Perusahaan Besar Ini Sebaiknya Tak Membantu Komunis Tiongkok dalam Penindasan Agama

Theepochtimes.com- Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat harus tahu nilai-nilai apa yang mereka perjuangkan. Selain itu, berhenti memasok teknologi ke rezim otoriter Tiongkok yang semakin menggunakan pengawasan untuk menindas agama. 

Hal demikian diungkapkan oleh Gary Bauer, komisioner di Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat, mengatakan kepada The Epoch Times.

“Perusahaan teknologi perlu mengingat bahwa mereka adalah perusahaan teknologi  Amerika Serikat. Dan mereka harus peka terhadap nilai-nilai yang kami perjuangkan.Saat kami melihat beberapa perusahaan ini bersedia bekerja sama dengan otoritas komunis, maka hal itu tidak dapat diterima,” kata Gary Bauer dalam sebuah wawancara. 

Para ahli pada dengar pendapat online tanggal 22 Juli 2020 yang diadakan oleh Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat, menggambarkan negara pengawasan dystopian di bawah pemerintahan komunis Tiongkok, di mana pihak berwenang mengerahkan kamera teknologi-tinggi, pengenalan wajah, aplikasi telepon, pelacakan GPS, dan pengumpulan DNA untuk memata-matai dan menindas komunitas agama.

Sebuah gereja bawah tanah yang populer di Beijing ditutup, karena menolak memasang kamera keamanan di dalamnya. 

Di Tibet, orang-orang  ditangkap karena berbagi foto pemimpin spiritual Buddha Tibet Dalai Lama di media sosial. Baru-baru ini, rezim Tiongkok memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong, yang memberdayakan para pejabat untuk menyensor konten online dan mencegat komunikasi, memicu kekhawatiran di antara kelompok agama setempat adanya penganiayaan ala Daratan Tiongkok.

“Tidak ada negara otoriter yang memanfaatkan teknologi digital lebih berhasil daripada Tiongkok modern. Untuk kelompok agama yang ditargetkan oleh Partai Komunis Tiongkok, hasil adalah sama dengan menghancurkannya secara tragis,” kata Chris Meserole dari Institut Brookings, lembaga pemikir yang berbasis di Washington selama dengar pendapat. 

Beberapa perusahaan Amerika Serikat berperan dalam memicu industri pengawasan rezim Tiongkok atau mematuhi sensornya.

Apple, misalnya, menghapus atau menolak ribuan aplikasi dari App Store miliknya versi Tiongkok atas perintah rezim Tiongkok, meskipun Apple baru-baru ini menyerukan “dunia yang lebih adil bagi semua orang,” kata Lobsang Sither, seorang warga Tibet di pengasingan yang mengepalai program keamanan digital di Tibet Action Institute, sebuah kelompok advokasi hak asasi manusia.

Raksasa teknologi seperti Intel dan Nvidia,  menjual chip kecerdasan buatan ke pembuat peralatan pengawasan Hikvision, salah satu dari hampir 50 perusahaan Tiongkok dalam daftar sanksi Amerika Serikat karena keterlibatan perusahaan-perusahaan itu  dalam pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Xinjiang, barat laut Tiongkok, menurut Laporan tahun 2019 oleh Komisi Kongres-Eksekutif untuk Tiongkok. 

Pemerintah Tiongkok menahan sekitar 1 juta warga Uyghur dan minoritas Muslim lainnya di dalam kamp konsentrasi, di bawah panji-panji memerangi “ekstremisme agama.”

Sistem Pensiun Guru Negeri California, dana pensiun terbesar kedua di Amerika Serikat, memiliki sekitar usd 24,4 juta saham di Hikvision pada tanggal 30 Juni 2018.

Pada bulan Mei tahun ini, pemerintah Amerika Serikat memblokir investasi lebih lanjut oleh dana pensiun federal Amerika Serikat ke dalam ekuitas Tiongkok, dengan menyebutkan “menghadirkan masalah keamanan nasional dan kemanusiaan yang bermakna.”

Dalam pidatonya tanggal 16 Juli 2020 yang menyoroti ancaman rezim komunis Tiongkok terhadap kebebasan Amerika Serikat, Jaksa Agung William Barr juga menyebut perusahaan AS “bersujud” ke Beijing. Ia mengatakan Hollywood dan perusahaan teknologi AS terlalu bersemangat untuk mengakses pasar Tiongkok. Oleh karena itu “membiarkan dirinya menjadi bidak pengaruh Tiongkok.”

“Demi keuntungan jangka pendek, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat menyerah pada pengaruh [Tiongkok], bahkan dengan mengorbankan kebebasan dan keterbukaan di Amerika Serikat,” kata William Barr.

Untuk perusahaan multinasional yang sudah menghadapi pengawasan, Gary Bauer menuturkan, saatnya untuk mundur dan menilai kembali taruhan perusahaan multinasional tersebut di Tiongkok. 

“Jika perusahaan multinasional tersebut peduli dengan mereknya, maka perusahaan multinasional tersebut perlu memahami, bahwa jika menjadi jelas bahwa perusahaan multinasional tersebut bekerja sama dengan komunis Tiongkok untuk menindas, mendiskriminasi orang, bahwa hal itu akan merusak merek perusahaan multinasional tersebut dan keuntungan perusahaan multinasional tersebut adalah jauh lebih banyak daripada jika perusahaan multinasional tersebut  mengganggu pemerintah Komunis Tiongkok,” kata Gary Bauer.

Sheena Greitens, seorang profesor di bidang hubungan masyarakat di University Texas di Austin mengungkapkan, Proliferasi teknologi pengawasan Tiongkok yang mengganggu — sudah digunakan di lebih dari 80 negara di seluruh dunia — menjadi sulit diabaikan selama pandemi virus saat ini, saat Beijing mulai aktif mengekspor perangkat lunak “pengawasan kesehatan” atas nama melacak pasien virus. 

Regulasi global mengenai penggunaan dan ekspor alat pengawasan buatan Tiongkok adalah jarang, jika ada, dengan perusahaan Tiongkok yang sebagian besar menulis aturan, kata Sheena Greitens. 

Sheena Greitens menambahkan, Jika dibiarkan, perkembangan semacam itu selanjutnya dapat meningkatkan ketergantungan global pada teknologi Tiongkok dan menormalkan pemantauan teknologi- tinggi massal, terutama di negara-negara di mana kebebasan sipil sudah dalam risiko. 

Pada tanggal 21 Juli, Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat mengeluarkan laporan yang mengutuk kampanye terpadu Beijing untuk mengekspor “otoritarianisme digital,” menurut peneliti UC Berkeley, Xiao Qiang, telah “menciptakan persaingan sistemik dengan Amerika Serikat dan negara-negara demokrasi lainnya.”

“Pada intinya, kompetisi ini adalah lebih dari nilai kebebasan dasar manusia dan martabat,” kata Xiao Qiang saat forum online mengungkap laporan tersebut.

Keterangan Gambar: Kamera pengintai di Hangzhou, di provinsi Zhejiang Cina timur pada 29 Mei 2019. (STR / AFP via Getty Images)

Video Rekomendasi

https://www.youtube.com/watch?v=zNpvymH-NzI