AS Kategorikan Indonesia Sebagai Negara Maju, Bukan Lagi Sebagai Negara Berkembang

EtIndonesia. US   Trade   Representative   (USTR)  memperketat   kriteria  negara berkembang  yang  berhak  mendapatkan  pengecualian  de  minimis  dan  negligible  import  volumes untuk  pengenaan  tarif  anti-subsidi  atau  countervailing  duty  (CVD),  pada  10  Februari  2020. Berdasarkan    keputusan   tersebut,   Indonesia   tidak   lagi   dimasukkan   dalam   daftar   negara berkembang. Artinya Indonesia ditetapkan sebagai negara maju. 

Menanggapi   hal   itu,   Menteri   Perdagangan   Agus   Suparmanto   menyatakan,   Indonesia   siap meningkatkan  daya  saing,  khususnya  untuk  terus  meningkatkan  ekspor  ke  AS.  Selain  itu,  status Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP tidak terdampak.

“Dikeluarkannya  Indonesia  dalam  kategori  negara  berkembang  tersebut,  artinya  daya  saing produk Indonesia harus ditingkatkan agar kita terus dapat memenangkan pasar ekspor Indonesia. Sementara  itu,  perubahan  kriteria  negara  berkembang  yang  ditetapkan  USTR  tersebut  hanya berlaku dalam aturan pengenaan CVD dan tidak berdampak pada status Indonesia sebagai negara berkembang penerima fasilitas GSP,” kata Agus dalam keterangan persnya, Selasa (25/2/2020).

Menurut   USTR,   tiga   kriteria   baru   yang   diterapkan   AS   untuk   negara   berkembang   adalah berdasarkan Gross National Income menurut versi Bank Dunia (lebih dari USD 12,375 per tahun), pangsa total perdagangan dunia diatas 0,5 persen (sebelumnya 2 persen), dan negara berkembang yang merupakan anggota Uni Eropa, OECD, dan G-20.

Berdasarkan  kriteria  tersebut,  USTR  mengeluarkan  daftar  negara  berkembang dari  pengecualian de  minimis  CVD,  misalnya  Argentina,  Brasil,  India,  Indonesia,  Malaysia,  Thailand  dan  Vietnam. Indonesia dikeluarkan dari pengecualian tersebut karena keanggotaan Indonesia dalam G-20 dan memiliki pangsa total perdagangan dunia 0,9 persen.

Lebih  lanjut,  Mendag  Agus  menyampaikan,  saat  ini  Pemerintah  Indonesia  dan  Pemerintah  AS masih terus mengadakan konsultasi terkait country review penerima program GSP. Status negara berkembang penerima fasilitas GSP sendiri diatur dalam statute yang berbeda dibawah Trade Act 1974.

“Indonesia saat ini tengah berkoordinasi erat dengan pihak AS untuk memastikan status Indonesia sebagai penerima GSP. Sejauh ini, perkembangan diskusi secara bilateral berlangsung cukup positif dan diharapkan AS dapat menginformasikan hasil review segera. Jadi, pengaturan baru perubahan ketentuan  CVD  tersebut  berbeda  dengan  penerapan  status  Indonesia  sebagai  negara  penerima GSP,” kata Mendag.

Total  nilai  perdagangan  kedua  negara  di  tahun  2019  adalah  USD  26,  9  miliar  dengan  tren pertumbuhan 4,5 persen. Ekspor Indonesia ke AS di pada 2019 tercatat USD 17,7 miliar. Indonesia surplus sekitar USD 9,2 miliar. (asr)

FOTO : Logo USTR