Meminjam Duit Tiongkok Demi Pembangunan Hingga Laos Terperosok dalam Jurang Utang

 oleh Zhang Wan dari Departemen Khusus The Epoch Times

Tiongkok adalah tujuan ekspor terpenting Laos. Demi memperluas ekspor dan menarik wisatawan, Laos dan Tiongkok bersama-sama membangun jalur Kereta Api Tiongkok-Laos, yang  secara resmi dibuka  pada akhir 2021. Namun demikian, menjelang 2022,  Tiongkok mengalami perlambatan ekonomi dan menyusutnya permintaan. Lebih serius lagi, negeri seribu gajah tersebut berhutang dalam jumlah besar untuk pembangunan kereta api, kemungkinan akan dilunasi dengan sumber daya mineral.

Laporan Bank Dunia pada Juni lalu memperkirakan bahwa ekonomi Tiongkok akan melambat secara signifikan pada 2022. Pertumbuhan PDB riil melambat tajam menjadi 4,3%. Angka ini  berarti permintaan impor Tiongkok juga menurun. Tak diragukan lagi,  memperparah Laos, yang kini menghadapi lonjakan inflasi  dan besarnya beban utang.

Menurut laporan Bank Dunia pada April lalu, dari Februari 2021 hingga April 2022, inflasi di Laos melonjak dari kurang dari 2 persen menjadi 9,9 persen. Meningkatnya inflasi mengancam standar hidup warga Laos, terutama sektor rumah tangga perkotaan berpenghasilan rendah.

Sementara itu, tingkat utang publik Laos meningkat tajam sejak 2019. Perkiraan awal menunjukkan bahwa pada tahun 2019, total utang publik Laos dan utang yang dijamin publik  atau public and publicly guaranteed (PPG) menyumbang 68% dari PDB ($ 12,5 miliar); pada tahun 2021, utang PPG Laos telah menyumbang 88% dari PDB negara ($ 14,5 miliar), sekitar setengahnya dipegang oleh investor Tiongkok.

Menurut perkiraan Bank Dunia, dari 2022 hingga 2025, Laos perlu membayar lebih dari 1,3 miliar dolar AS utang luar negerinya setiap tahun. Jumlahnya setara dengan setengah dari pendapatan fiskal domestik Laos. Total cadangan devisa Laos per Desember 2021 hanya US$1,3 miliar.

Sebagai negara yang terkurung di Asia Tenggara,  laos  berhutang untuk pembangunan infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir.  Sebagian besar berasal dari proyek “Inisiatif Belt and Road” dan proyek Kereta Api Tiongkok-Laos adalah kasus tipikal.

Jalur Kereta Api Tiongkok-Laos dimulai dari Boten di perbatasan antara kedua negara di utara dan berakhir di Vientiane, ibu kota Laos.  Total panjangnya sekitar 418 kilometer. Lebih dari 60% bagiannya adalah jembatan dan terowongan, dengan kecepatan desain 160 kilometer per jam dan total investasi hampir RMB. 40 miliar (sekitar 5,9 miliar dolar AS), usaha patungan antara perusahaan Tiongkok dan pemerintah Laos dalam rasio ekuitas 7:3.

Segalanya mulai dari Proyek,  konstruksi, pengawasan, pengujian pihak ketiga, hingga penyediaan rangkaian Electric Multiple Unit (EMU)  dilakukan oleh perusahaan Tiongkok. 

Nama-nama seperti China Railway Corporation, China Electric Power Construction Group, Tianjin New Asia Pacific Engineering Construction Supervision Company, China Railway Southwest Research Institute, CRRC Sifang Co., Ltd., CRRC Dalian Company dan banyak perusahaan Tiongkok lainnya berpartisipasi dalam pembangunan tersebut.

Tak hanya itu, seluruh Jalur Kereta Api TIongkok-Laos mengadopsi standar teknis  dan menggunakan peralatan serta bahan dari Tiongkok. Di Tiongkok, dapat langsung mencapai Kunming, Provinsi Yunnan melalui jalur kereta api sepanjang 595 kilometer lainnya, dan selanjutnya menuju ke  pusat ekonomi di Tiongkok.

Selain itu, menurut rencana Kereta Trans-Asia,  Tiongkok-Laos hanyalah langkah pertama. Kemudian akan diperluas ke Bangkok, Thailand, Semenanjung Malaya, dan Singapura di masa depan.

Pastinya, perusahaan Tiongkok  mendapatkan banyak manfaat dari proyek ini. Otoritas TIongkok tak hanya dapat mengontrol operasi dan pendapatan Kereta Api Tiongkok-Laos melalui 70% saham perusahaan Tiongkok, tetapi juga mempromosikan perencanaan geopolitik pada saat yang sama.

Sebenarnya, untuk mempromosikan jalur kereta api Tiongkok-Laos, Beijing tidak hanya menawarkan pinjaman ke Laos, tetapi juga memberikan masa tenggang waktu 5 tahun untuk pembayaran utang.

Menurut perjanjian, Laos harus memberikan kontribusi hampir 2 miliar dolar AS untuk proyek kereta api Tiongkok-Laos. Pada tahap awal investasi, 30% dari dana proyek harus diinvestasikan dengan pihak Tiongkok sebagai modal awal. 

Menurut  artikel di The News Lens pada 1 Desember tahun lalu, dana yang dibutuhkan untuk kedua bagian ini hampir seluruhnya ditutupi oleh pinjaman yang diberikan oleh Export-Import Bank of China untuk Laos.

Namun demikian, beijing membutuhkan sumber daya mineral sebagai jaminan pinjaman. Jika tidak ada uang untuk membayar kembali pinjaman, Laos akan memberikan Tiongkok sumber daya alam seperti kalium dan bauksit untuk membayar utang. Menteri energi Laos juga mengatakan pada tahun lalu, bahwa Laos dapat mengangkut 5 juta ton sumber daya mineral ke Tiongkok melalui kereta api baru untuk membayar pinjaman ke Tiongkok.

Kini, situasi ekonomi Laos tidak optimal. Kereta Api Tiongkok-Laos dibuka untuk lalu lintas pada akhir tahun lalu, kemudian mulai Maret hingga Mei lalu, banyak zona ekonomi penting di Tiongkok, termasuk Shanghai, ditutup secara besar-besaran. Dikarenakan terjangan epidemi Omicron yang memukul ekonomi Tiongkok dengan keras.

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan terus melambat dalam waktu  lama.

Laporan mengatakan bahwa meskipun pemerintah Tiongkok merilis langkah-langkah stimulus ekonomi dalam jangka pendek, industri konstruksi Tiongkok masih akan tedampakh oleh deleveraging perusahaan real estate; dan pengurangan emisi karbon industri juga akan mengekang produksi perusahaan Tiongkok. Apalagi Tiongkok masih bersikeras pada aturan nol infeksi yang akan terus menghambat pemulihan sektor jasa. Pada saat yang sama, Tiongkok menghadapi efek negatif dari kekurangan tenaga kerja, penurunan pengembalian modal, distorsi ekonomi dan penduduk yang menua.

TIongkok adalah sumber pendapatan ekspor terbesar Laos. Dari tahun 2020 hingga 2021, ekspor Laos ke Tiongkok akan meningkat dari US$2 miliar menjadi US$2,6 miliar, meningkat menjadi 28%. Komoditas ekspor utama ke Tiongkok antara lain konsentrat tembaga dan mineral logam lainnya, pulp kayu, karton, karet, buah-buahan, kacang-kacangan, beras, jagung dan biji-bijian.

Bank Dunia memperkirakan perlambatan ekonomi Tiongkok akan berdampak negatif pada ekspor dan produksi di negara-negara Asia Timur dan Pasifik  termasuk Laos, Thailand, Vietnam. Sebagai  dampak perang Ukraina dan peningkatan inflasi global, Pertumbuhan PDB negara-negara Asia Timur dan Pasifik   2022 akan melambat menjadi 5% dari 7,2% tahun lalu.

Perlambatan ekonomi dan berkurangnya pendapatan ekspor, telah meningkatkan risiko gagal bayar utang Laos. Ada juga kekhawatiran bahwa Laos mungkin memiliki lebih banyak sumber daya yang akan digunakan untuk membayar utangnya. Sebelumnya, Laos telah menetapkan preseden untuk “sumber daya untuk utang” dalam penghapusan utang perusahaan listriknya.

Gegara sumber daya air yang melimpah, Laos selalu ingin menjadi “baterai” Asia Tenggara, sehingga berkomitmen untuk mengembangkan tenaga air. Untuk tujuan ini, Laos telah membangun sejumlah bendungan di Sungai Mekong, tetapi juga berhutang dalam jumlah besar, termasuk sejumlah besar duit dari proyek “Belt and Road” Tiongkok.

Menurut statistik Bank Dunia, pada tahun 2021, hutang sektor energi, yang diwakili oleh Electric Power Company of Laos (EDL), akan mencapai lebih dari 30% dari total hutang PPG negara.

Gegara ancaman kebangkrutan, pemerintah Laos telah menyerahkan kendali jaringan listrik negara itu kepada perusahaan-perusahaan Tiongkok dengan cara yang mirip dengan “pertukaran utang-untuk-ekuitas” untuk membayar utangnya.

Pada September 2020, Lao Electric Power Company mengalihkan  mayoritasnya saham ke China Southern Electric Power Company. Kedua pihak menandatangani perjanjian konsesi 25 tahun, di mana Southern Power diizinkan untuk membangun dan mengelola sistem jaringan listrik Laos, termasuk mengekspor listrik ke negara-negara tetangga.

Model “Sumber Daya untuk Utang”  Terjadi di Negara Lain

Di Sri Lanka, yang terletak di posisi penting di jalur Samudra Hindia, karena ketidakmampuan membayar utang  untuk pembangunan Pelabuhan Hambantota, negara itu terpaksa menandatangani kontrak 99 tahun pada Desember 2017 untuk mengalihkan aset Pelabuhan Hambantota dan Hak pengelolaannya  kepada China Merchants Group, sebuah perusahaan yang langsung berada di bawah otoritas Tiongkok.

Ketika Beijing menandatangani kontrak dengan negara-negara di sepanjang “Belt and Road”, biasanya ada perjanjian non-disclosure yang mana mencegah warga negara dari negara peminjam untuk mengetahui rincian perjanjian dan risiko utang yang ada. 

Pakar Jerman, Christoph Trebesch mengatakan kepada media Prancis pada Maret tahun lalu bahwa Beijing mencoba mengendalikan urusan internal negara-negara peminjam melalui persyaratan pinjaman yang keras dan menjadikan mereka sebagai budak. (hui)