Tudingan Li Keqiang Meninggal “Saat Beristirahat” di Shanghai Mengarah ke Cai Qi
NTD
Pemakaman mantan Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang diadakan pada 2 November. Berbagai spekulasi tentang penyebab kematiannya terus berkembang, terutama peran yang dimainkan oleh Cai Qi, Direktur Kantor Pusat Partai Komunis Tiongkok dalam insiden ini cukup menarik perhatian. Beberapa orang di dalam partai bahkan secara terbuka menyerukan penyelidikan atas penyebab kematian Li Keqiang untuk menemukan “oknum yang berambisi”.
Pada 27 Oktober, Partai Komunis Tiongkok menyatakan bahwa Li Keqiang meninggal karena serangan jantung mendadak saat “beristirahat di Shanghai” dalam usia 68 tahun. Rencananya jenazah dikremasi di Beijing pada 2 November.
Setelah meninggalnya Li Keqiang, otoritas Partai Komunis Tiongkok selain memperkuat kontrol opini masyarakat juga secara ketat memantau dinamika publik.
Gelombang duka terus melanda masyarakat Tiongkok, sejumlah besar warga sipil berbondong-bondong mendatangi bekas kediaman Li Keqiang untuk meletakkan bunga sebagai ucapan belasungkawa, dan jalan-jalan di sekitar kediaman berubah menjadi lautan bunga. Beberapa analis percaya bahwa publik manfaatkan situasi ini untuk mengungkapkan kemarahan mereka terhadap rezim Komunis Tiongkok.
Murong Xuecun, seorang penulis Tiongkok yang cukup populer menyampaikan pesannya lewat platform “X” pada 29 Oktober : “Apakah Li Keqiang pantas atau tidak mendapat ucapan belasungkawa adalah satu hal, tetapi ketika sejumlah besar warga sipil memanfaatkan ucapan belasungkawa untuk menyampaikan sikap mereka itu adalah masalah lain. ….ketika jutaan warga turun ke jalan dengan mengatasnamakan kematiannya untuk berkabung, sudah tidak penting lagi siapa orang yang meninggal itu, tetapi yang penting adalah mengapa warga sipil berbondong-bondong turun ke jalan”.
Fokus perhatian publik lainnya adalah mengapa Li Keqiang meninggal di Shanghai ? Apakah kematian mendadaknya terkait dengan pertikaian di antara para pemimpin tertinggi PKT ?
Menurut media resmi Partai Komunis Tiongkok, Li Keqiang menderita serangan jantung saat “beristirahat di Shanghai” dan meninggal dunia setelah rumah sakit gagal menyelamatkannya. Namun pernyataan ini menimbulkan banyak keraguan, karena menurut tata tertib yang berlaku di kalangan petinggi PKT, para pemimpin PKT yang sudah pensiun umumnya tidak begitu mudah untuk diizinkan tampil di depan publik, lantaran penampilan biasanya dianggap mengirimkan sinyal politik.
Oleh karena itu, para pensiunan pemimpin harus terlebih dahulu melapor ke Kantor Umum Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok untuk mendapat “anggukan”, kemudian ada pengawal atau ahli medis yang sesuai dengan kesehatan pejabat bersangkutan mendampingi dalam perjalanan. Staf terkait diatur oleh Kantor Umum Komite Sentral PKT, sedangkan Direktur Kantor Umum Komite Sentral PKT saat ini adalah Cai Qi, orang kepercayaan Xi Jinping.
Apalagi bagi pemimpin tingkat negara seperti Li Keqiang yang mantan Perdana Menteri Tiongkok, menurut lazimnya, ia seharusnya tinggal di Beijing, tapi mengapa tiba-tiba ia “beristirahat di Shanghai” ? Jadi Cai Qi wajib harus bertanggung jawab terhadap hal ini.
Oleh karena itu, beberapa orang yang akrab dengan politik tingkat tinggi PKT telah melontarkan berbagai keraguan dan menuding langsung Komite Sentral PKT.
Pada 30 Oktober, sebuah surat terbuka berjudul “Usut tuntas penyebab kematian Li Keqiang dan berikan penjelasan kepada rakyat Tiongkok” dari Gu Wanming, anggota Partai Komunis Tiongkok menjadi viral di Internet. Gu Wanming adalah seorang reporter senior Kantor Berita Xinhua, media Partai Komunis Tiongkok. Ia lulusan Departemen Jurnalisme Universitas Fudan, Shanghai.
Beberapa hal kecurigaan yang diarahkan kepada Kantor Komite Sentral PKT, berbunyi antara lain, kedatangan Li Keqiang ke Shanghai untuk “beristirahat” tentu telah mendapat izin dari Kantor Komite Sentral dan diatur oleh pihak ini. Jika tidak bagaimana Li Keqiang bisa meninggalkan Beijing dan memasuki Shanghai ?
Surat terbuka tersebut juga menyebutkan bahwa Li Keqiang tiba di Shanghai pada 25 Oktober untuk “beristirahat” dan meninggal mendadak satu hari kemudian yakni 26 Oktober. Bagaimana dengan kejadian sebenarnya, apakah dia meninggal pada sore atau malam hari ? Mengapa waktu penyelamatan ditunda hingga 27 Oktober pukul 00:10. Rasanya waktu terlalu cepat sehingga banyak anggota partai dan masyarakat yang tidak dapat memahaminya, banyak fakta yang belum dijelaskan secara rinci, sehingga patut dicurigai.
Surat terbuka juga meminta : Pihak berwenang membentuk sebuah tim investigasi gabungan antara Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok dengan Dewan Negara untuk memeriksa para penjaga, dokter kesehatan, staf medis, koki, pemimpin dan pelayan hotel, pengemudi, resepsionis guest house di Shanghai, para kader kantor yang pernah menerima, menghubungi, atau dekat dengan Li Keqiang. Mewawancarai dan memeriksa mereka untuk mengetahui apakah ada yang membocorkan pengaturan kegiatan Li Keqiang, apakah rencana penyelamatan yang dilakukan medis itu sesuai, apakah penggunaan peralatan medis itu wajar, apakah ada kesengajaan menggunakan obat-obatan yang tidak tepat, apakah ada penyimpangan lainnya, dan sebagainya.
Surat terbuka juga menyebutkan : Para pejabat yang ambisius dan konspirator dalam negeri menargetkan Li Keqiang dan ingin segera melenyapkannya serta “merebut partai dan merebut kekuasaan”. Oleh karena itu, pihak berwenang patut segera menemukan mereka ini yang sedang bersembunyi di dalam partai dan di negara.
Sebagian besar netizen setuju dengan seruan surat terbuka di atas, namun ada pula netizen yang tidak lagi menaruh harapan kepada PKT meninggalkan pesan di platform “X” berbunyi : Melihat kembali pengalaman masa lalu tentang bagaimana PKT memperlakukan Liu Shaoqi, Lin Biao, Zhao Ziyang dan para pemimpin penting nasional lainnya, meminta untuk mengetahui penyebab kematian Li sama saja dengan usaha yang sia-sia.
Shi Chuanyun, komentator politik dalam artikelnya menyebutkan : “Yang dimaksud Gu Wanming adalah menyiratkan bahwa Li Keqiang dibunuh oleh musuh politik di dalam partai. Namun dia jelas tidak berani menuding Xi Jinping secara langsung, sehingga menggunakan pendekatan yang mencoba mengesampingkan keterlibatan ‘sang kaisar’, dengan menuding Cai Qi. Tentu saja, dia tidak menutup kemungkinan menuding orang lain. Jadi konklusinya adalah Li Keqiang dibunuh oleh Partai Komunis Tiongkok.” (sin)
Dua Komandan Senior Hamas Dikabarkan Tewas, Israel Menolak Gencatan Senjata
Pertama, mari kita perhatikan perang Israel-Hamas. Pada Selasa 31 Oktober, Israel mengumumkan telah menewaskan dua komandan senior Hamas. Di hari yang sama, sebuah kamp pengungsi di Gaza utara dibombardir. Tentara Israel mengaku melancarkan serangan tersebut, namun sasarannya adalah anggota Hamas yang bersembunyi di sana
Jin Shi – NTD
Pada 31 Oktober, Israel melanjutkan serangan di Gaza. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan operasi gabungan darat dan udara yang dimulai pada tengah malam menyasar 300 sasaran Hamas.
“Dalam serangan gabungan darat dan udara, militer Israel menetralisir teroris dan terus menyerang ratusan sasaran teroris Hamas,” kata juru bicara IDF Daniel Hagari.
Sebuah video yang dirilis tentara Israel menunjukkan sejumlah besar pasukan tank berkumpul di Israel selatan.
Badan Pertahanan dan Keamanan Israel juga mengumumkan pada hari yang sama bahwa jet tempur Israel membunuh Nasim Abu Ajina, seorang komandan penting Hamas yang memimpin dalam pembantaian di dua lokasi di Israel.
Tentara Israel dalam sebuah pernyataan menyebutkan bahwa tersingkirnya Nasim Abu Ajina adalah kemenangan besar dan akan membuka jalan bagi serangan darat Israel terhadap Hamas.
Rumah sakit setempat melaporkan, puluhan orang tewas dalam serangan udara di sebuah kamp pengungsi di Gaza utara pada hari Selasa.
Pasukan Pertahanan Israel kemudian mengkonfirmasi bahwa pesawat tempur Israel melakukan serangan tersebut, menewaskan komandan senior Hamas lainnya Ibrahim Biari dan beberapa anggota Hamas lainnya, sekaligus menghancurkan fasilitas bawah tanah Hamas di lokasi tersebut.
Israel menegaskan bahwa Hamas menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia dan meminta masyarakat Gaza segera pindah ke Gaza selatan.
Pada Senin malam, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberikan pidato dan sekali lagi membandingkan serangan Hamas pada 7 Oktober dengan insiden “Pearl Harbor” dan “911” di Israel.
Netanyahu menegaskan bahwa Israel akan terus melanjutkan rencananya untuk melenyapkan Hamas dan mengesampingkan gencatan senjata di Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berkata : “Menyerukan gencatan senjata berarti menyerukan Israel untuk menyerah kepada Hamas, menyerah kepada terorisme, menyerah pada kebrutalan. Ini tidak akan terjadi.”
Amerika Serikat juga menyatakan bahwa mereka percaya bahwa menyerukan gencatan senjata di Israel bukanlah “jawaban yang tepat saat ini.”
Pada hari Selasa, Israel meningkatkan jumlah sandera yang ditahan oleh Hamas menjadi 240 orang. Sejauh ini, Hamas baru membebaskan empat sandera dan satu sandera lainnya berhasil diselamatkan Israel. (Hui)
Kedutaan Besar Tiongkok Mengakui Berupaya Menghadang Pertunjukan Shen Yun di Korea Selatan
“Kami tidak menghargai bahwa sebuah perusahaan tari Amerika Serikat tidak diizinkan untuk tampil di sana karena tekanan dari komunis Tiongkok,” ujar Anggota DPR Amerika Serikat Malliotakis
Eva Fu
Selama bertahun-tahun, Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah bekerja di belakang layar untuk menekan teater-teater di Korea Selatan dan di seluruh dunia agar tidak menjadi tuan rumah bagi Shen Yun Performing Arts yang berbasis di New York.
Sekarang, seorang pejabat komunis Tiongkok telah mencatat bahwa rezim tersebut secara aktif mencoba untuk memblokir perusahaan AS untuk tampil di Korea Selatan.
“Kedutaan Besar Tiongkok telah menginformasikan kepada pihak Korea tentang posisi Tiongkok terhadap pertunjukan Shen Yun,” Zhang Jiafan, petugas hubungan masyarakat di Kedutaan Besar Tiongkok di Seoul, mengatakan kepada outlet saudara The Epoch Times, NTD.
“Kami mengatakan kepada mereka bahwa tidak legal untuk membiarkan Shen Yun Performing Arts … mengajukan izin di teater Korea untuk mengadakan pertunjukan mereka. Ini adalah posisi kami.”
Pengakuan ini adalah pengakuan yang langka dari pihak berwenang Tiongkok atas kampanye pemaksaannya untuk menggiring kebijakan yang menguntungkannya dan sejauh mana pengaruhnya untuk memberangus perusahaan – bahkan di luar negeri.
Berbasis di New York, misi Shen Yun Performing Arts adalah untuk mempersembahkan 5.000 tahun warisan Tiongkok melalui tarian dan musik klasik. Delapan perusahaannya melakukan tur keliling dunia setiap tahun dan tampil di tempat-tempat terkemuka seperti Lincoln Center di New York, Gedung Opera Kennedy Center di Washington, dan Palais des Congrès di Paris.
PKT telah menjadikan Shen Yun sebagai target kampanye tanpa henti selama hampir dua dekade, mengerahkan panggilan telepon, surat, kunjungan pribadi, dan metode lain untuk mengganggu pertunjukannya.

Shen Yun dilarang tampil di Tiongkok karena penggambarannya tentang budaya Tiongkok klasik dan upaya Partai Komunis untuk menghancurkannya, termasuk penganiayaan terhadap penganut agama seperti praktisi Falun Gong.
Pejabat Kedutaan Besar Tiongkok bersikeras bahwa para pejabat Tiongkok “tidak pernah mengancam” entitas dan pejabat pemerintah Korea, dengan menyatakan, “Kami hanya memberitahu mereka kebenaran yang tidak mereka ketahui.”
Dokumen yang diperoleh oleh The Epoch Times juga menjelaskan taktik pemaksaan Beijing.
Taktik ini sering kali mencakup ancaman terhadap teater-teater dari kedutaan besar Tiongkok di negara tersebut, yang menguraikan dampak finansial dan diplomatik jika mereka memilih untuk menjadi tuan rumah bagi Shen Yun.
Dalam satu contoh, Pusat Kebudayaan dan Kesenian Incheon Korea Selatan menolak permohonan Shen Yun untuk tur tahun 2023 karena kekhawatiran akan kemungkinan kerusakan hubungan dengan Tiongkok, menurut penyelenggara setempat.
Kedutaan Besar Tiongkok juga telah menulis surat kepada lembaga penyiaran publik nasional Korean Broadcasting System (KBS), menuntut agar mereka tidak mengizinkan Shen Yun tampil di tempatnya yang berbasis di Seoul, KBS Hall.

Dalam pertempuran di pengadilan pada 2016 setelah KBS menyetujui tuntutan Tiongkok dan membatalkan kontraknya dengan Shen Yun, pengadilan pada awalnya berpihak pada penyelenggara pertunjukan. Namun, hanya 48 jam sebelum pertunjukan yang dijadwalkan, pengadilan membalikkan keputusan tersebut, dengan alasan bahwa KBS tidak dapat menyiarkan kontennya di Tiongkok dan mengutip potensi kerugian finansial. Sebagai akibatnya, perusahaan harus mengembalikan semua tiket.
Greg Scarlatoiu, direktur eksekutif Komite Hak Asasi Manusia di Korea Utara, mengatakan bahwa kasus ini menunjukkan kemampuan Beijing memanfaatkan hubungan investasi untuk memberikan pengaruh di Korea Selatan.
“Ini adalah campur tangan yang agak blak-blakan, terang-terangan, kasar, tidak diplomatis, paling tidak, campur tangan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan yang tertanam dalam konstitusi Korea,” katanya kepada NTD. “Mengapa? Karena Tiongkok memiliki pengaruh.”
Scarlatoiu mengatakan bahwa Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Korea Selatan dalam hal impor dan ekspor, dan rezim tersebut telah memanfaatkan hal itu untuk keuntungan penuh.
‘Perang Budaya’
Rezim Tiongkok telah lama dikenal karena upayanya untuk memengaruhi arena internasional dan “menggertak negara lain,” baik melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa, pinjaman kepada negara-negara kecil, program bahasa yang didanai negara di universitas-universitas A.S., atau kantor polisi rahasia di New York, demikian ungkap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS, Nicole Malliotakis.
Dia mengatakan bahwa tidak mengejutkan baginya bahwa rezim tersebut “mulai menggunakan kampanye tekanan ini bahkan terhadap teater yang akan berbagi budaya tradisional Tiongkok – terutama ketika itu disebut sebagai budaya tradisional Tiongkok sebelum komunisme.”

“Saya tidak terkejut melihat PKT melakukan segala cara untuk menekan kebebasan berekspresi dan pertunjukan, karena itu tidak sesuai dengan narasi mereka,” kata Malliotakis kepada NTD. “Kita harus terus menantangnya di setiap kesempatan.”
Tara O, seorang peneliti tambahan di Hudson Institute dengan fokus penelitian pada sistem politik dan ekonomi Korea Selatan, menyebut kampanye campur tangan Tiongkok sebagai “perang budaya lainnya.”
“Mereka memblokir budaya sehingga tidak dapat dilihat oleh orang Korea Selatan,” katanya kepada NTD.
Ketakutan rezim terhadap Shen Yun berakar pada keinginannya untuk mengontrol, kata Ms O.
Rezim Tiongkok “ingin mempromosikan dirinya sebagai otoritas yang sah atas seluruh Tiongkok.”
Namun demikian, dengan menampilkan “budaya pra-PKT,” ini menunjukkan bahwa adalah mungkin “[untuk] menjalankan Tiongkok oleh otoritas lain selain PKT – dan saya pikir itulah yang menjadi perhatian mereka,” kata O. Malliotakis.

Malliotakis, yang bertemu dengan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol selama kunjungannya ke Korea Selatan pada Agustus, mengatakan bahwa dia mendapat kesan bahwa para pemimpin negara itu “tentu saja mencari peluang untuk mengurangi ketergantungannya pada Tiongkok, untuk lebih banyak bekerja sama dengan Amerika Serikat.”
Amerika Serikat, seperti halnya Korea Selatan, telah “sangat bergantung pada Tiongkok komunis untuk hal-hal tertentu, dan kami berusaha untuk mengubahnya.”
Sebagai House Committee on Ways and Means yang menangani kebijakan mengenai negosiasi perdagangan, Malliotakis mengatakan bahwa ia ingin menyampaikan kepada para pejabat Korea Selatan bahwa “kami tidak menghargai bahwa sebuah perusahaan tari Amerika tidak diizinkan untuk tampil di sana karena tekanan dari komunis Tiongkok.”
Dia berharap para pejabat Korea akan “memperbaiki situasi” dan memasukkan Shen Yun ke dalam teater.
“Ini adalah tarian tradisional yang indah, berbagi budaya Tiongkok – ya, sebelum komunisme – tapi itu adalah tradisi negara dan rakyat, dan itu harus dibagikan,” katanya.
Steve Lance dan Iris Tao dari NTD berkontribusi dalam laporan ini.
Analis: Layar Ponsel Akan Memiliki Fungsi “Penyembuhan Diri” dalam 5 Tahun
ZENG ZIHENG
Perusahaan analisis teknologi, CCS Insight, minggu ini memperkirakan tren teknologi pada 2024 dan seterusnya. Diperkirakan dalam waktu lima tahun akan ada sejumlah besar perangkat dengan fungsi “penyembuhan diri”. Smartphone seperti ini akan banyak dijual di pasaran.
CCS Insight mengatakan, diharapkan sekitar 2028, layar ponsel yang beredar di pasaran akan menggunakan teknologi “Nano coating”, sehingga ketika layar tergores, secara otomatis dapat menghasilkan material baru untuk mengisi kekurangan tersebut dan mencapai fungsi penyembuhan diri (self-healing).
“Ini bukan sesuatu yang ada dalam fiksi ilmiah, ini bisa dicapai,” kata Benwood kepala analis di CCS Insight, mengatakan bahwa beberapa perusahaan sedang mengembangkan teknologi baru yang memungkinkan goresan kecil memperbaiki dirinya sendiri secara ajaib, seperti: Perusahaan LG Korea Selatan telah meluncurkan ponsel pintar bernama G Flex, yang dapat langsung membengkokkan layar. Lapisan penutup belakang dapat menahan gesekan dan goresan dengan intensitas sedang hingga rendah, sehingga mencegah ponsel tergores atau aus setiap hari. Meningkatkan daya tahan ponsel Anda. Dikabarkan secara luas di industri bahwa lapisan “penyembuhan diri” mungkin akan dapat digunakan.
Selain LG, Samsung juga memimpin dengan ponsel lipat Galaxy Z Fold 5 dan Z Flip 5 yang sudah bisa dilipat layarnya hingga ratusan ribu kali.
Pada saat yang sama, beberapa produsen ponsel besar lainnya juga telah mengajukan paten atas bahan penyembuhan diri. Misalnya: Motorola menggunakan “polimer memori bentuk” untuk membuat layar yang dapat menyembuhkan retakan pada layar hanya dengan memanaskannya. Paten yang diajukan Apple memungkinkan penutup layar ponsel lipat diperbaiki secara otomatis.
Namun, teknologi ini belum diterapkan pada telepon seluler yang tersedia secara komersial. Selain itu, masih banyak kendala untuk peluncuran skala besar, termasuk kebutuhan dana dalam jumlah besar untuk penelitian, pengembangan, dan pemasaran, serta kebutuhan konsumen untuk memahami sejauh mana kemampuan penyembuhan diri layar dapat dicapai.
Wood bercanda bahwa dia khawatir beberapa penggemar yang “antusias” di media sosial akan mengambil pisau untuk menguji kemampuan “penyembuhan diri” ponsel tersebut, yang menurutnya hanya dapat melakukan perbaikan minimal pada permukaan layar. (zzr)
Satwa Liar Afrika Lebih Takut kepada Manusia Dibanding Singa
WU RUICHANG
Singa, yang dikenal sebagai “Raja Hutan”, selalu dianggap sebagai predator puncak paling menakutkan di dunia, namun penelitian baru menunjukkan bahwa sebagian besar mamalia di sabana Afrika lebih takut pada manusia daripada singa.
Menurut laporan media yang komprehensif, penelitian ini dilakukan oleh Dr. Liana Zanette, ahli biologi di Western University Kanada (juga dikenal sebagai University of Western Ontario), dan Craig Parker, salah satu pakar penelitian singa terkemuka di dunia. Craig Packer dan tim peneliti lainnya, dibawa ke Taman Nasional Kruger, Afrika Selatan, dan baru-baru ini penelitiannya diterbitkan di jurnal ilmiah Current Biology. Taman Nasional Kruger di Afrika Selatan adalah salah satu cagar alam terbesar di Afrika dan rumah bagi populasi singa terbesar yang tersisa di dunia, menjadikannya lokasi yang ideal untuk percobaan ini.
Tim peneliti memasang kamera yang dilengkapi speaker di dekat kubangan air di taman selama musim kemarau, karena predator seperti singa cenderung berkeliaran di sekitar kubangan air tersebut dan memburu mangsanya. Kamera tersebut dilengkapi dengan sensor gerak yang terpicu jika ada hewan yang lewat dalam jarak 10 meter.
Speaker memutar serangkaian rekaman termasuk percakapan manusia, auman singa, gonggongan anjing dan suara tembakan (mewakili perburuan manusia), dan seruan burung. Ribuan video dari berbagai hewan yang bereaksi terhadap rekaman tersebut direkam.
Dengan mengamati secara cermat reaksi 19 spesies mamalia besar di kawasan tersebut, termasuk kerbau, zebra, gajah, hyena, jerapah, kudu, dan babi hutan, para peneliti menemukan bahwa hampir 95% hewan merespons ketika mereka mendengar suara manusia. Berlari lebih cepat daripada saat Anda mendengar auman singa, atau lari dari tempat kejadian lebih cepat.
Data menunjukkan bahwa hewan liar dua kali lebih mungkin meninggalkan sumber air dan melarikan diri ketika mereka mendengar suara manusia dibandingkan dengan mendengar suara singa yang mengaum atau berburu, dan waktu reaksi mereka 40% lebih cepat.
Sebaliknya, ketika hewan mendengar auman singa, mereka biasanya ragu-ragu selama 1 atau 2 detik sebelum pergi. Beberapa gajah bahkan bereaksi lebih konfrontatif serta aktif mendekati dan menyerang speaker, menandakan bahwa gajah tersebut memilih untuk berinteraksi langsung dengan singa.
“Ada pandangan bahwa jika hewan-hewan ini tidak diburu, mereka akan terbiasa dengan manusia. Namun kami telah menunjukkan bahwa hal tersebut tidak terjadi,” kata Profesor Parker dari Universitas Minnesota di Amerika Serikat. “Ketakutan mereka terhadap manusia sudah mengakar dan tersebar luas, jadi kita harus mulai menganggap serius fakta tersebut demi melindungi satwa liar ini.”
Profesor Zanet yang memimpin penelitian tersebut mengatakan bahwa penelitian itu mengungkap suatu permasalahan yang tidak dapat diabaikan, yaitu aktivitas manusia memiliki dampak psikologis yang besar terhadap hewan liar, meskipun hewan tersebut tidak terancam secara langsung oleh manusia (seperti perburuan). Kehadiran dan aktivitas manusia saja sudah cukup mengganggu perilaku normal mereka.
Ia menambahkan: “Hasil penelitian ini juga membawa serangkaian tantangan baru terhadap pengelolaan kawasan lindung lokal dan upaya konservasi satwa liar, karena bahkan orang yang baik hati pun akan memberikan dampak tertentu pada hewan ketika melakukan tur tamasya satwa liar, dan fenomena ini belum pernah terjadi dikenali sebelumnya.”
Namun, ada sisi positif dari penelitian ini, karena para peneliti sedang menjajaki apakah penemuan ini dapat digunakan untuk dengan sengaja menjauhkan spesies yang terancam punah, seperti badak putih selatan, dari kawasan perburuan liar yang parah di Afrika Selatan. (osc)