Krisis ini Sulit Diatasi oleh Beijing, Rusia Juga Ikut Mencekik? 

Qin Yue

Fokus kali ini: Rusia memblokir “jalur kehidupan laut”, dan siapakah korban terparah? Kapal dagang Tiongkok tidak boleh berlayar masuk, jika tidak, akan dianggap sebagai kapal musuh dan ditenggelamkan? Rusia juga memutus pasokan dan mencekik leher? Krisis Beijing ini sungguh sulit diuraikan.

Perahu kecil simbol persahabatan Tiongkok dengan Rusia yang tidak terbatas itu akan segera karam? Satu aksi Rusia saat ini, disebut-sebut oleh kalangan media luar sebagai menusuk punggung Beijing dari belakang.

Rusia Tidak Lagi Memperpanjang “Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam”

Pada 17 Juli dini hari, jembatan besar yang menghubungkan Rusia dengan Semenanjung Krimea di Ukraina diledakkan, beberapa jam kemudian, Rusia mengumumkan: “Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam” segera berakhir pada 18 Juli, dan tidak akan memperpanjangnya lagi. Padahal hari Jum’at sebelumnya (14/07), Presiden Turki Erdoğan masih menyatakan, dirinya telah mencapai kesepahaman dengan Putin, dan akan memperpanjang perjanjian itu.

Perjanjian tersebut sangat penting, karena Ukraina dan Rusia merupakan negara pengekspor bahan pangan, setelah perang meletus, pasokan pangan dari kedua negara itu menyusut tajam, hal ini menyebabkan melambungnya harga bahan pangan global.

Untuk meredakan krisis pangan internasional itu, pada Juli tahun lalu, antara PBB, Rusia, Ukraina, dan juga Turki telah ditandatangani “Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam” (Black Sea Grain Initiative), yang memungkinkan Ukraina mengekspor bahan pangan melalui 3 pelabuhan di Laut Hitam termasuk Odessa, di saat yang sama juga memperbolehkan Rusia mengekspor produk pertanian dan pupuk walaupun dalam kondisi dikenakan sanksi.

Namun sekarang Rusia memutuskan mengundurkan diri dari perjanjian itu, berarti “saluran kemanusiaan” angkutan laut itu terpaksa ditutup. Selanjutnya, militer Rusia telah mengerahkan pesawat nirawak dan rudal, serta selama beberapa hari berturut-turut menyerang Odessa, pelabuhan Laut Hitam milik Ukraina.

Pihak Ukraina pada 19 Juli lalu menuding Rusia telah merusak infrastruktur ekspor pangan Ukraina dalam serangan udara di malam hari yang “ibarat neraka” itu. Presiden Zelensky dalam pidatonya malam itu mengatakan, “Pelabuhan yang hari ini diserang telah menyimpan sekitar 1 juta ton bahan pangan. Semua bahan pangan itu sedianya akan dikirim ke negara konsumen di Asia dan Afrika.”

60.000 Ton Produk Pertanian Yang Akan Dikirim ke Tiongkok Juga Tertahan

Zelensky terutama juga menekankan, terminal pelabuhan yang terdampak paling serius akibat serangan malam hari itu, menyimpan 60.000 ton produk pertanian yang akan dikirim ke Tiongkok.

Seakan tidak cukup hanya menutup saluran itu dan membombardir pelabuhan, Rusia kembali mengumumkan bahwa mulai 20 Juli, semua kapal yang berlayar melalui Laut Hitam menuju pelabuhan Ukraina akan dianggap sebagai “kapal logistik militer potensial”, dan negara pemilik kapal-kapal tersebut akan dianggap sebagai negara peserta perang yang berpihak pada Ukraina. Di saat yang sama, kawasan tenggara dan barat laut perairan Laut Hitam itu sementara ini juga ditetapkan sebagai kawasan yang “tidak aman untuk berlayar”.

Dengan kata lain, Rusia melalui intimidasi kekuatan militer, berniat memblokir transportasi pangan di Laut Hitam.

Tindakan Rusia pun menyulut kemarahan dunia. Menlu AS Blinken mengutuk bahwa Rusia telah “menjadikan pangan sebagai senjata”, hal ini sama sekali tidak bisa diterima. Presiden Komisi Eropa yakni Ursula Gertrud von der Leyen menyebutkan, keputusan Rusia adalah “egois dan arogan”, Uni Eropa akan terus berupaya memastikan keamanan pasokan pangan bagi negara-negara miskin.

Sekjend PBB António Guterres juga menyatakan kekecewaannya akan hal tersebut, ia berkata, mundurnya Rusia dari perjanjian, menandakan perjanjian terkait bahan pangan dan pupuk Rusia lainnya juga ikut berakhir.

Tiongkok Menjadi Korban

Di saat yang sama, karena Tiongkok  juga merupakan korban dari diakhirinya “Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam”, media asing juga mengalihkan sorotan kepada Beijing yang menjalin hubungan persahabatan tanpa batas dengan Rusia. Menurut data Pusat Riset Nasional Akademi Ekonomi Pertanian Ukraina, negara pengimpor terbesar produk pertanian Ukraina pada 2019 adalah Tiongkok, atau sekitar 8,7% dari total ekspor pertanian Ukraina.

Kantor berita Radio France Internationale (RFI) menganalisa, Moskow tidak lagi memperpanjang “Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam” seolah menunjukkan menusuk Beijing, sekutu utamanya, dari belakang. Kesepakatan itu telah berlangsung satu tahun, 33 juta ton bahan pangan Ukraina bisa diekspor ke 45 negara di seluruh dunia. Walaupun Rusia menyebutkan, mayoritas bahan pangan dari Ukraina mengalir ke Eropa dan negara makmur lainnya, tetapi kenyataannya hampir seperempatnya atau sekitar 8 juta ton telah mengalir ke pelabuhan di Tiongkok.

Hal ini tidak sulit dipahami, mengapa pemimpin PKT Xi Jinping juga senantiasa menekankan, pentingnya untuk bisa terus melaksanakan perjanjian ini. Dalam “12 pernyataan sikap” upaya Xi Jinping menengahi perang Rusia-Ukraina, salah satu di antaranya adalah menjamin ekspor bahan pangan, tertulis: “Semua pihak harus secara efektif dan menyeluruh melaksanakan ‘Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam’ yang telah ditandatangani oleh PBB, Ukraina, Turki, dan Rusia, mendukung fungsi penting PBB dalam masalah ini.”

Namun sekarang situasi canggung telah terjadi, karena Rusia tidak lagi mempedulikan apa yang disebut “persahabatan tanpa batas”, dan telah menghentikan perjanjian yang memberikan jaminan bagi RRT ini, Beijing akan mengalami kesulitan tidak bisa lagi mengimpor bahan pangan dari Ukraina.

Wilayah Produk Pertanian Berkurang, PKT Semakin Khawatir Keamanan Pangan

Sudah jatuh tertimpa tangga, surat kabar Prancis Les Echos memberitakan, panen gandum dan biji-bijian musim panas di Tiongkok pada tahun ini telah selesai akhir Juni lalu, walaupun luasan lahan tanam yang disemai bertambah, tetapi hasil panen kali ini menunjukkan tren menurun, merosot sekitar 0,9% dan ini adalah untuk pertama kalinya dalam 5 tahun terakhir, padahal panen musim panas mencakup ¼ dari total produksi pangan di Tiongkok.

Di samping itu, wilayah Provinsi Henan dan kawasan sekitar Tiongkok Tengah yang dijuluki “lumbung pangan Tiongkok”, belakangan ini terdampak air bah, juga telah menimbulkan kekhawatiran terbaru akan keamanan pangan, daerah tersebut memproduksi lebih dari ¾ gandum bagi seluruh negeri. Di saat yang sama, panen pangan di Provinsi Yunnan dan Guizhou di barat daya Tiongkok juga menurun drastis akibat kekeringan.

Hal ini kemungkinan akan membuat rezim Tiongkok semakin khawatir akan terjadinya krisis pangan.

Faktanya, beberapa tahun terakhir ini Tiongkok telah mengalami krisis keamanan pangan, PKT berbalik arah dari kebijakan “mengurangi lahan pertanian melindungi hutan” yang dulu dipromosikan kini berubah menjadi kebijakan “mengurangi hutan memulihkan pertanian”, bahkan membentuk “Tim Penegak Hukum Komprehensif Pedesaan” atau oleh kalangan luar disebut “pengawas desa”, fungsinya sama seperti “pengawas kota (= satpol PP di Indonesia)”, salah satu misi terpentingnya adalah memastikan adanya lahan untuk menghasilkan pangan, harus ditanami bahan pangan, yang kemudian dipastikan agar menjamin tercapainya “program pangan seratus milyar kati”, yaitu meningkatkan produksi pangan sampai seratus milyar kati (1 kati = setengah kilogram, red.), hal ini sepertinya mirip dengan gerakan “Lompatan Jauh ke Depan (sebuah program ambisius yang berlangsung dari 1958 hingga 1960 dengan tujuan membangkitkan ekonomi Tiongkok melalui industrialisasi secara besar-besaran dan memanfaatkan jumlah tenaga kerja murah. Program ini berakhir dengan bencana kelaparan dan telah menyebabkan kematian tidak wajar sekitar 21 juta orang lebih. Red.)”.

Tak hanya itu saja, dalam “Dokumen Nomor Satu Pusat” PKT 2023, disebutkan sebanyak 6 kali kata-kata “keamanan pangan”, bahkan ditekankan harus mengeluarkan “UU Jaminan Keamanan Pangan”. Dalam Kedua Sesi Rapat Pleno PKT tahun ini, Xi Jinping sekali lagi menekankan keamanan pangan, “Memastikan di dalam mangkuk setiap warga Tiongkok terisi dengan hasil pangan Tiongkok”, dari sini nampak kekhawatiran PKT terhadap kurangnya bahan pangan Tiongkok. 

Dalam kondisi seperti ini, Rusia memblokir kiriman bahan pangan dari Ukraina, berarti memutus pasokan bagi Tiongkok, tak heran bila media asing mendeskripsikan, Putin menusuk Xi Jinping dari belakang. Bagaimana Xi Jinping akan meresponnya, juga akan menjadi sorotan kalangan luar.

Warganet Ramai Membahas: Apakah Hubungan Tiongkok-Rusia Masih Tak Terbatas?

Selain itu, aksi Rusia kali ini, juga telah menimbulkan pembahasan hangat di Tiongkok. Di media sosial Tiongkok muncul artikel: “Kapal Dagang RRT Tidak Boleh Berlabuh di Ukraina, Jika Tidak Akan Dieksekusi Sebagai Kapal Musuh Oleh Militer Rusia”.

Warganet Tiongkok beramai-ramai menulis: “Ini berarti Rusia sudah tidak lagi mempunyai cara lain, kartu as di tangan sudah tidak ada sehingga menghalalkan segala cara.” “Ini berarti Rusia memusuhi seluruh dunia, apakah negara kita juga akan mengikutinya?” (Sud/Whs)