Merdeka dari Kebohongan

Iswahyudi

Tiga hal yang tidak bisa lama disembunyikan: Matahari, Bulan, dan kebenaran.” – Buddha. Sementara, “Kebohongan itu seperti bola salju; itu dimulai dari kecil dan kemudian tumbuh dan tumbuh sam- pai titik di mana ia menjadi sangat besar hingga hancur dan kemudian kebenaran ditemukan.” —Chris Hughes.

Di HUT RI yang ke-77 ini sederet masalah dihadapi bangsa ini. Ekonomi belum pulih benar akibat pandemi COVID-19, tiba-tiba perang Ukraina-Rusia meletus, yang dampaknya pada krisis pangan, krisis utang, dan ancaman kebangkrutan puluhan negara yang salah satu akibat jebakan utang. Belum lagi ancaman invasi RRT ke Taiwan juga membuat potensi krisis semakin dalam. Apakah Indonesia akan selamat dari jebakan utang dan ancaman kebangkrutan negara? Mudah-mudahan kali ini selamat, dan negeri ini tidak kenapa-kenapa. Tidak kembali kembali ke krisis 1998 atau krisis yang lebih buruk lagi.

Pertanyaannya adalah faktor apa yang membuat ketahanan (resilensi) suatu bangsa menghadapi bertubi-tubinya krisis bisa terwujud? Salah satunya adalah kepercayaan (trust). Itulah modal sosial yang berharga untuk menavigasi bangsa ini di tengah badai turbulensi yang tiada henti. Para penumpang bahtera besar Indonesia harus memastikan bahwa ia mempunyai nahkoda yang tepat, yang dapat dipercaya dan mempunyai kemampuan navigasi untuk melewati badai krisis. Karena di saat krisislah nampak sebenarnya bangsa ini seperti apa? Rakyat kita seperti apa? Dan pemimpin kita seperti apa?

Pertanyaan selanjutnya, kepercayaan itu ditumbuhkan dari mana, salah satunya adalah lewat kejujuran para pemimpin dan rakyatnya. Karakter kejujuran inilah yang menjadi ujian terberat bagi bangsa ini ketika momen HUT RI ke-77 ini dirayakan dengan tampilan gimmick Farel Prayogo, anak SD kelas enam yang membuat para petinggi bergoyang dan membuat tagar Sambo yang bertengger beberapa hari menghilang. Wah hebat benar si Farel bisa membuat seluruh negeri bergoyang, dan sejenak meninabobokkan persoalan moral hazard yang memenuhi ruang publik Indonesia beberapa minggu ini.

Tapi pesta sudah berlalu dan saatnya kembali bekerja dan kembali menghadapi penjajahan drama kebohongan yang sedikit demi sedikit mulai bocor skenarionya. Peristiwa ini mengajarkan kita sebagai bangsa bahwa kebohongan itu mahal harganya dan membuat pelakunya teradiksi (ketagihan) untuk mengarang kebohongan-kebohongan tiada akhir. Pada kasus Sambo ini saja yang dimulai pembunuhan ajudan istrinya, Brigadir Joshua Hutabarat, yang pada mulanya diskenariokan adanya kasus pelecehan seksual yang memicu tembak-menembak antar polisi, ternyata malah kebongkar bahwa itu adalah sebuah drama yang dibayar dengan harga sangat mahal. Sambo mengorbankan istrinya, para ajudan dan puluhan elite polisi yang lain. Kalau saja Kapolri pertama Jenderal Hugeng masih hidup pasti beliau mengatakan bahwa “……….kita masih bisa makan nasi dengan garam.” 

Bagaimana akhir dari kisah Sambo ini yang disebut-sebut sebagai puncak gunung es dari masalah moral hazard yang melanda negeri ini yang mana Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo katakan bahwa ikan busuk mulai dari kepalanya. Semoga akan selalu presisi dari awal hingga akhir. Jika konsistensi dalam presisi ini dipegang teguh dan menjadi laku hidup bangsa ini ke depan, maka harapan untuk merdeka dari segala kebohongan bukan lagi sebuah mimpi di siang bolong.

Selain itu, di pusaran pusat kekuasaan, di akar rumput dan dunia media sosial juga lagi seru aksi bongkar kedok praktik perdukungan antara pesulap merah dan Gus Samsudin. Isu ini juga menyita banyak perhatian publik, karena melibatkan banyak pegiat media sosial lainnya untuk ikut nimbrung isu, saling berpolemik, saling mendulang popularitas, dan saling panjat sosial satu sama lain. Pusat isunya adalah kebohongan yang jamak terjadi dalam praktik perdukunan yang mana hal-hal mistis dan keajaiban mempunyai pangsa pasar sendiri di masyarakat Indonesia. Banyak yang merindukan keajaiban-keajaiban yang berujung pada industrialisasi keajaiban palsu untuk meningkatkan reputasi dan “kesaktiannya”. 

Ini menunjukkan bahwa karakter masyarakat kita yang suka dibohongi dan dipamerkan solusi instan atas permasalahan hidup sehari-hari yang mereka hadapi seperti kesehatan, kelancaran berbisnis, kenaikan jabatan, dan lain-lain. Kita tahu bahwa tayangan-tayangan yang berbau mistis mempunyai pangsa pasar yang besar di industri tanah air, sehingga mendorong para konten kreator melakukan race to the buttom untuk memuaskan dahaga pemisa walaupun dengan harga harus melakukan pembodohan dan pembohongan yang terus-menerus. Tujuh puluh tujuh tahun Indonesia merdeka, kita belum belum berhasil merdeka dari kebohongan yang telah mengakar dan mendarah daging.

Model Pembunuhan ala Sambo versus Doktrin Pembunuhan ala Jiang Zemin

Entah sengaja atau tidak ada kemiripan model pembunuhan ala Sambo dengan model pembunuhan ala Jiang Zemin. Mungkin, terkesan mengada-ada menyamakan keduanya dan terkesan tidak apple to apple. Sejarah pembunuhan Jiang Zemin terutama berkaitan dengan kelompok kepercayaan tertindas di Tiongkok memberikan sebuah pelajaran yang mengerikan bahwa dalam kamus diktator komunis, pembunuhan tidak cukup hanya membunuh tubuh fisik, tapi bersamaan juga membusukkan karakter dan menghancurkan ekonomi. Ketika Jiang Zemin menindas kelompok spiritual Falun Gong yang dimulai pada 20 Juli 1999 dan masih berlangsung hingga kini, ia mempunyai doktrin yang berbunyi, “Hancurkan ekonominya, busukkan reputasinya, dan musnahkan fisiknya.” 

Doktrin ini jelas-jelas berasal dari sebuah ideologi yang tidak ada ruang untuk Tuhan di dalamnya, nilai- nilai-Nya, dan hukum tabur tuai. Sebagai bangsa yang berpancasila yang berketuhanan dan berkemanusiaan, memikirkan atau mengimajinasikan kesadisan ala Jiang Zemin itu pun jangan sampai terjadi, apalaginya mempraktikkan jurus itu untuk melindungi reputasi dan  jabatan. Tetapi melihat dengan cermat kasus pembunuhan Brigadir Joshua ini kita jadi menggeleng- kan kepala. Bagaimana seorang yang sudah dijagal, kemudian dibuatkan skenario yang membusukkan namanya dengan menuduhnya melakukan pelecehan seksual, kemudian beberapa hari sesudahnya rekening dari brigadir yang sudah meninggal ini masih terjadi transaksi. Mungkin bagi masyarakat yang masih percaya takhayul bisa dibuat narasi arwah almarhum yang melakukan transaksi gaib. Saya kira masyarakat kita tak senaif itu, masih punya akal sehat, karena selama ini tidak ada cerita bahwa rekening bank bisa hilang akibat aksi tuyul atau babi ngepet.

Model pembunuhan ala sambo dan Jiang Zemin memang polanya bisa mirip tapi beda skala. Semoga tidak ada niatan untuk bereferensi dan hanya sekedar seorang domba yang tersesat yang perlu disadarkan dengan hukuman yang seberat-beratnya agar bisa memberikan efek jera. Semoga Dewi Keadilan tetap menaungi pengadilan di tanah air, bahwa setiap orang apa pun jabatannya sama di depan hukum (Equality Before The Law). Dan semoga ini adalah kasus pertama dan terakhir yang terjadi di Indonesia.

Jalan Kejujuran Sungguh Murah dan Menenangkan

Di momen HUT RI yang ke-77 ini seharusnya kita tidak melupakan keteladanan sejarah dari tokoh bangsa yang mempunyai integritas, yang mana bagi mereka haram memakan uang haram atau melakukan abuse of power. Kita mempunyai Haji Agus Salim yang mempunyai prinsip dalam hidupnya bahwa memimpin itu menderita. Ia bayar prinsip itu dengan berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain. Banyak orang yang meremang bulu roma ketika membaca kisah Agus Salim. Kita punya bung Hatta, yang ketika menjalani laku jujur ia harus rela membunuh keinginannya untuk membeli sepatu Belly. Dan guntingan iklan sepatu mewah itu rapi tersimpan di dompetnya ditemukan pasca kepergiannya. Kita punya Johannes Leimana, seorang Kristiani yang pernah menjabat 7 kali pejabat presiden yang kesederhanaannya patut diajungi jempol pernah mengatakan bahwa politik bukan alat kekuasaan tapi etika untuk melayani. Di korp kepolisian kita juga punya Jenderal Hugeng yang mengatakan bahwa lakukan tugasmu dengan kejujuran karena kita masih bisa makan nasi dengan garam.

Di HUT RI yang ke-77 ini pelajaran terpentingnya adalah bahwa  kejujuran itu sangat mahal. Karena kekayaan yang termahal adalah kejujuran. Dan kejujuran adalah bab pertama dari buku kebijaksanaan.

“No legacy is so rich as honesty.” (Tidak ada warisan yang sekaya kejujuran)

—William Shakespeare. (et)