Laporan: Investasi Tiongkok ‘One Belt, One Road’ Akan Membangkrutkan Negara-negara yang Bergabung

Inisiatif One Belt, One Road (OBOR) Tiongkok yang ambisius, merupakan latihan untuk membangun pengaruh geopolitik. Rezim Tiongkok telah menggunakan citra historis tentang rute perdagangan Silk Road (Jalan Sutra) sebagai alasan untuk bermitra dengan lebih dari 60 negara di Asia, Eropa, dan Afrika dalam proyek-proyek infrastruktur besar.

Proyek-proyek tersebut semakin banyak diteliti, meski begitu, pada beberapa negara khawatir rezim Tiongkok dapat menggunakan program tersebut untuk membeli kesetiaan politik dan memajukan kepentingan geopolitiknya.

jalan sutra tiongkok
Para kepala negara dan pejabat menghadiri pertemuan puncak di Forum Belt and Road n Beijing, Tiongkok pada tanggal 15 Mei 2017. (Thomas Peter-Pool / Getty Images)

Sebuah penilaian yang baru diterbitkan oleh think tank (lembaga riset) Center for Global Development yang berbasis di AS telah membuat keputusan yang meyakinkan bahwa beberapa negara peserta OBOR dapat berisiko bangkrut karena pembiayaan masa depan yang terkait dengan proyek-proyek OBOR.

Pusat tersebut menganalisis risiko dari tekanan utang tersebut, memiliki sekuritas yang gagal bayar atau bergerak ke arah kebangkrutan, di antara 68 negara yang berpartisipasi dalam OBOR dan telah menemukan bahwa 23 negara “secara signifikan atau sangat rentan terhadap tekanan utang,” sementara delapan lainnya “memiliki perhatian khusus.”

Mereka adalah Tajikistan, Laos, Maladewa, Djibouti, Kyrgyzstan, Pakistan, Mongolia, dan Montenegro.

Bisnis berisiko

Pakistan adalah salah satu satu perhiasan pemanis OBOR. Rezim Tiongkok telah merencanakan Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan dengan energi, transportasi, dan proyek lainnya senilai $62 miliar, menurut laporan Center for Global Development. Terlepas dari janji-janji peluang ekonomi, kemungkinan besar tampaknya disusun dengan kuat demi kebaikan Tiongkok. Tiongkok telah mengenakan suku bunga tinggi untuk beberapa pinjaman. IMF (Dana Moneter Internasional) memperkirakan bahwa hal ini dapat menyebabkan rasio utang terhadap PDB secara umum “di atas 70 persen,” laporan tersebut mencatat.

November lalu, pejabat Pakistan Mir Hasil Bizenjo mengungkapkan bahwa negara tersebut harus membayar pinjaman sebesar $16 miliar dari bank-bank Tiongkok dengan tingkat bunga lebih dari 13 persen, untuk mengembangkan Pelabuhan Gwadar, sebuah pelabuhan laut yang dianggap sebagai ciri utama dari Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan. Sebagai bagian dari kesepakatan 40 tahun tersebut, Tiongkok akan memperoleh 91 persen pangsa pendapatan kotor, dan 85 persen saham dari “zona bebas” di sekitarnya, menurut sebuah laporan oleh penerbit Asia Times yang berbasis di Hong Kong.

Dalam beberapa kasus, negara harus menyerahkan hak pengendali ke Tiongkok ketika mereka tidak dapat membayar kembali pinjaman-pinjaman tersebut. Misalnya, Sri Lanka tidak dapat mengembalikan pinjaman sebesar $8 miliar dengan bunga 6 persen untuk membangun Pelabuhan Hambantota. Pada bulan Juli 2017, Tiongkok dan Sri Lanka menandatangani sebuah kesepakatan untuk memberikan kekuasaan kendali pada perusahaan milik negara Tiongkok dengan imbalan penghapusan utang, bersamaan dengan sewa 99 tahun, menurut laporan tersebut.

kesepakatan one belt one road membahayakan bagi negara peserta
Sebuah pemandangan umum fasilitas pelabuhan di Hambantota di Sri Lanka, pada tanggal 10 Februari 2015. (Lakruwan Wanniarachchi / AFP / Getty Images)

Di Laos, salah satu negara termiskin di Asia Tenggara, proyek OBOR telah menimbulkan beban keuangan yang berat: jalur kereta api Tiongkok-Laos berharga $6 miliar, atau sekitar setengah dari PDB Laos.

Di antara negara-negara berisiko tinggi lainnya yang diidentifikasi oleh laporan tersebut, persentase pinjaman yang mengkhawatirkan adalah berutang pada Tiongkok. Djibouti, situs satu-satunya pangkalan militer Tiongkok, berutang hampir 82 persen dari utang luar negerinya pada Tiongkok, sementara persentase utang luar negeri Krygtzstan pada Tiongkok kemungkinan akan tumbuh dari 37 persen di tahun 2016 menjadi 71 persen di tahun-tahun mendatang, menurut melapor tersebut. Sementara itu, utang Tajikistan pada Tiongkok menyumbang hampir 80 persen dari kenaikan utang luar negeri negara tersebut antara tahun 2007 sampai 2016.

Masa Depan Meragukan

Karena catatan buruk Tiongkok dalam mengelola tekanan utang, laporan tersebut merekomendasikan agar lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia menjaga Tiongkok untuk menetapkan standar-standar pinjaman. Mereka “seharusnya bekerja menuju kesepakatan yang lebih rinci dengan pemerintah Tiongkok dalam hal standar pemberian pinjaman yang akan berlaku untuk proyek BRI [Belt and Road Initiative] manapun, terlepas dari siapa pemberi pinjaman,” katanya. Laporan tersebut tidak menjelaskan apa pengaruh Bank Dunia atau institusi-institusi sejenis lainnya yang sebaiknya harus memaksa Tiongkok untuk menyetujui protokol-protokol seperti itu.

Negara-negara juga telah mempertimbangkan kembali investasi-investasi dengan OBOR. Pada bulan November, Pakistan menghentikan kesepakatan senilai $14 miliar untuk membangun Bendungan Diamer-Bhasha sebagai bagian dari koridor ekonomi, dengan alasan masalah pembiayaan, menurut surat kabar Pakistan The Express Tribune.

Sri Lanka telah menolak proposal untuk membangun kilang minyak di dekat Pelabuhan Hambantota pada bulan Oktober, surat kabar Hong Kong Apple Daily melaporkan.

Pada bulan April 2017, Selandia Baru setuju untuk mengizinkan Tiongkok Railway mengembangkan kawasan utara yang jauh tertekan secara ekonomi di negara tersebut, lapor Reuters.

Namun pemerintah yang baru terpilih sejak itu telah menyatakan keraguan atas partisipasi Selandia Baru. “Saya menyesali tingkat kecepatan penandatanganan oleh pemerintah sebelumnya,” kata menteri luar negeri Winston Peters dalam kunjungan baru-baru ini ke Australia, menurut sebuah laporan oleh penyiar Australia SBS.

“Saya tidak merasa harus terikat karena pemerintah sebelumnya menandatangani sesuatu,” Peters menambahkan. (ran)

Zhang Ting memberikan kontribusi untuk laporan ini.

ErabaruNews