oleh Antonio Graceffo
Sebuah laporan terbaru mengenai ancaman Tiongkok, Institute for Strategic Research at the Military School atau Institut Penelitian Strategis Sekolah Militer Prancis (IRSEM) mengidentifikasi tiga bagian serangan yang terpisah oleh rezim Tiongkok yang terdiri dari perang psikologis, perang opini publik, dan perang hukum. Serangan tersebut semuanya adalah bagian sebuah kampanye propaganda secara besar-besaran yang difokuskan kepada orang-orang Tionghoa di perantauan
Partai Komunis Tiongkok mengklaim kepemilikan atas siapa pun yang adalah keturunan dari orang-orang Tionghoa, di mana saja di seluruh dunia, dan Partai Komunis Tiongkok bekerja keras untuk memengaruhi, merekrut, memilih, mengucilkan, atau membungkam etnis Tionghoa di negara-negara lain.
Pada tahun 2017, Xi Jinping menyerukan ‘bersatu secara erat’ dengan orang-orang Tionghoa di perantauan untuk mendukung impian Tiongkok. Orang-orang Tiongkok di perantauan, yang mencakup warganegara Tiongkok di luar negeri -Huaqiao- maupun warganegara asing keturunan Tionghoa -Huaren-, jumlahnya sekitar 60 juta jiwa. Xi Jinping melihat orang-orang ini adalah penting untuk mencapai Great Rejuvenation atau Peremajaan Besar Negara Tiongkok, dan Tiongkok menjadi pusat perhatian dalam politik global.
Propaganda luar negeri Beijing sebagian besar dilakukan melalui sebuah lengan Partai Komunis Tiongkok yang disebut United Front Work Department (UFWD) atau Departemen Kerja Front Bersatu, yang sering menargetkan komunitas Tionghoa di perantauan.
Sebagian besar propagandanya tersebut adalah tidak kentara, seperti mendorong opini publik asing ke sebuah arah yang kondusif bagi kepentingan Partai Komunis Tiongkok. Beberapa di antara propaganda tersebut adalah lebih terbuka, dengan cara memengaruhi politik setempat, merusak integritas media, memfasilitasi spionase, dan meningkatkan transfer teknologi yang tidak disetujui. Departemen Kerja Front Bersatu juga mendukung spionase ekonomi dan pengaruh Partai Komunis Tiongkok di kampus-kampus.
Melalui program propagandanya di komunitas-komunitas Tionghoa di perantauan, Partai Komunis Tiongkok juga berusaha untuk menggerogoti kekompakkan sosial dan memperburuk ketegangan rasial, meningkatkan dukungan untuk Partai Komunis Tiongkok atau dengan sengaja menyebabkan perpecahan di antara orang-orang Tionghoa di perantauan.
Sebagian besar orang-orang Tionghoa di perantauan tidak mendukung Partai Komunis Tiongkok dan tidak ingin menjadi pion-pion dalam permainan global Tiongkok. Namun, propaganda Partai Komunis Tiongkok berfungsi untuk mendorong sebuah irisan antara kelompok ini dan komunitas setempat mereka.
Salah satu program disinformasi yang tidak kentara yang dijalankan Partai Komunis Tiongkok tahun lalu adalah menargetkan orang-orang Tionghoa di perantauan dalam kampanye online, menautkan teori asal-usul COVID dengan rasisme anti-Asia.
Sebagian besar kampanye ini difokuskan untuk mencela ahli virologi Tiongkok Yan Limeng, yang menerbitkan sebuah makalah yang mengklaim bahwa SARS-CoV-2 dibuat di sebuah laboratorium pemerintah Tiongkok.
Salah satu tujuan kampanye disinformasi Partai Komunis Tiongkok, mungkin bukan untuk meyakinkan keraguan, tetapi untuk menjauhkan perhatian terhadap teori yang lebih menunjukkan kekuasaan.
Salah satu tujuan kampanye disinformasi Partai Komunis Tiongkok, juga membantu menggeser teori-teori bahwa virus tersebut berasal dari laboratorium dari khalayak umum, memindahkan khalayak umum ke pinggiran teori konspirasi situs internet tersembunyi.
Taktik lain yang dilakukan oleh Partai Komunis Tiongkok adalah memutar interpretasi berita dari negara-negara lain sedemikian rupa, untuk menyimpulkan bahwa cara Partai Komunis Tiongkok adalah yang terbaik.
Pada tahun 2018, corong Partai Komunis Tiongkok, People’s Daily memuat sepenggal berita, yang memuji “elaborasi sistematis” dari keuntungan sistem Partai Tiongkok yang dilakukan Xi Jinping dan bagaimana Xi Jinping telah mendidik dunia untuk membangun sebuah sistem politik yang lebih baik.
Komentar semacam itu biasanya akan disertai dengan laporan mengenai semacam kekacauan atau gejolak politik di Amerika Serikat, India, atau Nigeria, yang diakhiri dengan kesimpulan bahwa demokrasi menyebabkan kekacauan, sedangkan sistem Partai Komunis Tiongkok menyediakan stabilitas bagi warganegara.
Garis Partai Komunis Tiongkok adalah bahwa masyarakat Barat tidak menginginkan orang-orang Tionghoa di perantauan untuk mengetahui bahwa sistem Partai Komunis Tiongkok adalah lebih baik dalam menyediakan dunia dengan sebuah solusi Tiongkok, sebuah sistem politik yang lebih baik, menurut People’s Daily.
Dan, untuk alasan ini, Barat mencela media luar negeri Tiongkok, untuk mencegah orang-orang Tiongkok di perantauan mengetahui manfaat yang sebenarnya dari sebuah rezim totaliter satu-partai.
Antara April hingga Juni, tagar #StopAsianHate dan #LiMengYan di-tweet dan di-retweet 30.000 kali oleh lebih dari 6.000 akun yang mencurigakan, yang semuanya memposting meme yang sama dengan frasa-frasa bahasa Inggris. Sebagian besar tweet ini dibuat selama jam-jam kerja normal, waktu Beijing. Kampanye ini diidentifikasi di seluruh media sosial Amerika Serikat: Facebook, Instagram, YouTube, Reddit, Google Groups,, dan Medium, serta platform-platform yang bukan berasal dari Amerika Serikat seperti TikTok, VK, dan sebuah situs blog amatir Rusia.
Tindakan Departemen Kerja Front Bersatu adalah sulit untuk ditangani oleh masyarakat demokratis, karena beberapa program termasuk dalam kategori kebebasan berbicara, sementara program-program lainnya adalah tindakan terselubung dan spionase yang sulit dideteksi.
Aksi ekstrateritorial Partai Komunis Tiongkok dan Departemen Kerja Front Bersatu, sering melanggar hukum internasional seperti penculikan warganegara Swedia Gui Minhai di Thailand dan Lee Bo, seorang warganegara Inggris di Hong Kong.
Selain itu, Partai Komunis Tiongkok dan Departemen Kerja Front Bersatu, secara teratur mengancam etnis Uighur dan Tibet di pengasingan yang berbicara menentang rezim Komunis Tiongkok. Dalam contoh lain, Partai Komunis Tiongkok dibantu oleh pemerintah asing dalam mengekstradisi warganegara Taiwan yang dicurigai melakukan penipuan di Kenya, Kamboja, dan Spanyol.
Partai Komunis Tiongkok mendanai sekolah-sekolah Tiongkok di luar negeri, serta Institut Konfusius, di mana opini Partai Komunis Tiongkok disebarluaskan dan suara yang berlawanan ditekan.
Sebuah laporan oleh Institut Kebijakan Strategis Australia menetapkan bahwa China News Service, grup media terbesar kedua yang dikelola pemerintah Tiongkok, beroperasi atas perintah Departemen Kerja Front Bersatu untuk memengaruhi orang-orang Tiongkok di perantauan.
Dengan mengendalikan media orang-orang Tiongkok di perantauan, mendanai penelitian di lembaga-lembaga pemikir, dan menggunakan WeChat dan media sosial lainnya untuk menyensor, mengawasi, dan mengendalikan percakapan, Departemen Kerja Front Bersatu memfasilitasi spionase dan transfer teknologi tanpa pengawasan.
Sekitar 70 persen orang-orang Tionghoa di perantauan tinggal di Asia, khususnya Asia Tenggara. Untuk memenangkan dukungan orang-orang Tionghoa di perantauan, Beijing menawarkan mereka berbagai insentif, termasuk uang, akses ke pendidikan, dukungan untuk bisnis mereka, dan perlindungan atas kekayaan intelektual mereka.
Di Malaysia, di mana hampir 23 persen penduduknya adalah etnis Tionghoa, pejabat-pejabat Partai Komunis Tiongkok secara teratur melakukan kunjungan ke komunitas Tionghoa, mendukung calon-calon politik yang pro-Tiongkok, dan menghadiri pertemuan partai-partai politik Tionghoa. Pada tahun 2018, Duta Besar Tiongkok mendukung pencalonan Presiden Asosiasi Tionghoa Malaysia.
Di Amerika Serikat, beberapa ilmuwan Tiongkok telah ditangkap karena pencurian teknologi, sementara ribuan kasus lain yang dicurigai sebagai spionase dan paksaan sedang diselidiki. Di Australia, Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat, organisasi-organisasi di kampus telah banyak disusupi oleh Departemen Kerja Front Bersatu, memata-matai mahasiswa internasional, menekan kebebasan akademik, dan memobilisasi mahasiswa untuk memprotes demi mendukung kepentingan Partai Komunis Tiongkok.
Selama hari-hari awal wabah COVID-19 di Tiongkok, mahasiswa Tiongkok dan orang-orang Tionghoa di perantauan di Australia, Kanada, Inggris, Amerika Serikat, Argentina, Jepang, dan Republik Ceko disuruh membeli Alat Pelindung Diri dan persediaan medis lainnya di apotek setempat dan mengirimkan kembali Alat Pelindung Diri dan persediaan medis lainnya itu ke Tiongkok. Banyak dari upaya ini disutradarai oleh agen terkait Departemen Kerja Front Bersatu, Federasi Seluruh Tionghoa untuk Kembalinya Orang-orang Tionghoa di Perantauan.
Membeli persediaan medis di luar negeri mengakibatkan kekurangan, meningkatkan permintaan impor Tiongkok, menaikkan harga, dan akhirnya menguntungkan Partai Komunis Tiongkok secara ekonomi. Ini juga menempatkan Beijing pada posisi “penyelamat yang baik hati,” membagikan persediaan medis yang sangat dibutuhkan sebagai bagian kampanye hubungan masyarakat internasional ala Beijing. (Vv)
Antonio Graceffo, Ph.D., telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Dia adalah lulusan dari Shanghai University of Sport dan memegang gelar China-MBA dari Shanghai Jiaotong University. Antonio bekerja sebagai profesor ekonomi dan analis ekonomi Tiongkok, menulis untuk berbagai media internasional. Beberapa buku China-nya termasuk “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” dan “A Short Course on the Chinese Economy”