Belt dan Road Initiative Tiongkok : Proyek-proyek yang Terbengkalai dan Utang Jumbo

Antonio Graceffo

Belt dan Road Initiative (BRI) adalah sebuah “perangkap utang” dan “perangkap data,” yang diperingatkan oleh Kepala M1 Inggris, Richard Moore. Delapan tahun berlalu,  dinodai dengan jembatan yang dibangun setengah jadi, banyak proyek yang terbengkalai, rel-rel kereta api dengan anggaran yang berlebih, jalan-jalan tidak ada, banyak utang, dan orang-orang yang marah.

“Rute sutra kuno mewujudkan semangat perdamaian dan kerja sama, keterbukaan dan inklusivitas, saling belajar dan saling menguntungkan,” kata pemimpin Tiongkok Xi Jinping pada pembukaan Forum Belt dan Road pada Mei 2017.

Xi Jinping tidak menyebutkan manfaat yang akan diperoleh dari proyek ini yang bernilai miliaran dolar untuk rakyat Tiongkok, serta membangun tatanan dunia yang dipimpin Tiongkok, menggusur Amerika Serikat sebagai kekuatan global yang dominan, memperoleh akses ke sumber daya alam, mengendalikan negara-negara lain melalui perangkap utang, membeli teman-teman, dan membangun sebuah jaringan pangkalan militer di luar negeri untuk mengamankan ambisi hegemonik Partai Komunis Tiongkok.

Kepala MI6 Inggris menyebut Tiongkok sebagai “prioritas tunggal terbesar,” dengan mengatakan bahwa Beijing menggunakan uangnya melalui Inisiatif Belt and Road untuk “membuat orang-orang menjadi terhubung,” memperluas pengaruh Beijing, dan mengikis kedaulatan.

Inisiatif ini yang diluncurkan pada tahun 2013, adalah rencana Xi Jinping untuk memperluas jangkauan Tiongkok secara global, di mana jalan raya, rute maritim, telekomunikasi, jaringan komputer, dan jaringan perbankan yang akan dijalankan di sebagian besar negara-negara di dunia. 

Saat ini, 142 negara telah bergabung dengan proyek ini, menandatangani sebuah nota kesepahaman dengan Tiongkok.

Model dasar BRI ini memberikan pinjaman, seringkali dengan suku bunga yang tinggi, kepada negara-negara untuk membangun infrastruktur seperti jalan raya, stasiun pembangkit listrik, rel kereta api, dan bandara. Sebagian besar pekerjaan konstruksi dilakukan oleh perusahaan Tiongkok, menggunakan tenaga kerja Tiongkok dan bahan-bahan mentah Tiongkok. 

Sebagai bagian ketentuan perjanjian, perusahaan-perusahaan Tiongkok yang terkait dengan Belt and road  tidak membayar pajak kepada pemerintah setempat selama beberapa tahun pertama.

Banyak negara bergabung dengan proyek ini karena negara-negara tersebut tidak punya tempat lain untuk meminjam. Dua pertiga negara BRI penuh dengan beban utang dan diganggu oleh sebuah peringkat kredit penguasa di bawah peringkat yang dapat diinvestasikan. 

Beberapa penguasa benar-benar memiliki peringkat kredit setara dengan ikatan sampah, sementara penguasa yang lain dianggap tidak stabil secara politik. Untuk penguasa tersebut, Tiongkok menjadi peminjam uang terakhir.

Empat puluh dua negara BRI termiskin sudah berutang kepada Tiongkok 10 persen atau lebih dari Produk Domestik Bruto mereka. Delapan negara yang paling berutang–—Laos, Angola, Kirgistan, Djibouti, Suriname, Maladewa, Kongo, dan  Equatorial Guinea–— berutang 30 persen atau lebih dari Produk Domestik Bruto mereka ke Tiongkok.

Penelitian yang dilakukan oleh College of William &  Mary’s AidData menemukan bahwa 35 persen dari proyek proyek infrastruktur BRI dihadapkan dengan masalah pelaksanaan, korupsi, pelanggaran ketenagakerjaan, memburuknya lingkungan hidup, dan protes. Bukan hanya negara-negara yang terlilit utang proyek ini, tetapi dalam banyak kasus, proyek-proyek masih terbengkalai.

Di Kenya, pemerintah ditantang dengan sebuah keadaan darurat utang, karena sebuah jalan rel kereta api BRI dengan anggaran yang berlebihan. The Mombasa-Nairobi Standard Gauge Railway  dimaksudkan untuk berlari sejauh 290 mil, menghubungkan kota Mombasa, di Samudra India, dengan ibukota Kenya, Nairobi. Sebaliknya, rel kereta itu berakhir di sebuah desa kecil, 75 mil dari Nairobi, karena Tiongkok  menahan dana sebesar USD 4,9 miliar.

Montenegro sekarang menjadi rumah bagi “tanpa jalan menuju ke mana-mana”. Sebuah jalan raya hanya setengah dibangun, karena Tiongkok tidak akan melanjutkan ke tahap konstruksi berikutnya, sampai tahap konstruksi pertama dibayar. Sebagai hasil dari pinjaman Tiongkok, utang publik Montenegro sekarang melebihi 100 persen Produk Domestik Bruto.

Partai Komunis Tiongkok memangkas pendanaan untuk sebuah jalur kereta api terkenal di ibukota Kazakh, Nur-Sultan. Pejabat Kazakh mengatakan bahwa mereka sekarang harus meminjam dari bank-bank domestik untuk mendapatkan USD 1,9 miliar untuk menyelesaikan konstruksi.

Di banyak negara, Belt and Road salah urus, korupsi, dan kurangnya manfaat bagi penduduk setempat telah menyebabkan ketidakpercayaan yang meluas dan bahkan kebencian terhadap orang-orang Tiongkok. 

Di Kepulauan Solomon, manfaat menyerbu istana kepresidenan dan membakar bangunan di Chinatown di Honiara. Di Malaysia, kemarahan atas korupsi pada proyek-proyek ini menyebabkan penggulingan Perdana Menteri Malaysia. Orang-orang Myanmar yang marah membakar pabrik-pabrik Tiongkok. Orang-orang Sri Lanka memprotes ketika pemerintah Sri Lanka harus menyerahkan bandara  dan pelabuhan terbesar milik Sri Lanka ke Tiongkok, karena ketidakmampuan Sri Lanka untuk membayar pinjaman.

Richard Moore dari MI6 mengklaim bahwa 20 persen proyek infrastruktur di Afrika, didanai oleh Tiongkok, dan 30 persen di antara proyek infrastruktur itu dibangun oleh  perusahaan-perusahaan Tiongkok. Tidak semua orang di Afrika senang dengan investasi Tiongkok.

Pekerja Tiongkok diserang di sebuah proyek rel kereta api di Kenya. Orang-orang Gambia membakar sebuah pabrik tepung ikan Tiongkok. Manajer-manajer Tiongkok dibunuh di sebuah pabrik pakaian di Zambia. Bisnis-bisnis Tiongkok dibakar di Nigeria. Dan Uganda berada dalam bahaya karena harus menyerahkan Bandara Internasional Entebbe kepada Tiongkok, karena gagal melakukan pembayaran-pembayaran utang.

Brad Parks, Direktur Eksekutif AidData, mengatakan bahwa pinjaman dari Tiongkok tidak untuk “kemakmuran bersama,” melainkan adalah pinjaman komersial, yang dirancang untuk mendapatkan keuntungan. Sebaliknya, Amerika Serikat dan sebagian besar negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memberikan pinjaman pembangunan dengan suku bunga rendah. 

Rata-rata pinjaman BRI  memiliki sebuah suku bunga 4 persen, berbeda dengan 1 persen untuk pinjaman OECD.  Selain itu, pinjaman OECD bersifat transparan; pinjaman Belt and Road tidak bersifat transparan.

Pinjaman Tiongkok tidak semuanya berasal langsung dari Partai Komunis Tiongkok. Sebaliknya, pinjaman Tiongkok dibagikan di berbagai lembaga pemberi pinjaman. Oleh karena itu, adalah sangat sulit, bahkan bagi peminjam, untuk melacak dan menghitung semua pinjaman, dan untuk menentukan berapa banyak yang harus dibayar kepada siapa dan dengan syarat apa. 

Sistem pinjaman yang buram ini telah menyebabkan kegagalan untuk pelaporan yang sempurna. Dengan beberapa perkiraan, total utang ke Tiongkok di antara negara-negara yang berpenghasilan rendah hingga  berpenghasilan menengah, tidak dilaporkan sepenuhnya dengan jumlah yang sama dengan 5,8 persen Produk Domestik Bruto, menurut AidData.

Investasi Inisiatif Belt and road memuncak pada tahun 2015 dan terus mengalami penurunan sejak saat itu mencapai sebuah titik terendah sepanjang masa pada tahun 2020.

Sebuah kombinasi dari penurunan ekonomi yang parah, ekonomi pandemi, pers yang buruk, dan sentimen negatif yang meningkat terhadap Beijing dapat mengilhami negara-negara berkembang untuk melihat ke Barat, dan melihat ke negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, sebagai mitra pembangunan yang lebih dapat diandalkan.

Kegagalan Belt and Road menunjukkan bagaimana kebijakan Amerika Serikat yang berhati-hati dalam investasi dan bantuan ekonomi, yang mana ditargetkan dapat lebih bermanfaat bagi negara-negara berkembang dalam jangka panjang. 

Pada tahun 2018, Undang-undang BUILD disahkan, yang menetapkan U.S. International Development Finance Corporation (DFC) atau Korporasi Keuangan Pembangunan Internasional Amerika Serikat. 

DFC  bertujuan untuk menetapkan sebuah standar yang lebih baik, untuk investasi asing dan membantu memperkuat model pemerintahan di negara-negara penerima, melalui investasi baru dari sektor swasta. Alternatif lain untuk BRI adalah  Build Back Better World (B3W)  oleh pemerintahan Joe Biden dan the European Union’s Global Gateway program atau program Gerbang Global Uni Eropa. (Vv)

Antonio Graceffo, Ph.D., telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Dia adalah lulusan dari Shanghai University of Sport dan memegang gelar Tiongkok-MBA dari Shanghai Jiaotong University. Antonio bekerja sebagai profesor ekonomi dan analis ekonomi Tiongkok, menulis untuk berbagai media internasional. Beberapa bukunya tentang Tiongkok termasuk “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” dan “A Short Course on the Chinese Economy.”