kerugian sekitar 2 milyar dolar AS dalam bisnis obligasi, ini adalah berita besar, nasabah yang panik pun mulai menarik semua dana mereka, penarikan dana besar-besaran memicu seruan orang-orang top Silicon Valley seperti Peter Thiel, yang menimbulkan penarikan dana yang semakin besar. 

Setelah bank mulai mengalami bank run atau rush, maka tibalah hari kiamat bagi Silicon Valley Bank, dan Federal Deposite Insurance Corporation (FDIC) mulai turun tangan, likuidasi dan restrukturisasi bank yang bangkrut juga datang bergantian.

Keruntuhan SVB, dilihat dari sisi teknis, adalah tipikal bank run yang ditimbulkan akibat masalah likuiditas, yang menyebabkan kerugian dalam jumlah besar serta kerugian yang belum terealisasi, sehingga mau tidak mau harus direstrukturisasi oleh FDIC. Tapi saat ditelusuri akar sumber permasalahan ini, mau tidak mau ini adalah masalah yang menyangkut kemampuan lapisan manajemen, keputusannya, bahkan sikap dan kecenderungan politiknya, berikut juga masalah inflasi dan kebijakan moneter pada tingkat negara.

Pemegang saham terbesar SVB adalah Vanguard Group (sekitar 11,3% saham), BlackRock (8,1% saham), State Street (5,2% saham) serta Alecta yang merupakan dana pensiunan terbesar asal Swedia (4,5% saham). Total nilai aset Silicon Valley Bank (SVB) per tanggal 31 Desember 2022 adalah 209 milyar dolar AS, dengan jumlah simpanan mencapai 175,4 milyar dolar AS, dan lebih dari 93% di antaranya tidak mendapatkan jaminan FDIC. Di antara 175,4 milyar dolar AS simpanan tersebut, lebih dari 93% tidak dijamin oleh FDIC, dengan kata lain sebesar 163,1 milyar dolar AS tidak ada asuransinya, dan asuransi dari FDIC hanya mencakup 12,28 milyar dollar AS.

Menurut program penjaminan FDIC bagi individu dan perusahaan dengan jaminan 250.000 dolar AS untuk setiap rekening, berarti sekitar 49.000 rekening simpanan. Rata-rata simpanan setiap nasabah adalah 700.000 dolar AS. Ini berarti pada bank tersebut nasabah individu yang membuka rekening lebih sedikit, dan rekening perusahaan lebih banyak. 

Banyak perusahaan di Silicon Valley menjadi korbannya. Memang demikian halnya, bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) telah memicu kegemparan di kalangan teknologi dan juga perbankan di wilayah barat AS, banyak perusahaan bahkan mencemaskan bagaimana memastikan karyawannya mendapat gaji mereka. Ini juga salah satu alasan pemerintah AS memutuskan untuk segera turun tangan.

Bangkrutnya Silicon Valley Bank, adalah kasus kebangkrutan bank terbesar di AS setelah kasus kebangkrutan Lehman Brothers di Wall Street yang terjadi pada 2008 silam. Tapi peristiwa ini bukan terjadi di Wall Street melainkan terjadi di jalan utama (Main Street) AS. 

Di hampir semua kota besar di AS selalu memiliki jalan utama atau disebut Main Street, dan bank yang terbesar dengan sejarah tertua di setiap kota tersebut, mayoritas akan berkantor di jalan utama atau jalan-jalan yang paling makmur di sekitarnya. Jika Wall Street yang bermasalah, masih jauh masalahnya dari warga biasa yang jauh dari masyarakat arus utama AS, karena masyarakat tidak begitu peduli dengan kalangan Wall Street yang menerima gaji sampai 7 digit. Tapi jika bank di jalan utama yang mengalami masalah, maka akan langsung berdampak pada masyarakat luas dan kelas pekerja, masalahnya pun akan menjadi tidak biasa. Pada saat SVB bangkrut, ada lebih dari 40.000 nasabah, dengan rata-rata simpanan lebih dari 700.000 dolar AS. Karena bencana moneter ini, sebanyak 1.200 perusahaan di Silicon Valley harus menghadapi kesulitan tidak bisa membayar gaji karyawannya, jadi pemerintah federal AS mau tidak mau harus segera mengeluarkan pernyataan bersama melibatkan Kemenkeu, The Fed, dan FDIC, serta Presiden Biden menyampaikan pidato pernyataan pada hari kedua, untuk mencegah bencana yang kemungkinan akan terjadi pada hari kerja berikutnya.

Yang paling dikhawatirkan masyarakat adalah, bukan apa yang akan terjadi pada Silicon Valley Bank (SVB) selanjutnya, bukan kemana perginya aset sebesar 200 miliar dolar AS itu, melainkan apakah krisis ini akan menyebar luas, dan berdampak pada seluruh dunia. 

Kekhawatiran terhadap kondisi kesehatan perbankan, apakah akan menyebar dari AS hingga ke Eropa. Serta yang akan ikut terseret ke dalam bencana ini, seberapa besar dampaknya, berapa lama dampak ini akan berlangsung, yakni berapa lama krisis moneter kali ini akan bertahan, inilah masalah yang paling disoroti oleh kalangan finansial dan ekonomi.

Krisis yang dialami Silicon Valley Bank masih menyisakan gejolaknya di AS, sementara para bankir di Eropa sudah gelisah tak menentu. Bank Credit Suisse di Swiss terjebak ke dalam kesulitan. Bank Nasional Saudi (SNB) adalah pemegang saham terbesar dari Credit Suisse, CEO-nya Ammar Al Khudairy pada 15 Maret lalu telah mengklarifikasi kepada media massa, karena alasan kendala regulasi, pihaknya tidak akan memberi bantuan keuangan bagi pihak Credit Suisse. Harga saham Credit Suisse pun langsung anjlok, turun hingga mencapai lebih dari 30%. Pada 16 Maret Credit Suisse mengumumkan, akan meminjam dana sebesar 50 milyar Swiss Franc (sekitar 53,58 milyar dolar AS / 823 triliun rupiah) dari bank sentral yakni Swiss National Bank untuk menopang kondisi keuangannya. Berita baik ini hanya bisa membuat harga sahamnya mengalami rebound sedikit setelah jatuh ke titik terendahnya sepanjang sejarah, tapi masalah ini belum bisa dikatakan berakhir.

Pada 16 Maret lalu para pemegang saham AS mengajukan gugatan di New Jersey terhadap Credit Suisse, di antaranya CEO Credit Suisse yakni Ulrich Koerner dan Direktur Axel Lehmann merupakan orang yang digugat. 

Para pemegang saham menuding Credit Suisse telah menipu para investor, dengan cara menyembunyikan masalah keuangan, tidak mengungkap aliran dana “besar” nasabah ke luar, serta kontrol internal laporan keuangannya terdapat kebocoran yang sangat krusial. Perwakilan pemegang saham AS yang diwakili oleh Braden Turner mengatakan, seiring dengan terungkapnya fakta, serta pemegang saham terbesar Credit Suisse telah menyatakan tidak akan menyuntikkan lebih banyak modal kepada bank tersebut, investor ramai-ramai “cabut”, menyebabkan harga saham Credit Suisse jatuh ke titik terendah sepanjang sejarah, dan menyebabkan kerugian teramat besar.

Menariknya adalah, kantor pengacara yang mewakili pemegang saham AS menggugat Credit Suisse, ternyata juga merupakan kantor pengacara pertama yang mengajukan gugatan pada perusahaan induk Silicon Valley Bank yakni SVB Financial Group dan Signature Bank

Yang disoroti masyarakat adalah, krisis menyebar dari Silicon Valley sampai ke Zurich, apakah akan ada langkah selanjutnya? Kemungkinan dimanakah negara yang berikutnya akan tertimpa kartu domino ini? New York? London? Frankfurt? Tokyo? Singapura? Atau Hong Kong?

Banyak orang di kalangan masyarakat telah mulai membantu membual bagi PKT (Partai Komunis Tiongkok), mengatakan sejumlah besar perusahaan teknologi Tiongkok memiliki banyak rekening di SVB. Tapi banyak perusahaan teknologi Tiongkok membuka rekening di SVB, karena merupakan satu-satunya bank AS yang bisa diperoleh nasabah Tiongkok dan dapat digunakan untuk menyimpan uang dan bertransaksi dalam dolar AS! Namun menurut nara sumber, penanggung jawab operasional Tiongkok pada Silicon Valley Bank itu yakni Carolyn Chen telah diberhentikan minggu lalu setelah bank tersebut diambil alih oleh pemerintah AS. SVB diambil alih oleh FDIC, perusahaan Tiongkok yang baru didirikan, Venture Capital, dan perusahaan saham individu merasa terkejut, dan berusaha untuk segera mengalihkan uangnya keluar dari bank tersebut, tapi didapati mengalami kendala. Akhirnya Kemenkeu AS pun memutuskan, membuat perusahaan Tiongkok tersebut agar tidak khawatir uangnya akan hilang.

Silicon Valley Bank adalah sebuah bank bersifat kedaerahan, tapi operasi internasionalnya luar biasa intens. Di antara 8.500 orang pegawai bank tersebut, sebanyak seperlimanya berada di luar AS. Dengan jumlah simpanan sebanyak 170 milyar dolar AS itu, sebanyak 13,9 milyar dolar AS adalah simpanan luar negeri, dan semua simpanan luar negeri itu tidak terikat pada sistem penjaminan federal atau negara bagian. Orang yang paham operasional SVB di Tiongkok mengatakan, nilai jual terbesar SVB di Tiongkok adalah, mereka dapat dalam waktu singkat hanya satu sampai dua minggu membuka sebuah rekening giro AS bagi nasabahnya. SVB tidak memiliki izin perbankan di Tiongkok, mereka menyediakan layanan bagi nasabah di Tiongkok lewat hotline telepon gratis dan email. Bank itu juga tidak mempunyai transaksi teller, semua transaksi dilakukan secara online. Setelah SVB bangkrut, perusahaan Tiongkok yang telah go public seperti BeiGene Ltd., Zai Lab, Brii BioSciences, Broncus Medical, Everest Medicines, Vobile Group, Mobvista Co. Ltd., Sirnaomics Ltd., dan Noah Holdings satu persatu bermunculan ke permukaan.

Selama beberapa dasawarsa terakhir, perusahaan rintisan teknologi Tiongkok, mulai dari Baidu sampai Tencent, semuanya memiliki kaitan erat dengan Venture Capital AS. Beberapa tahun terakhir, seiring dengan makin buruknya hubungan AS-RRT, juga kepungan AS terhadap PKT, serta decoupling ekonomi kedua negara, hubungan manis ini pun ikut mengalami decoupling

Tiba-tiba dilikuidasinya SVB, akan melemahkan hubungan antara investor di AS dengan perusahaan Tiongkok. Dari sudut pandang jangka panjang, mulai dari lembaga pengawas AS sampai bank itu sendiri sampai nasabah internasionalnya, akan terus mempunyai kekhawatiran untuk berbisnis dengan Silicon Valley Bank, dan di masa mendatang, perusahaan Tiongkok yang akan terus menggunakan jasa bank ini juga akan semakin mengecil kemungkinannya; sebagai salah satu jalur pembiayaan terpenting bagi perusahaan Tiongkok, masa depan jalur ini tidak akan menjadi pertimbangan lagi.

Setelah terjadinya kasus Silicon Valley Bank, reaksi pemerintah federal AS relatif cepat. Kemenkeu, The Fed, dan FDIC menggelar rapat berturut-turut malam itu juga, membahas tindakan yang harus ditempuh, dan cepat memberikan janji untuk melindungi semua nasabah yang ada, tapi tidak melindungi investor dan pemegang saham, untuk mengantisipasi hari Senin (20/03) setelah akhir pekan ini berlalu, dan berjaga-jaga kemungkinan reaksi negatif di bursa.

 Biden juga menyampaikan pidatonya pada Senin (13/03), menjelaskan tekad kuatnya untuk melindungi sistem perbankan AS. Menkeu Janet Yellen pada Kamis (16/03) menjelaskan kepada anggota kongres AS, “Walau bank di dua wlayah gagal minggu lalu, sistem perbankan AS tetap sehat dan baik”. Kepada Komisi Keuangan di kamar senat dia mengatakan, warga AS dapat meyakini tabungan mereka “akan ada di sana saat dibutuhkan”.

Setelah kejadian SVB, tindakan antisipasi oleh pemerintah federal AS memang ada penerapan yang salah, di antaranya juga menyangkut “bahaya moral” (moral hazard). Ketua Komisi Keuangan Senat dari Partai Republik yakni Mike Crapo berkata, “Saya khawatir akan contoh jaminan semua tabungan.” Ia mengatakan, tindakan penyelamatan federal adalah “bahaya moral”. Memang demikian halnya. FDIC tadinya menjamin batas atas perlindungan, yakni maksimal penjaminan 250.000 dolar AS bagi setiap warga AS pada setiap bank, kali ini pemerintah federal menjamin semua tabungan, berarti batas atas 250.000 dolar AS telah dihapuskan, sehingga biaya operasional FDIC melonjak naik.

Contohnya pada kasus di Silicon Valley Bank, rata-rata simpanan setiap nasabah adalah 700.000 dolar AS, bagian yang telah melampaui batasan awal 250.000 dolar AS ini, yakni sebesar 450.000 dolar AS, siapakah yang akan menanggungnya? Yellen mengatakan bantuan kali ini tidak akan menggunakan “uang para wajib pajak”, tapi di saat yang sama dia juga mengatakan, bagian yang tidak cukup itu, akan disediakan oleh FDIC lewat skema “penilaian khusus” (special assessment) pada bank asuransi AS. Dengan kata lain, akan ditanggung bersama oleh 4.200 buah bank di seluruh AS. Tapi dari masa “penilaian khusus” pada 4.200 bank ini? Tentu saja akan menjadi biaya khusus yang akan ditanggung bersama oleh para pemegang saham dan para nasabah dari 4.200 bank tersebut. Dengan kata lain, pada akhirnya akan ditanggung bersama oleh rakyat biasa seluruh AS. Ini sebenarnya adalah beban bagi para wajib pajak, hanya saja diputar satu putaran lewat bank.

Ironisnya adalah, sebulan sebelum Silicon Valley Bank bangkrut, pada Februari lalu Forbes baru saja merilis daftar bank terbaik di AS, dan Silicon Valley Bank masih menduduki posisi ke-20 dari 100 bank terbaik itu! Kini, para investor di seluruh dunia, sedang buru-buru mengantisipasi kemungkinan anjloknya bursa efek AS jangka panjang. 

Dalam seminggu terakhir tiga bank ditutup, semakin memperburuk pergolakan bursa baru-baru ini. Di bursa efek, pasar obligasi dan pasar derivative AS, pergolakan terus meningkat. Krisis Credit Suisse, mungkin akan menjadi peristiwa simbolis dimasukinya masa pergolakan moneter. 

Ahli Ekonom Kiamat yang dijuluki “Dr. Doom” yakni Nouriel Roubini dari Roubini Macro Associated mengatakan, jika Credit Suisse sampai bangkrut maka pasar moneter akan mengalami “momen Lehmann Brothers”. Di mata Roubini, masalah Credit Suisse adalah bank itu mungkin terlalu besar sehingga tidak bisa ambruk, namun kemungkinan juga karena terlalu besar maka tidak mampu diselamatkan!

Sebelum dan sesudah kasus Silicon Valley Bank (SVB), masyarakat telah melihat terlalu banyak kesalahan manajemen, kesalahan moral, dan meningkatnya risiko moral. Bernie Marcus, pendiri Home Depot AS sekaligus CEO-nya mengatakan, bank seperti SVB tidak baik pengelolaannya karena setiap orang terlalu fokus pada masalah “perbedaan” (diversity) dan semua masalah ekstrem kiri yang mencolok, bukan fokus pada pekerjaan yang seharusnya dilakukan: yakni memberi keuntungan kepada pemegang saham!

“Mereka tidak melindungi pegawai mereka dan para pemegang saham, melainkan memperhatikan kebijakan sosial, saya menilai ini mungkin merupakan sebuah bank yang tidak dikelola dengan baik.” Menurut berita di The Epoch Times edisi Bahasa Inggris, beberapa minggu sebelum bangkrutnya SVB, CEO bank tersebut menjual saham SVB Financial Group senilai 3,6 juta dolar AS. Lagi pula sebelum SVB bermasalah, dikabarkan selama sembilan bulan tidak ada orang yang bertanggung jawab atas pekerjaan penilaian risiko. Dan boss penilaian risiko yang “melek” itu, dikabarkan bulan demi bulan justru sibuk mengorganisir kegiatan kampanye LGBTQ+ yang berdurasi sebulan penuh dan juga hari “Lesbian Visibility Day 2023”!

Manajemen yang buruk adalah salah satu alasan bangkrutnya Silicon Valley Bank. Pada akhir 2022, SVB masih memiliki banyak surat hutang negara jangka panjang, tapi di saat suku bunga The Fed terus meningkat, mereka sepertinya tidak mengambil tindakan perlindungan terhadap risiko naiknya suku bunga. Mereka tadinya masih memiliki perlindungan suku bunga terhadap obligasi sebesar 14 milyar dolar AS, tapi perusahaan itu justru tidak memperbaruinya saat telah jatuh tempo, menyebabkan bank harus menghadapi risiko seperti itu. Sepanjang 2022, bank telah mengurangi perlindungan, hingga akhir tahun, dari 26 milyar dolar AS obligasi yang bisa dijual hanya 563 juta dolar AS yang ada perlindungannya, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya senilai 15,3 milyar dolar AS. Bank tersebut tidak melaporkan pertukaran apapun pada 91 milyar dolar AS obligasi (yang dimiliki sampai batas jatuh tempo). 

Dalam laporan bank itu dikatakan, karena suku bunga obligasi yang bisa dijualnya naik, kerugiannya tahun lalu lebih dari 2,4 milyar dolar AS. Dimana letak masalahnya? Eksekutif bank telah salah bertaruh, percaya pada penyataan pemerintah sayap kiri, bahwa inflasi tak akan lepas kendali, suku bunga tidak akan naik, sekarang mereka terpaksa menelan pil pahit atas keputusannya sendiri.

Media massa AS mengutip pernyataan nara sumber bahwa The Fed sedang mempertimbangkan untuk memberlakukan peraturan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap bank berskala menengah seperti Silicon Valley Bank. Nara sumber itu memberitahu Reuters bahwa wakil direktur The Fed yang bertanggung jawab supervisi yakni Michael Bar sedang melakukan audit terhadap Silicon Valley Bank, dan mungkin peraturan terhadap bank dengan nilai aset antara 100 milyar hingga 250 milyar dolar AS akan diperketat. Tetapi ada berita yang menyebutkan, tokoh internal dari World Economic Forum (WEF) mengakui bahwa kebangkrutan Silicon Valley Bank adalah sebuah “Trick dari The Great Reset (Tatanan Dunia Baru)”. Orang dalam WEF itu kedapatan membual bahwa runtuhnya Silicon Valley Bank adalah akibat sebuah konspirasi rumit yang telah direncanakan cermat, dan sangat sempurna — kebangkrutan kali ini akan menimbulkan efek domino di dunia perbankan, yang dapat menyebabkan hancurnya sistem moneter seluruh dunia. Lalu setelah hancur? Maka The Great Reset pun bisa dimulai.

Mengamati dunia kita ini dengan kepala dingin, benar-benar berada di tengah bahaya teramat besar. Kemerosotan ekonomi di seluruh dunia sepertinya tak terelakkan; inflasi seluruh dunia masih terus bertambah parah; kebijakan moneter yang super longgar masih terus diberlakukan; gelembung teknologi mungkin akan meletus pada 2023 ini; strategi radikalisme sayap kiri akan terus mengikis kulit manusia; bahkan perusahaan moneter yang lebih sehat pun, tidak mampu menahan dampak rendahnya keyakinan masyarakat. 

Apakah yang dapat dilakukan oleh lembaga pengawasan pemerintah? Dana cadangan bank dan lembaga keuangan mungkin harus ditambah, biaya perbankan akan meningkat, sementara keuntungannya menipis, menyebabkan semakin banyak bank akan gulung tikar. 

Dengan kata lain, di saat kejutan kasus Bank Silicon Valley ini memberi warning, dunia kita ini mungkin tidak akan terhindar dari pergolakan moneter, karena, walaupun ada berbagai upaya untuk mengantisipasi dan menetralisir krisis, namun upaya memanfaatkan krisis ini untuk mencapai sasaran ideologinya juga tidak pernah berhenti, mereka juga selalu menantikan timing yang tepat, dan setiap saat siap untuk menerkam.  (sud/whs)