PKT Dukung Hamas, Berapa Lama Mampu Bertahan?

Wang Youqun

Pada 7 Oktober lalu, Israel mengalami serangan berdarah paling parah sepanjang 75 tahun kemerdekaannya. Dalam serangan Hamas tersebut, sebanyak 1.400 orang tewas, di antaranya mayoritas adalah warga sipil Israel, termasuk wanita dan anak-anak, balita, manula, juga 170 orang warga asing yang berasal dari 34 negara, dan 203 orang di antaranya disandera. Orang Yahudi yang dibunuh Hamas pada hari itu, lebih banyak daripada hari manapun pasca berakhirnya Perang Dunia II!

Dosen abadi Tel Aviv University Israel yakni Zhang Ping menuliskan, “Faktanya, tindakan kekerasan ini tidak hanya tak pernah dijumpai di Israel, juga jarang dialami dalam sejarah peradaban seluruh umat manusia— bahkan NAZI saat melakukan aksi genosidanya, sedikit banyak masih memahami kejahatan yang dilakukan itu tak terampuni, sehingga NAZI berusaha melakukannya dengan diam-diam, melenyapkan segala bukti, agar tidak diketahui orang luar. Tidak seperti Hamas yang bahkan dengan bangga akan perbuatannya dan memamerkannya kepada publik, menjadikannya sebagai modal untuk memamerkan kehebatan.”

Pasca serangan  tersebut, negara dan bangsa di seluruh dunia yang meyakini nilai-nilai universal dan tradisi mengutuk keras dan dengan tegas menentang tindakan tersebut.

Tapi hingga kini, Partai Komunis Tiongkok (PKT) tak hanya tidak mengutuk Hamas, sebaliknya dengan berbagai “trik ilusi” PKT justru membela Hamas. Misalnya, mencampur-adukkan serangan teror Hamas terhadap Israel dengan “konflik Israel-Palestina”; menyebut “inti permasalahannya adalah tidak memberikan keadilan bagi warga Palestina”, seakan bila Israel “memberikan keadilan bagi warga Palestina”, maka tidak akan terjadi serangan teror ini; saat Israel membalas serangan Hamas, PKT menghimbau Israel agar “segera menghentikan tembakan”, dan menilai tindakan Israel tersebut telah melampaui batasan membela diri.” 

PKT menyebut tindakan Israel menyerang balik Hamas yang merupakan “kekuatan teror, radikal, dan kejahatan” itu sebagai “membalas kekerasan dengan kekerasan”; pada saat negara Israel sedang dihadapkan dengan bencana, PKT justru mengatakan “jalan keluar yang fundamental untuk meredakan konflik Israel-Palestina adalah mewujudkan ‘Solusi Dua Negara’, dan mendirikan negara Palestina yang merdeka”. 

Sikap PKT terhadap Hamas, adalah berpihak pada Hamas, dan mendukung Hamas. Tapi, berapa lama PKT mampu mendukung Hamas?

Disini, penulis tidak ingin mengembangkan persoalan dan membuat diskusi komprehensif, dan lebih menitik-beratkan membahas tentang Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang berkaitan langsung dengan Israel serta terkait sikap negara Arab, masyarakat dan organisasi terhadap kelompok Hamas.

PLO Sebut Hamas Tidak Mewakili Rakyat Palestina

Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) adalah organisasi politik yang paling penting bagi bangsa Arab di Palestina. Hingga tahun 2019, sebanyak 143 negara di seluruh dunia telah mengakui bahwa PLO adalah perwakilan yang sah bagi rakyat Palestina. Ketua PLO sekarang, sekaligus ketua faksi politik terbesar PLO, juga pemimpin Otoritas Nasional Palestina (PNA) adalah Mahmoud Abbas.

Pada 15 Oktober lalu, menurut berita kantor berita resmi Palestina WAFA Agency, Abbas menyatakan, “Kebijakan dan tindakan Hamas tidak mewakili rakyat Palestina”. Hamas adalah singkatan dari “Gerakan Perlawanan Islam Palestina”, merupakan faksi ekstrem yang pecah dari PLO di tahun 1987.

Tahun 2006, pada pemilu parlemen otonomi Palestina Hamas mengalahkan Fatah, kemudian Perjanjian Damai Israel dan Palestina pun dilanggar, dengan terus melakukan serangan lintas batas terhadap Israel. Tahun 2007, Hamas bentrok senjata dengan Fatah di Gaza. Setelah 3 hari perang sengit, Fatah terdesak keluar dari Gaza, mundur hingga Tepi Barat Sungai Yordan, dan mendirikan pemerintahan Palestina yang sah. Sejak saat itu, Hamas pun menjadi penguasa di Gaza.

Perbedaan terbesar Hamas dengan Fatah PLO adalah, menolak eksistensi Israel yang sah secara hukum, dan tujuan pertarungannya adalah menghancurkan Israel. Pada 15 Oktober lalu, Dubes Israel untuk AS Michael Herzog saat diwawancarai CNN mengatakan, “Kami tidak berniat menguasai Gaza atau menguasai kembali Gaza.” Diperkirakan setelah menyingkirkan anggota teroris Hamas di Gaza, Israel mungkin akan menyerahkan Gaza untuk dipimpin oleh Fatah.

Mesir dan Yordania Tidak Mengizinkan Pengungsi Palestina Masuk Wilayahnya

Mesir dan Yordania adalah dua negara tetangga Israel. Israel berbatasan dengan Mesir di sisi barat daya, dan berbatasan dengan Yordania di sisi timur.

Sejak tahun 1948, negara Arab telah lima kali terlibat perang dengan Israel. Mesir ikut dalam perang Timur Tengah yang pertama, kedua, ketiga, dan keempat, sedangkan Yordania ikut dalam perang pertama dan ketiga. Selama empat kali perang Timur Tengah, Israel selalu menang dan negara Arab selalu kalah, waktu itu negara Arab yang terkuat yakni Mesir menyadari, tidak mungkin untuk tidak mengakui kedaulatan Israel, karena peperangan tidak menyelesaikan masalah.

Tahun 1979, Mesir pun mendahului menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Tahun 1980, Mesir menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, dan menjadi negara Arab pertama yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Tahun 1994, Yordania menandatangani perjanjian damai dengan Israel, dan di tahun yang sama kedua negara merealisasikan normalisasi hubungan diplomatik.

Pada  7 Oktober lalu, setelah Hamas menyerang Israel dan Israel memutuskan untuk membinasakan Hamas, kedua negara tetangga Israel yakni Mesir dan Yordania, walaupun tidak mengutuk Hamas, tapi menyampaikan sikap yang sama. Padal 17 Oktober, Raja Yordania Abdullah II bin Al-Hussein saat berkunjung ke Jerman mengatakan, Yordania dan Mesir tidak akan menerima pengungsi Palestina. Tanggal 18 Oktober, Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi juga mengatakan, tak akan menerima pengungsi Palestina. Baik Mesir maupun Yordania adalah negara Arab, dan memiliki budaya, ras, dan agama yang sama dengan Palestina. Ketika Israel melakukan bombardir terhadap Gaza yang dikuasai oleh Hamas, dan akan segera melakukan serangan darat, mengapa Mesir dan Yordania tidak bersedia menerima pengungsi Palestina?

Penyebab sesungguhnya adalah: setelah perang Timur Tengah yang ketiga meletus di tahun 1967, Yordania membuka gerbang negaranya, menerima lebih dari 4000 orang prajurit PLO serta 40.000 orang pengungsi Palestina yang dipimpin oleh Arafat. Namun Arafat justru melakukan tindakan teroris yang menggemparkan.

Tahun 1970, Arafat bersama dengan Suriah, berniat melakukan kudeta militer untuk menggulingkan Raja Yordania Hussein. Tahun 1971, PLO bahkan membunuh PM Yordania Wasfi Tal. Raja Hussein yang kehilangan kesabarannya itu pun mengusir PLO dan pengungsi Palestina dari Yordania. Semua basis PLO dihancurkan, sekitar 3000 hingga 4000 prajuritnya ditembak mati. Setelah PLO dan rakyat Palestina diusir dari Yordania, mereka semua masuk ke Libanon.

Lebanon sebelum era 70an abad lalu, adalah negara yang paling stabil di Timur Tengah, kehidupan warga Lebanon makmur, ibukotanya Beirut menjadi kota keuangan internasional yang sejajar dengan Zurich, dan mendapat julukan “Paris di Timur Dekat”.

Setibanya di Libanon, Arafat terus melakukan aksinya, menyebabkan Libanon terjerumus dalam perang saudara selama 16 tahun, setelah Libanon dikacaukan hingga luluh lantak, dan tidak bisa berdiri lagi. Pada tahun 1991, Libanon baru “membersihkan” PLO beserta pengungsinya.

Bagi Mesir, selain pelajaran menyakitkan yang terjadi di Yordania dan Lebanon, masih ada satu lagi alasan Mesir menolak pengungsi Palestina, Hamas dulunya adalah salah satu cabang dari Ikhwan Muslimin. Organisasi tersebut merupakan salah satu organisasi teroris yang menjadi sasaran pemberantasan utama oleh pemerintah Mesir.

Hamas pernah terlibat menyusun dan melakukan banyak aksi teror di berbagai tempat di Mesir, khususnya di Semenanjung Sinai, dan menewaskan banyak orang. Terhadap hal ini, Pengadilan Mesir mengumumkan Hamas sebagai organisasi teroris.

Tahun 2005, pada tahun yang sama Israel menarik pasukannya dari Gaza, Mesir dan Israel bersama-sama membangun tembok pembatas yang mengepung Gaza, karena jaraknya lebih pendek, Israel lebih dulu merampungkan proyek tersebut beberapa bulan lebih awal.

Tahun 2020, berjarak kurang dari 10 meter dari tembok pembatas pertama, Mesir kembali membangun tembok pembatas semen setinggi 6 meter, tebal 5 meter, dan panjang 13 km, mulai dari perlintasan perbatasan Kerem Shalom sampai pesisir laut kota perbatasan Rafah. Usai tembok dibangun, ditempatkan pula pos penjagaan setiap jarak 100 meter sepanjang tembok tersebut.

Pengeran Arab Saudi Mengutuk Serangan  Hamas

Tanggal 20 Oktober, salah satu konten dari pidato terbuka Pangeran Faisal Arab Saudi, adalah mengutuk kekerasan yang dilakukan Hamas. Ia berkata, “Saya dengan tegas aksi Hamas terhadap warga sipil usia dan jenis kelamin apapun. Sasaran seperti ini telah menutupi status Hamas yang menyebut dirinya Islam. Agama Islam melarang membunuh anak-anak tak berdosa, wanita, orang tua, dan larangan rumah ibadah.”

Pernyataan Pangeran Faisal walaupun tidak mewakili pemerintah Arab Saudi, tapi ia merupakan salah satu anggota kerajaan yang penting, pernah menjabat sebagai Direktur Badan Intelijen Arab Saudi selama 22 tahun, pidatonya sangat berbobot. Sebelumnya, hubungan diplomatik antara Israel dengan Arab Saudi telah mengalami perbaikan yang sangat besar, dan telah mendekati normalisasi hubungan diplomatik.

Tanggal 22 September, PM Israel Benjamin Netanyahu saat berpidato di PBB mengumumkan, Israel akan mencapai perjanjian damai yang bersejarah dengan Arab Saudi. Kesepakatan ini akan “mendorong perdamaian yang lebih luas antara agama Yahudi dengan agama Islam, Yerusalem dengan Mekkah, keturunan Ishak dengan keturunan Ismael”.

Netanyahu juga mengatakan, di KTT G20 yang belum lama ini digelar, Presiden AS Joe Biden, PM India Modi, serta pemimpin Eropa dan Arab mengumumkan dibentuknya sebuah koridor yang melintasi Semenanjung Arab dan Israel, dan menghubungkan India dan Eropa. Netanyahu berkata, “koridor yang visioner” ini akan mendorong hubungan perdagangan, komunikasi, dan energi, dan memakmurkan lebih dari 2 milyar orang.

Tapi normalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel, adalah hal yang tidak dapat ditolerir oleh Iran dan Hamas yang didukung oleh Iran. Hamas dan Iran tidak mengakui Israel.

Karena Arab Saudi merupakan negara terbesar di Semenanjung Arab, merupakan pemimpin Islam Sunni di dunia, juga memiliki dua tempat paling suci dalam agama Islam yakni Mekkah dan Madinah, dan merupakan salah satu negara terkaya di dunia, jika Arab Saudi merealisasikan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, mungkin akan membawa serta banyak negara Arab lainnya melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Inilah yang tidak bisa ditolerir Iran dan Hamas.

Ini juga yang menjadi salah satu alasan penting Iran mendukung Hamas melakukan serangan teroris terhadap Israel. Pasca serangan  Hamas, Arab Saudi mau tidak mau harus menghentikan proses rekonsiliasi dengan Israel. Tapi, Pangeran Faisal dalam pidatonya menyampaikan: segala upaya yang telah dilakukan oleh Israel dan Arab Saudi demi memperbaiki hubungan tidak akan menjadi sia-sia, hanya saja waktunya agak tertunda; Hamas akan dikucilkan lebih lanjut.

Sikap Warga Arab Di Wilayah Israel

Hingga akhir tahun 2022, dari total penduduk Israel sebanyak 9,656 juta jiwa, rasio bangsa Yahudi dan bangsa Arab masing-masing adalah 73,6% dan 21,1%.

Orang Arab di Israel mengalami kondisi yang sama dengan kaum minoritas lainnya. Tahun 2022, rata-rata PDB Israel sekitar 52.100 dolar AS dengan rata-rata pendapatan per bulan sekitar 3.422 dolar AS, terhitung negara yang makmur. Orang Arab di Israel tidak mengalami diskriminasi dalam hal ekonomi, merupakan sebagian orang yang kehidupannya paling kaya di antara bangsa Arab yang hidup di wilayah Palestina. Mereka hanya tidak puas terhadap aspek tertentu dalam politik. Walau demikian, mereka tetap menikmati kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, dan kebebasan membentuk partai politik, pada saat terjadi perang berunjuk rasa turun ke jalan, memberi dukungan bagi kebebasan negara yang bertikai.

Hasil survei warga selama bertahun-tahun menunjukkan, sekitar 70% orang Arab merasa bangga dengan statusnya sebagai warga negara Israel. Hasil survei warga baru-baru ini menunjukkan, sebanyak 86% orang Arab di Israel tidak mempertimbangkan untuk bermigrasi ke negara Arab lainnya.

Orang Arab di Israel sangat jarang turut serta dalam serangan teror dari organisasi radikal, sebaliknya akan menjadi sasaran serangan teroris. Karena selain terkena dampak serangan yang tidak pandang bulu, mereka juga akan dianggap sebagai “pengkhianat” atau “pelapor” oleh kaum radikal, sehingga berisiko akan menjadi sasaran “pembunuhan yang ditargetkan”. Ini mengakibatkan orang Arab di Israel semakin menjauhi kaum radikal. Ketika Hamas melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap Israel, orang Arab di Israel tidak akan “berkomplot dengan orang luar”.

Israel Dilindungi dan Dibantu Tuhan

Menurut penjelasan dosen abadi Tel Aviv University Zhang Ping, selama perang Timur Tengah pertama, pengungsi Yahudi dan pengungsi Arab dari Palestina yang meninggalkan dunia Arab jumlahnya setara, ada di kisaran 600.000 hingga 800.000 orang. Israel diam-diam menerima semua pengungsinya, menghabiskan banyak upaya untuk meleburkan mereka ke dalam masyarakat Israel yang didominasi oleh Yahudi Barat, dan tidak meminta bantuan uang sepeser pun dari dunia internasional, juga tidak menjadikan penyelesaian masalah pengungsinya sendiri sebagai prasyarat untuk mewujudkan perdamaian.

Israel adalah tanah yang sangat kecil, lahan pertanian per kapita hanya 480 meter persegi, sumber daya air per kapita hanya 0,03% dari rata-rata dunia, sumber daya alam sangat minim, kondisi alamnya juga sangat buruk. Tapi Israel yang kecil, di sekitarnya dikelilingi negara-negara musuh yang hendak menyingkirkannya, dan setelah mengalami lima kali peperangan, tetap berdiri kokoh.

Tak hanya itu saja, Israel pun menjadi satu-satunya negara makmur di Timur Tengah, merupakan negara dengan kekayaan per kapita tertinggi dan memiliki konglomerat terbanyak. Menurut daya yang dipublikasi Biro Statistik Israel: di tahun 2020, PDB Israel meningkat menjadi 17.598 Shekel Israel, atau sekitar 5.241 dolar AS. Israel adalah negara kuat teknologi yang diakui, kemampuan inovasinya menduduki posisi teratas di dunia. Hingga kini telah ada 14 orang yang meraih hadiah Nobel. Israel memiliki sekitar 200 perusahaan cip, merupakan salah satu negara yang memiliki industri semi konduktor paling lengkap di dunia, memiliki jumlah programmer di urutan nomor satu dunia, juga perusahaan startup teknologi tinggi terbanyak dalam satuan luas.

Sejak berdirinya Israel tahun 1948 hingga kini, usia 75 tahun, dalam hal politik, ekonomi, militer, teknologi, dan berbagai aspek lainnya, Israel telah menciptakan keajaiban yang dikagumi oleh dunia. Mengapa Israel mampu melakukan semua itu? Singkat kata, hanya: Tuhan menolong orang yang menolong dirinya sendiri. Israel terus berusaha mandiri, mengikuti kehendak Tuhan, sehingga mendapat bantuan Tuhan. Hamas “adu keras” dengan Israel, ibarat memukul batu dengan telur.

Kesimpulan

Menengok kembali 75 tahun sejarah Israel sejak berdirinya negara itu tahun 1948, konflik yang menentang kebangkitan Israel, mulai dari konflik seluruh dunia Arab dengan Israel, yakni “konflik Arab-Israel”, berubah menjadi konflik Palestina dengan Israel, yakni “konflik Palestina-Israel”, sampai kemudian konflik antara Hamas dengan Israel, yakni “konflik Hamas-Israel”.

Lingkaran teman Israel terus meluas, lingkaran musuhnya terus mengecil. Organisasi  Hamas berusaha melakukan serangan teror, memprovokasi meletusnya perang Timur Tengah keenam, membinasakan Israel adalah tindakan menentang takdir langit, tidak mungkin dapat terwujud.

PKT yang berpedoman pada Marxisme-Leninisme yang berkarakter “palsu, jahat, bertarung”, tanpa memahami situasi dengan jelas, mendukung Hamas untuk mengacaukan Timur Tengah, berharap mengambil kesempatan dalam kesempitan, itu juga tindakan menentang kehendak langit, pada akhirnya juga akan berakhir tragis “ditumpas oleh langit”.