HONG KONG – Belasan anggota Kongres AS telah mencalonkan gerakan pro demokrasi Hong Kong dan ketua-ketua mahasiswanya yang paling menonjol untuk Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini.
Dalam pencalonan Joshua Wong (21 tahun), dan rekan-rekannya Nathan Law (24 tahun), dan Alex Chow (27 tahun), yang memimpin puluhan ribu demonstran pro-demokrasi yang melakukan unjuk rasa terbesar di bekas koloni Inggris pada akhir 2014, para pembuat undang-unndang tersebut ingin mengakui “usaha damai mereka untuk membawa reformasi politik dan penentuan nasib sendiri untuk Hong Kong.”
Protes tersebut merupakan bagian dari pemberontakan populis yang menjadi tantangan politik utama bagi penguasa Partai Komunis Tiongkok di Beijing, yang menguasai wilayah tersebut dari Inggris pada tahun 1997, sebagai bagian dari syarat Deklarasi Bersama Sino-Inggris.
Deklarasi tersebut menjamin prinsip “satu negara, dua sistem”, yang menjanjikan otonomi dan kebebasan tingkat tinggi Hong Kong tidak dinikmati di Tiongkok daratan, seperti kebebasan berbicara dan peradilan yang independen. Namun banyak pengamat melihat pengikisan bertahap dari kebebasan tersebut sejak 1997. Sementara itu, perbedaan pendapat melawan pengaruh yang melampaui batas Partai tersebut di Hong Kong telah memancing kemarahan Beijing.
“Pembela pro demokrasi Hong Kong telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perdamaian dengan secara aktif berusaha melindungi masa depan Hong Kong pada saat Beijing telah mengambil langkah-langkah untuk merongrong otonomi Hong Kong yang telah lama disegani,” empat orang Demokrat dan delapan orang Republik, termasuk mantan calon presiden Marco Rubio, mengatakan kepada Komite Hadiah Nobel Perdamaian dalam sebuah surat.
Jika Wong menang, dia akan menjadi orang termuda kedua yang menerima Hadiah Nobel setelah Malala Yousafzai dari Pakistan, yang berusia 17 tahun saat menjadi pemenang pada tahun 2014. Pemenangnya akan diumumkan pada bulan Oktober.
Puluhan ribu pemrotes, beberapa menggunakan payung untuk melindungi diri dari serangan semprotan gas air mata dan merica oleh polisi setempat, mendirikan kamp di jalan-jalan utama kota selama 79 hari pada akhir 2014, demonstrasi-demontrasi yang telah merebut halaman berita utama internasional dan perhatian media sosial. Protes tersebut diberi julukan #UmbrellaMovement (Gerakan Payung).
Namun demonstrasi yang sebagian besar damai tersebut gagal menekan pemerintah Hong Kong dan Beijing untuk memberi hak pilih kepada warga negara untuk memilih pemimpin kota tersebut.
Para kritikus telah mengecam serangkaian insiden-insiden “pembalasan” berikutnya, termasuk hukuman penjara selama enam bulan untuk trio yang dinominasi Hadian Nobel Perdamaian dan, yang terakhir, sebuah larangan untuk sekutu Wong, Agnes Chow, untuk tidak menjalani pemilihan legislatif.
Pihak berwenang Hong Kong telah menolak campur tangan politik, mengatakan semuanya dilakukan sesuai dengan hukum.
Wong, yang menghadapi dua kali banding atas hukuman penjara terpisah, mengatakan bahwa dia berharap nominasi tersebut akan memberi lebih banyak kekuatan tawar-menawar untuk gerakan demokrasi kota tersebut.
“Saya yakin pencalonan tersebut akan menunjukkan kepada masyarakat internasional dan [pemimpin Tiongkok] Xi Jinping bagaimana generasi muda akan bertahan dalam memperjuangkan demokrasi, bahkan jika kita harus menghadapi hukuman penjara atau larangan permanen dari kantor publik,” kata Wong.
Para nominator tersebut telah memancing kemarahan dari Beijing, yang mengatakan bahwa kota tersebut adalah bagian Tiongkok yang tak dapat dipisahkan.
Dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke Reuters, Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan bahwa Wong dan yang lainnya yang terlibat dalam demonstrasi tersebut telah dihukum sesuai dengan hukum.
“Kami mendesak anggota Kongres AS yang bersangkutan untuk berhenti mencampuri urusan internal Hong Kong dan Tiongkok, dan berbuat lebih banyak untuk menguntungkan pengembangan hubungan Sino-AS daripada sebaliknya,” katanya.
Satu-satunya pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Tiongkok, intelektual pembangkang Liu Xiaobo, meninggal Juli lalu, menjadi pemenang Nobel pertama yang meninggal dalam tahanan sejak Carl von Ossietzky meninggal di bawah pengawasan Nazi Jerman pada tahun 1938.
Istrinya, Liu Xia, mengatakan menderita depresi berat, masih dalam tahanan rumah yang efektif. (ran)
ErabaruNews