Home Blog Page 1406

Pakar Memperingatkan Kemajuan Program Luar Angkasa Tiongkok Membuat AS Menjadi Rentan dalam Perang Luar Angkasa

Frank Fang

Para pembuat kebijakan Amerika Serikat perlu membuat sebuah strategi luar angkasa yang lebih baik, kata seorang ahli luar angkasa  dan ahli keamanan memperingatkan setelah Tiongkok mengirim tiga awak ke  stasiun luar angkasa milik Tiongkok yang belum selesai.

Brandon Weichert, penulis “Winning Space: How America Remains a Superpower,” mengatakan dalam sebuah wawancara dengan NTD pada tanggal 19 Juni dengan berkata : “Untuk bertarung dan memenangkan sebuah perang luar angkasa melawan Amerika Serikat, hal pertama yang dilakukan  [rezim Tiongkok] adalah melumpuhkan atau membutakan satelit-satelit Amerika Serikat di luar angkasa seperti acara Pearl Harbor.” 

Ia berkata : “Amerika Serikat belum siap untuk membela diri, apalagi membalas, terhadap cara yang akan menghalangi Tiongkok atau Rusia untuk berupaya melakukan hal ini selama sebuah krisis geopolitik.”

Badan yang bertanggung jawab atas program luar angkasa berawak Tiongkok, China Manned Space Engineering Office, bukanlah lembaga sipil seperti NASA. China Manned Space Engineering Office berada di bawah Komisi Militer Pusat Tiongkok, sebuah badan Partai Komunis China yang mengawasi militer Tiongkok.

Saat ini, China Manned Space Engineering Office saat ini dipimpin oleh Hao Chun, meskipun program luar angkasa berawak Tiongkok dipimpin oleh Jenderal Li Shangfu, yang juga adalah seorang direktur departemen di Komisi Militer Pusat Tiongkok.

Menggarisbawahi bagaimana program luar angkasa berawak Tiongkok adalah tidak dapat dipisahkan dari militer Tiongkok, tiga anggota awak–—Nie Haisheng, Liu Boming, dan Tang Hongbo—–adalah mantan pilot Angkatan Udara militer Tiongkok.

Tiga orang awak tersebut akan tinggal di modul utama stasiun selama tiga bulan, tinggal terlama di luar angkasa bagi warga negara Tiongkok sejak Beijing meluncurkan seorang astronot ke orbit Bumi pada tahun 2003. Stasiun luar angkasa Tiongkok, bernama Tiangong, akan menerima modul tambahan pada tahun 2022.

Stasiun Luar Angkasa Internasional, yang diluncurkan pada tahun 1998, merupakan sebuah kemitraan antara Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Rusia, dan negara-negara anggota Badan Luar Angkasa Eropa. Tiongkok dilarang ambil bagian dalam Stasiun Luar Angkasa Internasional sejak tahun 2011, ketika Amerika Serikat mengesahkan sebuah undang-undang yang melarang kerjasama luar angkasa antara NASA dengan organisasi-organisasi Tiongkok, karena alasan keprihatinan-keprihatinan keamanan nasional.

Tindakan-tindakan Tiongkok juga memicu ketidakpercayaan yang mengarah pada dilarangnya Tiongkok ambil bagian dalam Stasiun Luar Angkasa Internasional. Pada   Januari 2007, Tiongkok menembakkan sebuah rudal anti-satelit ke salah satu satelit cuaca miliknya yang tidak aktif, yang menarik keprihatinan internasional.

Brandon Weichert menunjuk dua teknologi luar angkasa Tiongkok yang dapat melumpuhkan satelit-satelit Amerika Serikat. Pertama, Brandon Weichert mengatakan sebuah lengan robot raksasa—–yang panjangnya 10 meter, yang dapat mengangkat benda-benda dengan berat hingga 20 ton, menurut media milik negara Tiongkok–—melekat dengan stasiun luar angkasa Tiongkok dan menimbulkan kesan sebuah ancaman yang serius.

“Jadi Tiongkok di masa damai dapat menggunakan lengan bergulat itu untuk membantu kapal-kapal berlabuh. Tetapi di masa perang, Tiongkok dapat menggunakan lengan bergulat itu untuk mengambil satelit-satelit kita dari orbit-orbit terdekat dan mendorong satelit-satelit kita keluar dari orbit atau menyabotasenya,” kata Brandon Weichert.

Pada April, Jenderal Angkatan Darat James Dickinson, seorang komandan Komando Luar Angkasa Amerika Serikat, mengatakan pada sebuah sidang Senat,  bahwa teknologi lengan robot Tiongkok  di luar angkasa “dapat digunakan dalam sebuah sistem masa depan untuk bergulat dengan satelit-satelit yang lain.”

Teknologi Tiongkok yang kedua yang menjadi ancaman bagi satelit-satelit Amerika Serikat adalah laser-laser, kata Brandon Weichert.

“Para perencana Tiongkok telah berbicara mengenai pemasangan sebuah laser yang besar ketika stasiun luar angkasa Tiongkok telah rampung di orbit. Kini, para perencana Tiongkok mengatakan di masa damai, laser tersebut akan digunakan untuk membersihkan puing-puing orbit. Tetapi, di masa perang, laser tersebut berpotensi digunakan untuk membutakan satelit-satelit Amerika Serikat yang sensitif di orbit,” kata Brandon Weichert.

Pada tahun 2018, para peneliti di Universitas Teknik Angkatan Udara Tiongkok memublikasikan sebuah makalah yang mengusulkan, bagaimana sebuah laser raksasa nantinya akan  efektif untuk membersihkan sampah-sampah luar angkasa dan satelit-satelit lama.

Komunikasi satelit adalah sangat penting tidak hanya bagi Washington untuk secara efektif mengerahkan pasukannya, tetapi juga penting bagi ekonomi Amerika Serikat. 

Brandon Weichert mengatakan bahwa  Amerika Serikat akan melihat ekonominya dikirim balik ke “era sebelum tahun 1970-an” tanpa satelit-satelit, mengingat sebagian besar transaksi-transaksi elektronik modern, seperti dana-dana yang diperdagangkan di bursa, mengandalkan satelit-satelit.

Lebih penting lagi, Tiongkok memanfaatkan kepemimpinan Amerika Serikat di luar angkasa, menurut Brandon Weichert.

“Tiongkok masih di belakang Amerika Serikat. Tetapi bukannya 18 tahun di belakang Amerika Serikat, 20 tahun di belakang Amerika Serikat, kini Tiongkok hanya sekitar enam atau tujuh tahun di belakang Amerika Serikat,” kata Brandon Weichert.

Saat ini, para pembuat kebijakan Amerika Serikat, “terlalu berpikiran sempit” sehubungan dengan kebijakan luar angkasa Amerika Serikat, kata Brandon Weichert. Para pembuat kebijakan Amerika Serikat perlu “mengembangkan sistem-sistem dan doktrin-doktrin” yang tidak hanya untuk membela satelit-satelit Amerika Serikat, tetapi juga untuk membela kepentingan-kepentingan komersial Amerika Serikat di masa depan. (Vv)

Sebanyak 401 Dokter dan 315 Perawat Meninggal Dunia Akibat COVID-19

ETIndonesia- Sejak awal pandemi melanda Indonesia, ratusan tenaga medis Indonesia yang terinfeksi COVID-19 meninggal dunia. Mereka terdiri para dokter dan perawat.  

“Per bulan Juni total bisa dikatakan 401 dokter telah meninggal,” kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Adib Khumaidi, SpOT, dalam jumpa pers Tim Mitigasi Dokter PB IDI, Jumat (25/6/2021) dikutip oleh Republika.

Ia menambahkan, kasus meninggal dunia di kalangan dokter meningkat pada Juni 2021 yang tecatat sebanyak 26 dokter. Sejumlah Data-data juga dikoordinasikan dengan rekan-rekan di persatuan perawat nasional Indonesia (PPNI).

Rincian tenaga kesehatan yang meninggal dunia adalah :

Dokter: 401 orang (24 Juni 2021)

Perawat : 315 orang

Tenaga Laboratorium : 25 orang

Dokter Gigi : 43 orang

Apoteker : 15 orang

Bidan : 150 orang

Adib menyerukan kepada tenaga Kesehatan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap COVID-19 hingga memperhatikan lebih serius  terkait penggunaan alat pelindung diri (APD).

Ia juga mengimbau kepada para dokter di atas 65 tahun agar tetap di rumah dan tentunya mohon bantuan jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Selain itu, diminta mengurangi aktivitas sosial, perketat penerapan 6M, dan melaporkan ke dokter mitigasi atau cabang dan perhimpunan masing-masing. (asr)

Satgas Minta Dahulukan Perawatan Pasien COVID-19 di Rumah Sakit Bagi yang Bergejala Berat

ETIndonesia- Tren peningkatan kasus COVID-19 dalam beberapa minggu terakhir juga meningkatkan keterisian tempat tidur rumah sakit di berbagai daerah. Oleh karena itu, Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito mengungkapkan perlunya manajemen yang baik terkait distribusi pasien COVID-19 yang tepat berdasarkan gejala sehingga keterisian tempat tidur di rumah sakit dapat terkendali.

“Tidak semua pasien COVID-19 harus ke rumah sakit untuk mendapat penanganan lanjut. Pasien dengan gejala berat dan sedang yang berhak didahulukan untuk mendapatkan penanganan, baik isolasi maupun perawatan intensif di rumah sakit,”ungkap Wiku dalam keterangan tertulisnya.

Lebih lanjut, Satgas menjelaskan sebaiknya isolasi dilakukan terpusat di lokasi-lokasi yang layak agar pelaksanaannya terpantau dengan baik. Pemerintah daerah melalui dinas kesehatan setempat bertanggung jawab menyediakan fasilitas isolasi terpusat. Fasilitas yang disediakan pun harus layak dan menarik minat masyarakat memanfaatkan fasilitas yang disediakan.

Satgas memahami kemampuan setiap daerah yang berbeda. Karena itu, masyarakat yang masih kekurangan fasilitas isolasi terpusat dapat ikut serta membantu upaya pengendalian COVID-19 secara berjenjang dengan berinisiatif melakukan isolasi mandiri baik di rumah, tempat kos, hotel, atau apartemen.

Satgas kembali menekankan bahwa isolasi mandiri berbeda dengan karantina mandiri. Karantina dilakukan oleh mereka yang sehat atau tidak memiliki gejala namun memiliki kontak erat dengan kasus positif atau baru saja melakukan aktivitas berisiko tinggi.

Sedangkan isolasi harus dilakukan mereka yang sudah jelas menunjukkan gejala serupa COVID-19 maupun orang positif COVID-19 berdasarkan hasil diagnostik.

Terakhir, Satgas mengingatkan agar masyarakat tidak panik dan tidak buru-buru ke rumah sakit bila mendapati hasil tes PCR yang mereka lakukan positif. Maksimalkan dahulu sumber daya masyarakat dengan upaya preventif optimal melalui posko. (asr)

Selain Rumah Sakit dr Soetomo, Hampir Merata Rumah Sakit Rujukan di Surabaya Kelebihan Kapasitas Pasien COVID-19

ETIndonesia – Rumah Sakit rujukan di provinsi Jawa Timur yakni Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soetomo di Surabaya mengalami kelebihan kapasitas dalam penerimaan pasien COVID-19.

Hal demikian dibenarkan oleh Direktur RSUD dr. Soetomo Surabaya Joni Wahyuhadi ketika dikonfirmasi oleh Antara pada Minggu (27/06/2021). Ia mengatakan, pasien COVID-19 yang dirawat sudah berada di atas 100 persen.

Ketua Rumpun Kuratif Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Jawa Timur itu menyebutkan seluruh rumah sakit rujukan di Surabaya juga mengalami kejadian serupa.

Senada disampaikan oleh Wakil Walikota Surabaya Armudji juga membenarkan terjadinya kapasitas terhadap rumah sakit rujukan tersebut.

“Ya sampai pagi ini hampir sama semuanya, BOR hampir penuh semuanya,” ujarnya kepada TV One, Senin (28/6/2021).

Menurut dia, rumah sakit rujukan tersebut menerima pasien-pasien yang berdatangan dari sejumlah Kabupaten/Kota di Jawa Timur.

“Kita saksikan rumah Sakit Soetomo, karena itu rumah sakitnya provinsi, jadi bukan orang Surabaya saja, tapi di luar daerah ada di sana, oleh karena itu, kita sebagai penyangga daerah-daerah seperti Madura, Gresik dan Sidoarjo maka Rumah Sakit dr Soetomo ini penuh,” imbuhnya.

Sedangkan bagi warga Surabaya, ia menyatakan sudah menyiapkan RS Suwandi dan menambah kapasitas isolasi di Asrama Haji untuk pasien COVID-19. Meksi demikian, ia berharap bagi warga yang tanpa gejala untuk isolasi mandiri di rumah.

“Warga kota Surabaya kita menyediakan rumah sakit daerah, RS Suwandi maupun asrama Haji  kita tambah, kemudian garda terdepan ada wilayah masing-masing, maka yang tidak terlalu parah isolasi mandiri di rumah,” ujarnya. (asr)

Rezim-Rezim Komunis yang Hanya Menampilkan Pola Kecemasan Bertahan Hidup

0

oleh Cheng Xiaonong

Rezim-rezim komunis di dunia menunjukkan sebuah pola kecemasan bertahan hidup. Dikarenakan ketakutan akan kehilangan kekuasaannya,  menyebabkan rezim-rezim komunis melakukan kejahatan-kejahatan serupa. Misalnya, beberapa dekade sebelum terjadi Pembantaian Lapangan Tiananmen pada tahun 1989, di mana rezim Tiongkok membunuh ribuan mahasiswa yang memprotes demokrasi, rezim komunis Jerman Timur, rezim komunis Cekoslowakia, dan rezim komunis Polandia semuanya melakukan tindakan keras serupa untuk menindas kebebasan berpendapat.

Pola kecemasan bertahan hidup yang dimiliki rezim komunis, demikian juga, dari kecemasan bertahan hidup yang sama ini, rezim-rezim komunis menutupi kebenaran atas kejahatan-kejahatan yang keji yang dilakukannya. 

Emosi atau kompleks inferioritas ini biasanya berasal dari kelemahan-kelemahan internal di dalam rezim tersebut, yang mana pada gilirannya menyebabkan kecemburuan, memprovokasi kebencian terhadap masyarakat maju. 

Ketika semakin lemah rezim-rezim komunis, semakin banyak kebencian yang dimilikinya, menghasilkan suatu ambisi yang ekstrem untuk menguasai dunia secara tidak bertanggung jawab. 

Terlepas dari intrik-intrik yang nyata selama 40 tahun terakhir, pemerintah-pemerintah dunia cenderung tidak melakukan pendekatan ke Tiongkok. Misalnya, sebagian besar presiden Amerika Serikat, kecuali Ronald Reagan dan Donald Trump, tidak mau menyelidiki teka-teki rezim-rezim komunis.

Mari kita lihat lebih dekat, bagaimana kecemasan bertahan hidup  mendorong rezim-rezim komunis untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang paling mengerikan.

Kejahatan-Kejahatan yang Disebabkan oleh Kecemasan Bertahan Hidup yang Dilakukan Partai Komunis Tiongkok

Mengakui Pembantaian Lapangan Tiananmen adalah sebuah hal tabu yang abadi bagi Partai Komunis Tiongkok. Pembantaian Lapangan Tiananmen, adalah sebuah kejahatan bersejarah di mana Partai Komunis Tiongkok berupaya untuk menyembunyikannya tetapi tidak pernah mengakuinya. 

Namun demikian, Pembantaian Lapangan Tiananmen hanyalah salah satu dari sekian banyak kejahatan yang identik dilakukan oleh rezim Tiongkok: Kolektivisasi Pertanian, Kampanye Anti-Kanan, Kelaparan Besar, Revolusi Kebudayaan, dan Pemutusan Hubungan Kerja pada tahun 1990-an–—masing-masing kejahatan ini dilakukan Partai Komunis Tiongkok karena kecemasan bertahan hidup.

Kampanye Kolektivisasi Pertanian adalah merampas tanah para petani yang dijanjikan Partai Komunis Tiongkok, untuk diberikan kepada para petani dalam Kampanye Reformasi Tanah. Partai Komunis Tiongkok menjarah produksi pertaniannya untuk mengumpulkan sumber daya secara paksa untuk perkembangan industri militernya. Perampasan tanah ini, dibenarkan oleh Partai Komunis Tiongkok. Dikarenakan, Partai Komunis Tiongkok takut akan diancam oleh Uni Soviet dan dikalahkan oleh Amerika Serikat.

Kampanye Anti-Kanan berasal dari ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan-kebijakan Partai Komunis Tiongkok, dan para intelektual yang berani berbicara untuk rakyat dihukum sebagai sebuah peringatan.

Kelaparan Besar didorong oleh gaya kepemimpinan Mao Zedong (pengawasan yang konstan). Selama Lompatan Jauh ke Depan dan Kelaparan Hebat, kecemasan bertahan hidup ala Mao Zedong, mencegah korban-korban kelaparan dari pedesaan untuk berbondong-bondong ke kota-kota karena Mao Zedong takut hal tersebut akan merusak citra rezim komunis.

Oleh karena itu, Mao Zedong memanggil milisi untuk menahan para petani untuk tetap berada di desa-desa di mana para petani tidak mempunyai makanan, membuat para petani kelaparan sampai mati. Tiga puluh juta nyawa tewas di tangan Partai Komunis Tiongkok, sedangkan Mao Zedong mengumpulkan cukup sumber daya uang untuk membuat bom-bom atom.

Pada Mei 1962, para pengungsi Tiongkok mengantre untuk makan. Selama kelaparan yang disebabkan oleh kebijakan “Lompatan Jauh ke Depan” Tiongkok, antara 140.000 dan 200.000 orang masuk secara ilegal ke Hong Kong. (AFP melalui Getty Images

Revolusi Kebudayaan juga didorong oleh rasa rendah diri Mao Zedong terhadap kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh Liu Shaoqi, saat itu adalah Wakil Ketua Republik Rakyat Tiongkok–—yang agak mendapat dukungan publik. 

Demi membangun otoritasnya sendiri, Mao Zedong merestrukturisasi sistem politik Zhongnanhai, markas pusat Partai Komunis Tiongkok, yang menyebabkan seluruh bangsa Tiongkok menderita kekacauan selama 10 tahun.

Pada tahun 1989, reformasi-reformasi ekonomi mulai membuahkan hasil, seiring dengan meningkatnya sentimen menuju demokrasi di universitas-universitas. Akhirnya, para mahasiswa secara damai mengajukan petisi untuk reformasi demokrasi. Namun demikian, mantan pemimpin Partai Komunis Tiongkok terpenting Deng Xiaoping, dan sekelompok pemimpin Partai Komunis Tiongkok diam-diam mengirim ratusan ribu tentara ke Beijing seolah-olah dihadang oleh musuh yang tangguh. 

Mereka menggunakan tank-tank dan senjata-senjata untuk membunuh banyak anak muda yang telah menyuarakan seruannya untuk demokrasi–—dan mengakhiri sebuah kemungkinan terwujudnya reformasi politik yang damai di Tiongkok.

Pemutusan Hubungan Kerja yang bersejarah, juga berasal dari kecemasan bertahan hidup Partai Komunis Tiongkok. Kepemilikan publik berdasarkan Marxisme dan sebuah ekonomi yang terencana, menyebabkan sebagian besar perusahaan di Tiongkok berada di ambang kebangkrutan dan bank-bank  milik negara yang mendanai perusahaan-perusahaan itu runtuh pada pertengahan tahun 1990-an. 

Zhu Rongji, saat itu Perdana Menteri Partai Komunis Tiongkok dari Republik Rakyat Tiongkok, untuk menegakkan  otoritas politik Partai Komunis Tiongkok, memprakarsai privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara. Kebijakan tersebut memungkinkan para direksi BUMN skala-kecil dan skala-menengah, untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan itu dan, pada saat yang sama, memangkas dan mengorbankan puluhan juta karyawan BUMN.

Reformasi-Reformasi Partai Komunis Tiongkok Membuktikan Revolusi-Revolusi Partai Komunis Tiongkok Menjadi Kejahatan-Kejahatan Sejarah

Partai Komunis Tiongkok, berada di tengah-tengah kecemasan bertahan hidup secara praktis sejak Partai Komunis Tiongkok dibentuk, dan cenderung akan seperti itu di masa depan.  Walaupun Partai Komunis Tiongkok mendeklarasikan banyak slogan propaganda yang angkuh seperti, “melampaui Inggris dan mengejar Amerika Serikat,” pada tahun 1950-an; dan “kekuatan yang meningkat,” saat ini; sebenarnya Partai Komunis Tiongkok memiliki banyak keluhan mendasar seperti, “para imperialis, kaum revisionis, dan anti-revolusioner tidak henti-hentinya berhasrat untuk memusnahkan Tiongkok (Partai Komunis Tiongkok),” dari abad terakhir; dan “perekonomian nasional adalah di ambang kehancuran,” sebelum reformasi. 

Oleh karena itu, Partai Komunis Tiongkok  mendorong rakyat Tiongkok untuk berjuang sebagai sebuah cara untuk membebaskan diri dari kecemasan bertahan hidup.

Faktanya, akar penyebab kecemasan Partai Komunis adalah krisis yang melekat dalam sistemnya sendiri. Seorang ekonom dari sebuah negara komunis Eropa Timur memiliki wawasan mengenai krisis ini. 

Pada tahun 1988, selama sebuah seminar mengenai reformasi negara sosialis yang diadakan di ibukota Austria, Wina, seorang ekonom dari komunis Hongaria berbicara blak-blakan mengenai ironi dari apa yang disebut sosialisme, yang katanya tidak lebih dari masa transisi dari kapitalisme ke kapitalisme. Yang ia maksud adalah bahwa meskipun negara komunis bertujuan untuk menghapus kapitalisme, cepat atau lambat, negara komunis harus kembali ke kapitalisme. 

Sudut pandang ini segera dipastikan melalui jatuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Tengah dan Eropa Timur. Demikian juga dengan reformasi-reformasi ekonomi di Tiongkok, Vietnam, dan Kuba menunjukkan bahwa sistem sosialis berturut-turut ditinggalkan oleh rezim-rezim komunis ini, dan ekonomi kapitalis dilembagakan kembali.

Pada tahun 2009, penulis mengajukan sebuah istilah—dua fase 30 tahun—untuk menggambarkan apa yang terjadi di Tiongkok dari tahun 1949 hingga 2009. 

Tema 30 tahun pertama adalah sebuah revolusi (dari revolusi sosialis pada tahun 1950-an berlanjut hingga revolusi di bawah kediktatoran kaum proletar pada tahun 1960-an), dan fase terakhir adalah pengembangan (contoh yang paling menonjol adalah “pengembangan adalah prinsip mutlak” oleh Deng Xiaoping). 

Jika kedua fase diteliti secara terpisah, masing-masing prestasi yang digembar-gemborkan oleh  media milik Partai Komunis Tiongkok tampaknya logis.

Namun, hasilnya akan berbeda jika kedua fase tersebut dicermati bersama.

Istilah yang paling disukai yang digunakan oleh pihak berwenang untuk fase terakhir adalah “reformasi dan keterbukaan.” Tiongkok memang  menjadi berorientasi-pasar dan juga terintegrasi dengan globalisasi ekonomi. Partai Komunis Tiongkok tampaknya telah membuat sebuah kontribusi yang bermakna untuk itu. Namun, sebelum tahun 1949, Tiongkok sudah menjadi sebuah ekonomi pasar dan terbuka untuk dunia. 

Setelah Partai Komunis Tiongkok merebut kekuasaan sejak saat itu Partai Komunis Tiongkok menguasai pemerintah republik, kediktatoran Partai Komunis Tiongkok selama lebih dari 60 tahun meninggalkan ekonomi dalam reruntuhan total. Objek reformasi bukanlah sistem di pemerintah republik, tetapi bencana yang dihasilkan dari kediktatorannya. Oleh karena itu, keberhasilan reformasi-reformasi membutuhkan sebuah penolakan terhadap revolusi yang digembar-gemborkan, dan reformasi-reformasi itu sendiri menjadi tidak lebih dari sebuah kompromi.

Paradoks dari dua pencapaian politik selama 30 tahun itu terlihat jelas: jika reformasi-reformasi yang asli menghasilkan hasil yang luar biasa, revolusi-revolusi Partai Komunis Tiongkok akan gagal. Sebaliknya, jika revolusi-revolusi telah menghasilkan prestasi-prestasi yang tinggi, maka reformasi-reformasi di kemudian hari tidak diperlukan. 

Oleh karena itu, Deng Xiaoping menekankan teori “tidak ada argumen”, karena ia tidak dapat membenarkan tindakan-tindakannya dan menyelesaikan paradoks itu. Sejauh menyangkut sistem ekonomi, gabungan pencapaian-pencapaian para penguasa dalam 60 tahun itu paling top akan membuat untuk kekurangannya. 

Warga Berlin bernyanyi dan menari di atas Tembok Berlin untuk merayakan pembukaan perbatasan Jerman Timur-Barat. Ribuan warga Jerman Timur pindah ke Barat setelah otoritas Jerman Timur membuka semua titik perlintasan perbatasan ke Barat. Di latar belakang adalah Gerbang Brandenburg, pada 10 November 1989. (AP Photo/Thomas Kienzle)

Selanjutnya, revolusi-revolusi menetapkan sebuah bentuk baru dari sistem otokratis, sedangkan reformasi-reformasi mengadopsi sebuah rencana ekonomi untuk menggabungkan sistem baru ini. Penerima-penerima manfaat utama, selalu adalah kelompok penguasa, yang bersembunyi di belakang rakyat.

Pada suatu waktu, Radio France Internationale mewawancarai penulis mengenai penggunaan istilah dua fase 30-tahun oleh dirinya. Video wawancara tersebut masih beredar di Tiongkok hingga saat ini, tetapi namanya telah diganti dengan nama lain. Kemudian, Xi Jinping memberikan sebuah pidato di Sekolah Partai Pusat Partai Komunis Tiongkok, menyatakan bahwa pencapaian-pencapaian dua fase 30-tahun itu adalah tidak bertentangan. 

Xi Jinping harus mengeluarkan sebuah perintah pelarangan untuk menjadikan dua fase 30-tahun itu, sebagai sebuah argumen yang tidak terbantahkan. Hal ini juga adalah manifestasi lain dari kecemasan bertahan hidup Partai Komunis Tiongkok.

Kecemasan Bertahan Hidup Terakhir Jerman Timur

Seorang ekonom Jerman Timur pernah berbagi dengan penulis mengenai  kecemasan bertahan hidup Partai Komunis Jerman Timur.

Pada tahun 1989, sebagai peneliti tamu di sebuah lembaga penelitian ekonomi di Berlin Barat, penulis sering mengunjungi para mahasiswa Tiongkok di Berlin Timur. Suatu saat, seorang mahasiswa internasional di Jerman Timur memberitahukan kepadanya bahwa seorang profesor Jerman Timur ingin bertemu dengan dirinya.

Profesor ekonomi tersebut—–untuk menghindari deteksi oleh Stasi (polisi rahasia Jerman Timur)—–memberitahukan nomor plat mobilnya dan menunggu di pinggir jalan dekat sebuah stasiun kereta bawah tanah di utara Berlin Timur. Penulis masuk ke mobilnya tepat waktu, tetapi ia tidak berani berbicara sampai kami tiba di villa miliknya di pinggiran kota.

Profesor ekonomi tersebut memperkenalkan dirinya sebagai seorang profesor kapitalis yang menunjukkan status sosialnya di Jerman Timur. Beberapa penduduk Jerman Timur yang dipercaya oleh pihak berwenang diizinkan untuk mengunjungi Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Meskipun ada kesepakatan-kesepakatan untuk pembebasan visa bersama dengan Tiongkok, penduduk Jerman Timur hanya dapat pergi ke Tiongkok atau Vietnam dengan sebuah paspor khusus. Paspor khusus tersebut adalah sebuah paspor kapitalis. 

Pihak berwenang Jerman Timur melihat Tiongkok sebagai sebuah rezim heterogen di antara negara-negara komunis dan menganggap reformasi-reformasi Tiongkok sebagai pemulihan kapitalisme. Ini juga bagaimana profesor kapitalis itu disebut. Sang profesor, yang bekerja di Sekolah Tinggi Ekonomi di Jerman Timur, bertemu dengan penulis untuk belajar lebih banyak mengenai Tiongkok.

Sang profesor mengungkapkan kepada penulis sebuah rahasia yang tidak diketahui oleh para ekonom Jerman Barat. Sang profesor adalah seorang anggota sebuah tim penelitian ekonomi yang diorganisir oleh petinggi  Jerman Timur, yang bekerja untuk Sekretaris Jenderal Jerman Timur Erich Honecker. Proyek penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi kapan ekonomi di Jerman Timur akan melampaui ekonomi Jerman Barat. 

Meskipun Jerman Timur adalah negara yang paling maju secara ekonomi di blok Soviet, namun Jerman Timur tertinggal jauh di belakang Jerman Barat. Jerman Timur sudah lama mengandalkan jalan-jalan tol di jalur luar Berlin Barat, yang dikelilingi oleh wilayah Jerman Timur untuk ekonomi Jerman Timur.

Sang profesor memberitahukan kepada penulis bahwa mereka menyerahkan sebuah laporan rahasia ke Erich Honecker, setelah belajar selama setengah tahun dan menyimpulkan bahwa, dalam hal pendapatan per kapita, Jerman Timur tidak akan pernah dapat melampaui Jerman Barat. Adalah sangat sulit bagi Jerman Timur untuk mencapai sebagian kecil Produk Domestik Bruto per kapita Jerman Barat. 

Kesimpulan tersebut memang membuat Erich Honecker kesal yang diliputi kecemasan bertahan hidup dan ia mengklasifikasikan laporan tersebut sebagai Sangat Rahasia, menyegel laporan tersebut selamanya. Erich Honecker dan rezim-rezim merah lainnya memiliki pola pikir yang sama—–ketakutan akan runtuhnya rezim-rezim merah.

Ambisi-Ambisi Global Rezim-Rezim Komunis dan Kecemasan-Kecemasan Bertahan Hidup

Didorong oleh ambisi-ambisi globalnya sendiri, kekuatan merah selalu berfantasi mengenai kebangkitannya. Pendidikan dan alat-alat propaganda rezim komunis selalu dicirikan oleh dua ciri: pertama, hegemoni Amerika Serikat adalah memudar, untuk yang lain, hegemoni kekuatan merah semakin bertambah. Pemuda yang tumbuh pada sebuah negara semacam itu, adalah korban-korban cuci otak jangka panjang, dan sebagian besar pemuda adalah orang-orang  berpikiran sederhana yang sangat percaya pada propaganda rezim sepanjang hidupnya. Semakin banyak alasan bagi pemimpin Partai untuk mengumumkan komentar-komentar yang begitu angkuh–—kadang dengan nada mengancam.

Pada 18 November 1956, Sekretaris Pertama Partai Komunis Uni Soviet Nikita Khrushchev, menyatakan kepada para diplomat Barat pada sebuah resepsi di Moskow untuk Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pekerja Polandia Wladyslaw Gomulka, “Kami akan mengubur anda!” Uni Soviet pada waktu itu, mengambil teknologi roket dan ahli-ahlinya dari Jerman, yang dikalahkan dalam Perang Dunia II, dan mempercepat pengembangan rudal-rudal. Uni Soviet adalah yang pertama yang meluncurkan sebuah pesawat ruang angkasa ke orbit dan berpikir dapat melampaui Amerika Serikat.

Secara kebetulan, pada bulan November 1968, ketika Mao Zedong bertemu dengan Edward Fowler Hill (dikenal sebagai Ted Hill), Ketua Partai Komunis Australia, ia mengungkapkan keinginannya untuk menyatukan dunia. 

Mao Zedong menegaskan: “Menurut pendapat saya, dunia perlu bersatu … Di masa lalu, banyak kekaisaran, yang mencakup Kekaisaran Mongol, Romawi di Barat, Alexander Agung, Napoleon, dan Inggris, ingin menyatukan dunia. Saat ini, baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet ingin menyatukan dunia. Hitler ingin menyatukan dunia … tetapi mereka semua gagal. Tampaknya bagi saya bahwa kemungkinan menyatukan dunia belum hilang … Dalam pandangan saya, dunia dapat disatukan … Tetapi kedua negara ini [Amerika Serikat dan Uni Soviet] memiliki populasi yang terlalu sedikit, dan kedua negara ini tidak akan memiliki cukup tenaga kerja jika tersebar. Selain itu, kedua negara ini juga takut bertempur dalam sebuah perang nuklir. Kedua negara ini tidak takut membunuh populasi di negara-negara lain, tetapi kedua negara ini takut membunuh populasinya sendiri … Dalam lima tahun berikutnya, negara kita … akan berada di posisi yang lebih baik …” 

Nada tinggi Mao Zedong menunjukkan ia dapat mulai menyebarkan mimpinya, untuk menyatukan dunia saat itu. Mao Zedong percaya bahwa tidak ada seorang pun selain dirinya sendiri dapat menyelesaikan tugas tersebut, dikarenakan Tiongkok memiliki populasi yang besar. Andai ratusan juta orang Tiongkok meninggal, akan ada lebih banyak lagi yang akan terus melanjutkan perjuangannya.

Ambisi rezim merah untuk menguasai seluruh dunia dan kecemasan rezim merah untuk bertahan hidup adalah seperti dua sisi mata uang. Kecemasan bertahan hidup melahirkan ambisi global, dan ambisi global melahirkan kecemasan bertahan hidup yang baru. Beginilah cara Perang Dingin Soviet-Amerika Serikat dan Perang Dingin Tiongkok-Amerika Serikat tersulut. 

Dilihat dari sudut pandang ini, kekuatan merah seolah-olah menghadapi Amerika Serikat atas bentrokan nilai. Kenyataannya, akar penyebab pertentangan antara kedua pihak terletak pada kecemasan bertahan hidup bawaan kekuasaan rezim merah dan ambisi global rezim merah. 

Namun demikian, dari zaman Bush hingga Clinton, dari zaman Obama hingga Biden, tidak satupun dari mereka melakukan sebuah penyelidikan mengenai kebenaran. 

Apakah itu mengadopsi kebijakan Clinton mengenai status negara yang paling disukai, untuk mengurangi kecemasan bertahan hidup Partai Komunis Tiongkok dan ambisi global Partai Komunis Tiongkok, atau kebijakan keterlibatan Obama untuk mencerahkan Partai Komunis Tiongkok, kebijakan-kebijakan tersebut terbukti merupakan pendekatan-pendekatan yang tidak disarankan. Bahkan, mencerminkan kegagalan orang-orang Amerika Serikat ini untuk memahami kekuatan rezim Tiongkok. (Vv)

Cheng Xiaonong adalah seorang pakar politik dan ekonomi Tiongkok yang berbasis di New Jersey. Cheng adalah seorang peneliti kebijakan dan mantan ajudan  pemimpin Partai Komunis Tiongkok, Zhao Ziyang. Ia juga menjabat sebagai pemimpin redaksi Modern China Studies

Jajak Pendapat : 60% Orang Amerika Percaya Virus Corona Bersumber dari Kebocoran Laboratorium

0

oleh Zhu Ying

Akhir-akhir ini, seruan komunitas internasional terhadap penyelidikan kembali sumber epidemi pneumonia komunis Tiongkok (COVID-19) semakin kuat. Beberapa waktu lalu sebuah media AS menyelenggarakan survei opini publik tentang topik tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa 60% orang Amerika yakin virus itu menyebar akibat terjadi kebocoran di laboratorium yang berada di Kota Wuhan, Tiongkok

Dari 19 hingga 22 Juni 2021, Fox News melakukan jajak pendapat terhadap 1.001 orang yang dipilih secara acak di seluruh Amerika Serikat. Hasil survei opini tersebut menunjukkan bahwa, 60% responden percaya virus yang menyebabkan epidemi pneumonia komunis Tiongkok itu bocor dari laboratorium di Tiongkok. Sebanyak 30% responden percaya bahwa virus itu berasal dari lingkungan alam bebas di Tiongkok.

Terhadap pertanyaan apakah epidemi telah mengubah gaya hidup orang Amerika, hasil jajak pendapat adalah 50% responden percaya, bahwa kehidupan orang Amerika akan berubah secara permanen karena wabah. 40% responden percaya bahwa perubahan itu hanya sementara. 6% responden merasa bahwa epidemi tidak benar-benar mengubah sesuatu apa pun.

Baru-baru ini, beberapa orang dari lingkaran politik atau badan intelijen AS telah mengungkapkan beberapa informasi kepada media, mengatakan bahwa banyak dari fenomena yang mereka temukan semuanya mengarah pada teori kebocoran, yaitu virus komunis Tiongkok (COVID-19) menyebar karena terjadi kebocoran dari laboratorium virus di Kota Wuhan .

Pada awal bulan ini, Wall Street Journal mengutip informasi dalam dokumen rahasia yang diterima dari sumber yang mengetahui masalah memberitakan, bahwa para peneliti dari Laboratorium Nasional Lawrence Livermore di California (Lawrence Livermore National Laboratory) pada Mei 2020, telah menyelesaikan sebuah penelitian terkait bagaimana virus berevolusi dan bagaimana penyebarannya dalam populasi, dengan cara menganalisis struktur genetik dari virus SARS-COV-2 (COVID-19).

Pada akhirnya, laboratorium tersebut menyimpulkan bahwa klaim virus ini lolos dari laboratorium Wuhan lebih kredibel dan layak untuk diselidiki lebih lanjut. Laporan tersebut juga memberikan alasan kuat untuk kesimpulan ini.

Seorang sumber yang mengetahui penelitian ini mengatakan bahwa Laboratorium Nasional Lawrence Livermore, sangat terspesialisasi dalam bidang bioteknologi, dan penelitian ini dilakukan oleh “departemen Z” dari laboratorium ini. Departemen tersebut merupakan unit intelijen laboratorium.

Laporan tersebut mengutip ucapan dari seorang pejabat yang sudah tidak aktif, tetapi ikut berpartisipasi dalam penyelidikan yang ditugaskan oleh Dewan Negara AS menyebutkan bahwa, hasil penelitian itu penting karena berasal dari laboratorium nasional yang dihormati.

Pada 15 Januari tahun ini, Dalam laporan Kementerian Luar Negeri AS tentang hasil investigasi terhadap masalah tersebut, juga tercantum alasan terperinci tentang dugaan kuat virus itu berasal dari kebocoran laboratorium baik secara sengaja atau tidak. Diantaranya disebutkan bahwa, beberapa peneliti dari Institut Virologi Wuhan pernah sakit pada musim gugur tahun 2019 lalu. Mereka membutuhkan perawatan rumah sakit dengan gejalanya yang sangat mirip dengan COVID-19 atau flu musiman. Hal-hal yang disebutkan dalam laporan ini telah ditinjau oleh badan-badan intelijen Amerika Serikat. (Vv)

Ilmuwan yang Mengecam Teori Kebocoran Laboratorium Dipecat dari Komisi COVID-19 Lancet

Isabel Van Brugen

Peter Daszak, Kepala EcoHealth Alliance yang berbasis di New York yang mengirim dana federal sebanyak ratusan ribu dolar untuk sebuah laboratorium di kota Wuhan, Tiongkok, telah dipecat dari Komisi COVID-19 Lancet

Berita pemecatan seorang ilmuwan secara diam-diam diumumkan di situs web resmi Komisi COVID-19 Lancet, yang menggambarkan pihaknya sedang memusatkan perhatian pada “menganalisis data pada semua teori yang diajukan mengenai asal-usul COVID.”

Peter Daszak yang ditunjuk sebagai ketua satgas, kini “mengundurkan diri dari pekerjaan Komisi COVID-19 Lancet mengenai asal-usul pandemi”, kata situs web Komisi COVID-19 Lancet. 

Komisi COVID-19 Lancet diselenggarakan oleh The United Nations Sustainable Development Solutions Network (SDSN) atau  Inisiatif Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB.  

The Epoch Times telah menghubungi Lancet untuk klarifikasi mengenai penolakan terhadap Peter Daszak.

Hal tersebut muncul ketika jurnal medis pada Senin 21 Juni menyatakan bahwa Peter Daszak, salah satu ahli virologi terkemuka yang menandatangani sebuah surat yang diterbitkan tahun lalu, pada dasarnya membongkar hipotesis “kebocoran laboratorium” COVID-19, gagal mengungkapkan “kepentingan-kepentingan yang bersaing,” seperti yang dipersyaratkan oleh International Committee of Medical Journal Editors.

Peter Daszak adalah salah satu dari 27 ilmuwan yang menandatangani surat berjudul “Pernyataan mendukung para ilmuwan, profesional kesehatan masyarakat, dan profesional medis dari Tiongkok dalam memerangi COVID-19.”

Disebutkan juga, “Kami berdiri bersama untuk mengutuk keras teori konspirasi yang menunjukkan bahwa COVID-19 tidak berasal dari alam,” dan menjadi salah satu dari dokumen yang paling berpengaruh di awal wabah virus tersebut yang membentuk diskusi mengenai asal-usul virus itu.

Lancet pada Senin 21 Juni juga mengatakan bahwa setelah mengundang semua 27 ilmuwan untuk mengevaluasi kembali kepentingan-kepentingan mereka yang bersaing, Peter Daszak mengajukan sebuah pernyataan pengungkapan yang diperbarui yang  mencatat bahwa balas jasanya dibayarkan semata-mata dalam bentuk gaji dari EcoHealth Alliance, sebuah yayasan penelitian nirlaba yang berbasis di New York.

Kelompok Peter Daszak, EcoHealth Alliance, bekerja secara langsung dengan laboratorium-laboratorium di Wuhan, Tiongkok, untuk meneliti Coronavirus. 

EcoHealth Alliance mengirim dana federal untuk mendukung penelitian manfaat-fungsi di Institut Virologi Wuhan Tiongkok, sebuah laboratorium tingkat atas di mana kasus-kasus COVID-19 pertama kali terdeteksi di  akhir tahun 2019.

EcoHealth Alliance di masa lalu telah menerima dana sebesar 3,7 juta dolar AS dari  National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) atau Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular yang dipimpin Dr. Anthony Fauci. Dari angka ini, setidaknya 600.000 dolar AS dikirim ke Institut Wuhan.

Penelitian manfaat-fungsi mencakup teknik-teknik yang digunakan untuk mengubah DNA, sebuah virus untuk memberikan karakteristik-karakteristik tambahan untuk virus tersebut, yang mana mencakup ketahanan yang lebih besar terhadap vaksin, penyebaran yang lebih cepat di antara para korban, dan gejala-gejala spesifik yang akan diderita para korban.

Seruan-seruan untuk menyelidiki asal-usul virus Komunis Tiongkok atau Coronavirus, semakin meningkat minggu-minggu belakangan ini, dan hipotesis bahwa virus tersebut mungkin telah dimanipulasi di Institut Virologi Wuhan sedang menarik perhatian.

Wall Street Journal melaporkan pada 23 Mei lalu, bahwa tiga peneliti di Institut Virologi Wuhan dirawat di rumah sakit pada November 2019. Mereka menderita dengan gejala-gejala yang konsisten dengan flu musiman dan COVID-19. 

Wall Street Journal mengutip sumber-sumber pemerintah Amerika Serikat yang tidak disebutkan namanya, yang mana akrab dengan sebuah laporan intelijen Amerika Serikat yang sebelumnya tidak diungkapkan.

Presiden Joe Biden pada 26 Mei memerintahkan komunitas intelijen AS, untuk melakukan sebuah penilaian dengan tenggat waktu 90 hari. Ia juga meminta komunitas intelijen di negara itu untuk “menggandakan” upaya-upaya penyelidikannya. (Vv)

Xi Jinping Dinilai Ingin Para Pejabatnya ‘Bermuka Dua’ untuk Menyebarkan Agenda PKT ke Seluruh Dunia

0

Eva Fu

Saat Beijing bersiap untuk sebuah serangan pesona besar untuk disayangi pihak Barat, berharap tidak ada perubahan sejati dari Partai Komunis Tiongkok–—hanya “lebih licik,” sebagaimana diperingatkan oleh para analis

Pada akhir bulan Mei, pemimpin partai Komunis Tiongkok Xi Jinping mengadakan sebuah “sesi belajar,” memberitahu para pejabat tinggi komunis untuk menjadikan sesi belajar tersebut sebagai sebuah prioritas untuk menciptakan sebuah citra Tiongkok yang menyenangkan dan terhormat.”

Menurut Xi Jinping, hal tersebut mengharuskan mereka untuk “memperluas lingkaran persahabatannya,” “menangkan mayoritas,” dan “memperhatikan strategi dan seni perang naratif”, sehingga terhadap masalah-masalah penting mereka dapat membuat diri mereka didengar. Mereka harus mengatur nada yang tepat untuk menampilkan dirinya “terbuka maupun percaya diri, namun tetap sederhana dan rendah hati,” kata Xi Jinping.

Pidato pemimpin komunis itu adalah sebuah seruan untuk secara langsung untuk mempersenjatai kepegawaian, kata Feng Chongyi, seorang akademisi yang berbasis di Sydney.

“Xi Jinping mengobarkan sebuah perang kata-kata untuk mengendalikan narasi global,” Feng Chongyi, seorang profesor studi Tiongkok di Universitas Teknologi, mengatakan kepada The Epoch Times.

Feng Chongyi mengatakan bahwa, Xi Jinping berusaha untuk “membantu antek-anteknya untuk bekerja lebih efektif.”

Dalam pandangan Xi Jinping, rezim Tiongkok belum berbuat cukup untuk menipu dunia dengan apa yang disebut cerita-cerita positif yang berasal dari Tiongkok, jadi “kini perlu digandakan,” kata Feng Chongyi.

Sebuah ‘Tindakan Penyelamatan Diri’

Sementara upaya-upaya rezim Tiongkok untuk mempengaruhi narasi global bukanlah hal baru, tekanan internasional saat ini telah menambah kedaruratan tersebut.

Rezim Tiongkok telah mengalami serangkaian kemunduran, karena para diplomat rezim Tiongkok telah berdebat dengan negara-negara di seluruh dunia di bawah sebuah pendekatan yang agresif, yang dikenal sebagai “diplomasi prajurit serigala.”

Di Uni Eropa, para anggota parlemen telah menangguhkan sebuah usulan perjanjian dagang Uni Eropa-Tiongkok yang membutuhkan beberapa tahun dalam pembuatan, setelah Beijing memberlakukan sanksi-sanksi balasan terhadap para anggota parlemen.

Australia, yang telah menanggung beban kemarahan Beijing, setelah tahun lalu menyerukan diadakannya sebuah penyelidikan independen terhadap asal-usul pandemi, baru-baru ini bekerja sama dengan Selandia Baru—–sebuah negara yang enggan mengkritik Tiongkok–—untuk mengungkapkan “keprihatinan-keprihatinan serius” terhadap kendali Beijing yang ketat atas Hong Kong dan perlakuan Beijing terhadap Muslim Uighur di Xinjiang, di mana semakin banyak negara mengenalinya sebagai sebuah  genosida.

Di Filipina, rezim Tiongkok mengumpulkan ratusan perahu milisi-berawak di terumbu-terumbu karang, yang mana disengketakan terletak di perairan teritorial Manila yang memicu kemarahan dari para pejabat Filipina. Menteri Luar Negeri Filipina mengeluarkan sebuah peringatan yang penuh sumpah serapah di Twitter, ia menuntut kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok untuk menjauhi perairan yang disengketakan itu. Bahkan Presiden Rodrigo Duterte, yang secara historis bersahabat dengan rezim Tiongkok, mengancam akan mengirim kapal-kapal militer ke Laut Tiongkok Selatan untuk “mempertaruhkan sebuah klaim” atas sumber daya di wilayah yang disengketakan itu.

Minggu ini, baik negara-negara kaya Grup Tujuh (G-7) maupun NATO, mengubah fokus mereka terhadap tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh rezim Tiongkok—–sebuah tanda munculnya upaya terkoordinasi oleh negara-negara demokrasi untuk menghadapi Beijing.

Dengan penanganan pandemi oleh rezim Tiongkok yang semakin menarik perhatian, pandangan-pandangan negatif terhadap Tiongkok yang melonjak di beberapa negara, dan kemarahan yang memuncak terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh Beijing, Barat tampaknya “mengepung” Partai Komunis Tiongkok, kata Huang Jinqiu, seorang penulis dan seorang pembangkang yang berbasis di Provinsi Zhejiang, Tiongkok timur. Tantangan tersebut adalah beragam, dari ekonomi hingga militer hingga ideologis, tambah Huang Jinqiu.

Dari sudut pandang partai yang berkuasa, ada bahaya bahwa “perang dingin dapat menjadi perang panas,” dan partai yang berkuasa tersebut sangat ingin keluar dari dilema itu, kata Huang Jinqiu.

“Bagaimana cara anda menembusnya? Anda mulai dengan memenangkan hati mereka,” kata Huang Jinqiu. Dan di sinilah propaganda berperan.

“Ini adalah sebuah tindakan penyelamatan diri untuk meningkatkan citra global rezim Tiongkok,agar rezim Tiongkok tidak selalu menjadi penjahat yang diolok-olok semua orang,” kata Huang Jinqiu.

Propaganda semacam itu dapat datang dalam berbagai bentuk dan mungkin tidak tampak seperti yang dipikirkan orang-orang, kata Huang Jinqiu, yang menunjuk pada program-program kebudayaan yang didanai negara Tiongkok, aplikasi-aplikasi populer milik Tiongkok, dan iklan-iklan oleh media pemerintah Tiongkok yang ditempatkan di outlet-outlet Barat.

“Banyak orang Barat mungkin tidak ingin ada hubungannya dengan Tiongkok, tetapi mereka mungkin sangat memikirkan TikTok dan, karena produk TikTok, berkembang sebuah perasaan yang lebih mencintai Tiongkok,” kata Huang Jinqiu, merujuk pada aplikasi video milik Tiongkok tersebut yang berupaya dicekal oleh pemerintahan Donald Trump atas keprihatinan-keprihatinan keamanan data.

‘Strategi Bermuka Dua’

Tetapi Hua Po, seorang analis politik yang berbasis di Beijing, memperingatkan bahwa para diplomat Tiongkok cenderung tidak meninggalkan retorikanya yang berapi-api dalam waktu dekat.

Sementara seruan Xi Jinping untuk kesederhanaan dan kerendahan hati, mungkin tampak bertentangan dengan gaya agresif para  diplomat Tiongkok, bagi rezim Tiongkok itu hanyalah “masalah strategi,” kata Hua Po.

“Yang disebut kerendahan hati hanyalah sebuah taktik. Anda ingin menjadi sedikit lebih bijaksana dalam beberapa bidang, seperti mempromosikan kebudayaan Tiongkok, sehingga lebih mudah bagi orang-orang untuk menerima [propaganda].”

Namun yang mendasari strategi ini, tujuannya masih tetap sama: rezim Tiongkok “tidak mau” mundur dari perjuangannya untuk kekuasaan wacana” dengan Barat, kata Hua Po, mengacu pada keinginan Xi Jinping untuk mengendalikan diskusi publik di seluruh dunia.

Sementara itu, rezim Tiongkok dapat memilih sebuah pendekatan yang lebih lunak terhadap negara-negara tertentu, untuk membuat negara-negara tersebut memihaknya, sambil tetap bersikap agresif terhadap negara-negara lain, menurut Hua Po. Misalnya, itu berarti bersikeras terhadap Amerika Serikat, pembalasan keras terhadap Australia, berteman dengan Jerman dan negara-negara Eropa, dan sebuah kombinasi dari keduanya untuk Kanada.

Bahwa Beijing tidak akan mundur secara diplomatis adalah terbukti dalam pernyataan yang dibuat oleh cendekiawan Zhang Weiwei, yang merupakan satu-satunya akademisi yang  diundang untuk memberi kuliah kepada para pejabat senior di sesi belajar ala Xi Jinping, dalam sebuah wawancara berbahasa Inggris dengan corong Partai Komunis Tiongkok People’s Daily pada 1 Juni.

“Kisah Tiongkok belum diceritakan dengan baik ke dunia luar, terutama dalam sebuah bahasa yang dapat dimengerti oleh orang-orang asing,” kata profesor Universitas Fudan itu. Ia menyalahkan hal itu karena “terutama sebuah masalah di pihak Barat.”

Zhang Weiwei lebih lanjut menyatakan bahwa, “tidak ada cara untuk mengendalikan sebuah negara seperti Tiongkok.” Zhang Weiwei mengatakan bahwa mengendalikan Tiongkok hanya akan mengakibatkan “dipastikan saling menghancurkan.”

Feng Chongyi, akademisi Sydney, menggambarkan pendekatan baru itu sebagai sebuah “strategi bermuka dua.”

“Ini bukan untuk menolak diplomasi serigala-pejuang, melainkan untuk melengkapi diplomasi serigala-pejuang, Mereka menyempurnakan keterampilan-keterampilan penipuannya dan mendapatkan menjadi lebih licik. Anda memainkan ‘serigala’ atau ‘kucing’ tergantung pada situasi,” kata Feng Chongyi.

Tidak peduli seberapa licik taktik tersebut, ada batasan-batasan untuk apa yang dapat dilakukan rezim Tiongkok, kata Feng Chongyi.

“Partai Komunis Tiongkok “telah bertindak terlalu jauh,Bahkan teman-temannya, yang disebut pemeluk-pemeluk panda, merasa malu berbicara atas nama mereka,” ujarnya. (Vv)