Oleh Jasper Fakkert
Epochtimes.id- Sanksi yang dipimpin Amerika Serikat diberlakukan untuk Korea Utara mulai berdampak pada negara komunis yang tertutup itu.
Rezim Korea Utara, yang sering membanggakan sebagai “negara model sosialis”, terpaksa mengakui besarnya dampak yang dikenakan akibat sanksi tersebut.
Dalam sebuah surat kepada PBB pada hari Jumat, utusan Korea Utara menggambarkan sanksi tersebut sebagai “brutal.” Para diplomat dalam surat tersebut mengatakan hal tersebut sebagai “genosida”.
Meskipun puluhan tahun kemiskinan di bawah gagalnya kebijakan ekonomi komunis, Korea Utara menghabiskan anggaran hingga 24 persen dari total belanja negara untuk militer, menurut Departemen Luar Negeri AS.
Anggaran ini terus dikejar untuk alokasi senjata nuklir – dengan biaya tinggi, sangat relatif terhadap ukuran ekonominya, yang mana Produk Domestik Bruto (PDB) Bank Sentral Korea Selatan memperkirakan berada di $ 28,5 Miliar.
Kampanye Internasional untuk Mengakhiri Program Senjata Nuklir memperkirakan pada tahun 2011 Korea Utara menghabiskan $ 700 juta untuk mengembangkan senjata nuklir. Pada tahun 2012, CNN mengutip sumber Korea Selatan yang memperkirakan bahwa Korea Utara telah menghabiskan $ 1,3 miliar untuk dua kali peluncuran rudal.
Rezim komunis Korut juga bertanggung jawab atas kasus kelaparan yang mengakibatkan jutaan kematian.
Sejak memegang kekuasaan setelah kematian ayahnya di tahun 2011, Kim Jong Un telah melakukan sekitar 85 uji coba balistik.
Dalam suratnya, Korea Utara menyalahkan sanksi karena tidak mengizinkan barang-barang bantuan PBB untuk memasuki negara tersebut.
Namun, menurut mantan pembelot Korea Utara, Ri Jong Ho, rezim tersebut menggunakan barang-barang bantuan PBB untuk kepentingan militer dan bukan untuk rakyat Korut.
Berbicara di New York bulan lalu, Ri mengatakan bahwa dia secara pribadi telah melihat personil militer Korea Utara memuat barang-barang tersebut ke truk militer.
Pengakuan oleh Korea Utara tentang sanksi tersebut disampaikan setelah dewan keamanan PBB memberlakukan tahapan baru mereka pada awal September menyusul uji coba nuklir bawah tanah Korea Utara yang ke enam.
Sanksi PBB melarang penjualan gas alam ke Korea Utara dan membatasi jumlah minyak yang bisa dijual ke Korea Utara. Ini juga memotong jalur kehidupan ekonomi penting ke Korea Utara dengan melarang ekspor produk kapas.
Tiongkok telah memberikan dukungan resmi untuk sanksi tersebut, dan bahkan melangkah lebih jauh, memerintahkan bank-banknya untuk berhenti memberikan layanan keuangan ke Korea Utara.
Perusahaan tersebut juga memerintahkan bisnis Korea Utara yang beroperasi di Tiongkok untuk ditutup dalam waktu 120 hari. Rusia, di sisi lain, telah memungkinkan peningkatan arus lalu lintas penyelundupan ke Korea Utara, yang memberikan ruang bangsa yang terisolasi itu sebuah jalur keberlangsung hidup Korut.
Presiden Donald Trump percaya bahwa Tiongkok dapat melakukan lebih banyak untuk menahan Korea Utara. Trump juga mendesak pemimpin Xi Jinping untuk melakukan hal itu selama kunjungannya ke Tiongkok dalam turnya ke Asia timur, yang dimulai pada 3 November.
Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, Joseph Dunford, mengatakan dalam sebuah testimoni di hadapan Komite Senat Angkatan Bersenjata Amerika Serikat pada 26 September, bahwa Tiongkok yang memberi tekanan ekonomi pada Korea Utara adalah elemen kunci untuk menghindari perang.
Pemerintahan Trump telah menyiapkan berbagai pilihan militer sementara secara bersamaan mencoba menemukan solusi diplomatik untuk masalah tersebut.
Selama kunjungannya ke Asia, Trump diharapkan dapat menyelesaikan situasi Korea Utara menjadi prioritas.
Menurut Penasehat Keamanan Nasional Amerika Serikat, H.R. McMaster, waktunya hampir habis dengan solusi diplomatik ke Korea Utara.
Direktur CIA Mike Pompeo percaya hanya butuh beberapa bulan sebelum Korea Utara menyelesaikan program senjata nuklirnya, memberikan kemampuan untuk berhasil menembakkan rudal balistik dengan hulu ledak nuklir.
Korea Utara telah berulang kali mengancam akan menggunakan senjata nuklir untuk menyerang Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang. Sejauh ini Korea Utara belum menunjukkan kemampuan untuk meluncurkan rudal balistik antar benua yang bisa berhasil meninggalkan ruang atmosfer.
Wilayah Guam berpotensi dicapai oleh rudal balistik konvensional Korea Utara. (asr)
Sumber : The Epochtimes