AS dan Rusia Hadapi Momen “Buka-Bukaan Kartu” Mengenai Perang Nuklir di Medan Perang Ukraina

 oleh Forum Elit

Pada September perang Rusia – Ukraina mengalami perubah situasi yang cukup dramatis. Di mana pasukan Ukraina telah membuat langkah besar, mereka berhasil mengambil alih kembali wilayahnya yang diduduki tentara Rusia. Tentara Rusia terus dipukul mundur hingga mendekati perbatasan. Dalam situasi seperti itu, Putin mengancam Barat dan Ukraina bahwa ia bisa menggunakan senjata nuklir. Ini adalah situasi dunia saat ini yang kembali menghadapi ancaman perang nuklir setelah krisis rudal Kuba 60 tahun silam.

Ketegangan antara Amerika Serikat, Eropa dengan Rusia semakin meningkat, dan kedua belah pihak menghadapi momen untuk “buka-bukaan kartu”. Situasi dunia sedang mengalami titik balik yang menentukan.

Jurus berbahaya Putin : Menggelar referendum gabung dengan Rusia, ancaman nuklir

Pada awal September, tentara Ukraina melancarkan serangan balasan cepat di Oblast Kharkiv yang terletak di bagian timur laut Ukraina. Tentara Rusia terpukul dan bergegas melarikan diri setelah membuang sejumlah besar senjata, amunisi dan peralatan perang. Ukraina berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah Oblast Kharkiv. Ini adalah kekalahan terbesar tentara Rusia di medan perang Ukraina sejak invasi militer dilakukan pada bulan Februari tahun ini. 

Data proyek investigasi sumber terbuka “Oryx” menyebutkan bahwa sejak 1 hingga 23 September, pasukan Ukraina telah menyita lebih dari 100 unit tank, hampir 200 unit kendaraan tempur infanteri dan pengangkut personel lapis baja, lebih dari 20 unit kendaraan komando perang, puluhan kendaraan militer penarik meriam. Kabarnya, peralatan yang disita ini 75 – 80% ditinggalkan oleh tentara Rusia selama serangan balasan di Kharkov. Pada 13 September, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengklaim bahwa sejak awal bulan (September) melakukan serangan balasan, pasukan Ukraina telah berhasil merebut kembali wilayah Ukraina yang diduduki tentara Rusia seluas 8.000 kilometer persegi.

Hingga Oktober ini, inisiatif penyerangan di medan perang masih berada di tangan pasukan Ukraina. Pada 1 Oktober, Kementerian Pertahanan Ukraina menyatakan bahwa pasukan Ukraina berhasil mengepung ribuan tentara dan perwira Rusia dalam sebuah serangan balasan di Lyman, sebuah kota besar yang terletak di wilayah Donetsk. Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan pada hari yang sama bahwa karena ancaman pengepungan, pasukan Rusia sedang ditarik mundur dari Lyman, tempat yang dijadikan pusat logistik dan transportasi tentara Rusia. Dengan kehilangan kota kunci ini maka kekuatan penyerangan tentara Rusia menjadi sangat lemah. Tetapi membuat keuntungan besar bagi militer Ukraina dalam menguasai situasi perang sejak serangan kilat bulan lalu. Demikian Reuters melaporkan.

Lyman terletak di bagian paling utara Oblast Donetsk dan juga merupakan pintu gerbang ke timur menuju Oblast Luhansk. Pendudukan kembali kota Lyman oleh pasukan Ukraina telah membuka jalan bagi militer Ukraina untuk merebut kembali 4 wilayah yang dianeksasi oleh Rusia. Keempat wilayah tersebut adalah Donetsk, Luhansk, Zaporozhye dan Kherson. Sehari sebelumnya, yakni pada 30 September, Putin telah mengumumkan bahwa keempat negara bagian itu telah dimasukkan ke dalam wilayah Rusia. Menurut logika Putin, jika Ukraina menyerang keempat wilayah Rusia ini, maka Rusia dapat menggunakan semua kekuatannya untuk melindungi tanahnya sendiri, yang tentu saja termasuk senjata nuklir.

Pada akhir September, ketika situasi perang tidak menguntungkan Rusia, Putin mengambil dua langkah untuk mencoba menyelamatkan kekalahannya, yang pertama yakni pada 20 September pemerintah pro-Rusia yang mengoperasikan empat negara di atas mengumumkan pengadaan referendum untuk bergabung dengan Rusia pada 23 September. Yang kedua adalah pada 21 September Putin mengumumkan perintah mobilisasi 300.000 tentara baru untuk mengisi medan perang Rusia – Ukraina. Dalam mengumumkan rancangan tersebut, Putin juga memperingatkan : “Ketika integritas teritorial Rusia terancam, maka kami akan menggunakan segala cara, termasuk senjata nuklir. Ingat ! Ini bukan gertakan”.

Pada hari terakhir referendum (27 September) tentang masuknya keempat wilayah Ukraina ke Rusia, Dmitry Medvedev, Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia mengeluarkan peringatan penggunaan senjata nuklir lainnya. Yang berbeda dari peringatan sebelumnya adalah Medvedev bahkan memprediksikan bahwa jika Moskow menggunakan senjata nuklir melawan Ukraina, NATO tidak akan langsung berpartisipasi dalam perang Ukraina dengan menanggung risiko terlibat perang nuklir.

Akankah Putin benar-benar menggunakan senjata nuklir ?

Jenderal Zhang Yan-Ting, mantan Wakil Komandan Angkatan Udara Taiwan dalam program “Forum Elit” yang ditayangkan oleh NTDTV menyebutkan, bahwa sikap negara-negara Barat di medan perang Rusia – Ukraina telah terpantau oleh Rusia, dan Rusia sangat mungkin untuk melangkah maju dari ancaman penggunaan menjadi benar-benar menggunakan senjata nuklir. Jenderal Chang Yan-Ting mengatakan bahwa ketika perang berkobar pada bulan bulan Februari tahun ini, Zelensky telah meminta negara-negara Barat membuat zona larangan terbang bagi pesawat militer Rusia demi mencegah pemboman terhadap Ukraina, tetapi negara-negara Barat tidak melakukannya. Dukungan Barat untuk Ukraina saat ini, termasuk dukungan intelijen terbatas dan pasokan senjata presisi, semua ini cuma terbatas pada bantuan untuk menghadapi peperangan konvensional. Jenderal Chang Yan-Ting mengatakan bahwa sikap negara-negara Barat ini terpantau oleh Rusia. Jadi menghadapi situasi perang yang tidak menguntungkan Rusia saat ini, menurut kepribadian Putin, dipikir sangat mungkin perang akan dikembang ke arah penggunaan senjata nuklir taktis.

Jenderal Chang menjelaskan bahwa ada 3 indikasi yang menunjukkan bahwa kemungkinan Rusia menggunakan senjata nuklir semakin meningkat. Yang pertama adalah bahwa Rusia telah memperingatkan warga Rusia di daerah-daerah Ukraina untuk meninggalkan lokasi utama dan berbahaya, dengan harapan mereka dapat meninggalkan negara itu. Yang kedua adalah bahwa Rusia membeli sejumlah besar kalium iodida, bahan kimia yang dapat digunakan untuk mencegah radiasi. Yang ketiga adalah bahwa CIA AS mengeluarkan peringatan yang menyebutkan bahwa kemungkinan Rusia menggunakan senjata nuklir sangat tinggi.

Menurut Jenderal Chang bahwa Rusia dapat menggunakan bom neutron dalam senjata nuklir taktis karena bom neutron memiliki polusi nuklir paling sedikit, dan setelah bom neutron ditembakkan, beberapa jam kemudian pasukan Rusia dapat memasuki medan perang. Mengenai jumlah dan dampak penggunaan senjata nuklir, Jenderal Chang Yan-Ting berkeyakinan bahwa militer Rusia tidak akan menggunakan senjata nuklir dalam skala besar, jumlahnya mungkin hanya dibatasi di bawah sepuluh. Selama hasil kemenangannya dapat mengembalikan keunggulan militer bagi Rusia di medan perang Ukraina, maka militer Rusia akan berhenti menggunakannya.

Jenderal Chang juga mengatakan bahwa negara pertama di dunia yang mengetahui bahwa Rusia akan menggunakan senjata nuklir adalah Tiongkok. Jika Putin siap menggunakan senjata nuklir, maka terlebih dulu ia akan menyapa Beijing, setelah itu “knop baru dipencet”.

Wang Juntao, Penanggung jawab cabang luar negeri Partai Demokrasi Tiongkok dan seorang doktor ilmu politik dari Universitas Columbia mengatakan dalam program “Forum Elit” bahwa jika melanggar garis bawah Putin yakni perang terus berkembang hingga memasuki wilayah Rusia, dan tentara Rusia dalam wilayah Rusia pun terus mengalami kekalahan, terpukul oleh pasukan lawan. Maka Putin akan memerintahkan penggunaan senjata nuklir. Tetapi jika hal ini tidak terjadi, Saya pikir klaim penggunaan senjata nuklir yang dikeluarkan Rusia hanya sebagai ancaman. Dalam situasi saat ini, saya tidak berpikir perang nuklir akan terjadi.

Namun Wang Juntao juga berpendapat bahwa dengan perubahan situasi perang, jika senjata ofensif yang disediakan oleh Barat terus meningkat dan menguntungkan tentara Ukraina untuk memulai serangan balasan. Ketika pasukan Ukraina berhasil mengambil kembali seluruh atau sebagian dari keempat wilayah yang dikuasai tentara Rusia, terutama wilayah Krimea yang diklaim akan dibebaskan oleh Ukraina dari genggaman Rusia. Dalam situasi seperti itu, apakah Rusia tidak akan menggunakan senjata nuklir ? Ini sulit untuk dipastikan. Wang Juntao juga menunjukkan bahwa sejak Putin berkuasa, terutama dalam menangani masalah militer dan masalah keamanan nasional utama, dia selalu menunjukkan sikap tidak menutup kemungkinan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah yang menghalanginya.

“Deutsche Welle” atau Suara Jerman melaporkan pada 27 September bahwa James Acton, seorang ahli nuklir di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan media bahwa ada 3 skenario yang akan meningkatkan kemungkinan Rusia menggunakan senjata nuklir. Pertama, Rusia mengalami kekalahan militer yang serius di Ukraina. Kedua, Putin kehilangan kekuasaannya. Ketiga, adalah ekonomi Rusia berada di ambang kehancuran total. James Acton mengatakan bahwa saat ini tidak tampak ada ancaman mendesak baik salah satu dari ketiga skenario itu, tetapi mengingat catatan buruk yang diukir tentara Rusia di medan perang Ukraina, memang terjadi beberapa perkembangan yang mengkhawatirkan dari perspektif Rusia, jadi kemungkinan penggunaan senjata nuklir meningkat. James Acton menggambarkan ancaman nuklir Putin baru-baru ini sebagai “cerminan kemarahan dari seorang pemimpin yang sedang tersudut”.

Sejak Rusia menginvasi Ukraina, Putin telah berulang kali mengancam penggunaan senjata nuklir. Ketika militer Rusia menghadapi kehancuran di medan perang, kekhawatiran tentang penggunaan senjata nuklir oleh Putin juga meningkat, termasuk yang diungkapkan oleh mantan Presiden AS Donald Trump.

Pada 27 September, stasiun radio WABC 77 di Amerika Serikat menyiarkan wawancara berdurasi 20 menit dengan Donald Trump. Pembawa acara bertanya kepada Trump : “Apa yang membuat Anda terjaga di malam hari ?” Trump menjawab : “Saya pikir kita bisa terjerumus ke dalam Perang Dunia Ketiga dan hal-hal mengerikan yang terjadi di Ukraina kemungkinan akan terulang, karena ancaman nuklir, saya pikir kita sekarang mungkin sedang berada pada momen yang paling berbahaya dalam beberapa tahun belakangan ini”.

Bagaimana Barat merespons jika Putin menggunakan senjata nuklir

Sebelum Ukraina merdeka 30 tahun silam, ia merupakan negara besar nuklir. Setelah Uni Soviet runtuh dan disintegrasi, properti yang didistribusikan ke Ukraina termasuk 176 buah rudal balistik antarbenua, 1.240 buah hulu ledak nuklir, dan total sekitar 2.500 senjata nuklir taktis. Ia menjadi negara terbesar ketiga dalam hal jumlah setelah Amerika Serikat dan Rusia. Selain Ukraina, negara bekas Uni Soviet yang mewarisi senjata nuklir adalah Rusia, Belarusia, dan Kazakhstan.

Di bawah kepemimpinan Amerika Serikat, pada 23 Mei 1992 di Lisbon, Portugal, 5 negara yakni Amerika Serikat, Rusia, Ukraina, Belarusia, dan Kazakhstan menandatangani perjanjian yang menyebutkan bahwa Ukraina, Belarus, dan Kazakhstan akan menghancurkan semua senjata nuklir yang mereka miliki dalam waktu 7 tahun setelah perjanjian tersebut. Jadi Rusia kemudian menjadi satu-satunya negara di Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (Commonwealth of Independent States. CIS) yang memiliki senjata nuklir.

Pada 5 Desember 1994, para pemimpin Ukraina, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat menandatangani Memorandum Jaminan Keamanan Budapest untuk memberikan jaminan keamanan bagi aksesi Ukraina ke Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir (Non-Proliferation Treaty. NPT) sebagai negara non-senjata nuklir, jaminan keamanan juga termasuk Amerika Serikat, Inggris dan Rusia tidak akan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan politik Ukraina. Ketiga negara tersebut (AS, Inggris dan Rusia) tidak akan menggunakan senjata nuklir terhadap negara non-senjata nuklir yang merupakan pihak dalam NPT, kecuali negara tersebut beraliansi dengan negara bersenjata nuklir untuk melancarkan serangan ke wilayah Amerika Serikat, Inggris dan Rusia, melakukan serangan terhadap angkatan bersenjata atau sekutu mereka.

Menghadapi agresi Rusia terhadap Ukraina dan ancamannya untuk menggunakan senjata nuklir. Apakah Ukraina akan dideklarasikan kembali sebagai negara bersenjata nuklir ? Bagaimana Amerika Serikat dan Barat akan menanggapi ancaman nuklir Rusia ? Apakah dunia akan ditarik ke dalam perang nuklir sebagai akibatnya ? Ini menjadi fokus perhatian dari sebagian besar publik dunia.

Dalam “Forum Elit” Wang Juntao mengatakan bahwa jika pasukan Ukraina menghadapi serangan nuklir, saya pikir Barat mungkin masih menggunakan senjata konvensional untuk mendukungnya, karena negara-negara Barat tidak mau mengambil risiko perang nuklir dengan Rusia. Karena senjata konvensional Barat masih mampu melawan Rusia.

“Newsweek” yang mengutip informasi dari sumber yang mengetahui masalah ini, pada 1 Oktober memberitakan, Presiden Biden menegaskan bahwa AS harus menanggapi dengan keras setiap serangan nuklir yang dilancarkan oleh militer Rusia, meskipun Biden lebih memilih menggunakan opsi non-nuklir sebagai tanggapan. Selain itu, menurut sumber tersebut bahwa jika Biden menggunakan cara non-nuklir untuk berurusan dengan Rusia yang bersenjata nuklir, Biden dapat langsung menuju sasaran inti Kremlin untuk meluncurkan operasi pemenggalan kepala demi menyingkirkan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Apakah AS dan Barat mampu mencegah Putin menggunakan senjata nuklir ?

Sejak 1945 Amerika Serikat menggunakan senjata nuklir di Jepang untuk mengakhiri Perang Dunia II, dunia telah melalui 76 tahun yang tanpa perang nuklir. Krisis Rudal Kuba pada 1962 nyaris memicu penggunaan senjata nuklir, beruntung krisis berhasil diredakan sehingga senjata nuklir tidak digunakan. Tetap saat ini umat manusia kembali berada dalam momen yang paling dekat dengan penggunaan senjata nuklir setelah krisis rudal Kuba. Jadi, apakah Amerika Serikat dan negara-negara Barat mampu mengekang Putin agar ia tidak menggunakan senjata nuklir ?

Yao Cheng, mantan Letnan Kolonel Komando Angkatan Laut Tiongkok mengatakan dalam “Forum Elit”, bahwa saat ini, belum ditemukan ide cemerlang (untuk mencegah Putih menggunakan senjata nuklir). Kecuali dua cara berikut, yakni tidak menyerang Rusia, dan yang kedua adalah menghancurkan alat pengangkut atau peluncur senjata nuklir taktisnya (Tactical Nuclear Weapon. TNW).

Yao Cheng menjelaskan bahwa masyarakat internasional tidak akan membiarkan Rusia menggunakan senjata nuklir. Barat, Amerika Serikat dan NATO harus fokus pada pengendalian perang agar perang tidak berkembang menjadi kacau dan tak terkendali, terutama sampai menyerang wilayah Rusia. Dengan demikian maka Rusia tidak akan menemukan alasan untuk meluncurkan perang nuklir.

Yao Cheng menambahkan, bahwa jangan sampai senjata nuklir itu baik taktis mau pun strategis itu digunakan. Karena begitu digunakan maka akan sulit untuk menjamin apakah senjata nuklir strategis tidak digunakan di kemudian hari. Untuk itu Barat perlu bertindak, NATO juga harus mengambil tindakan, yaitu dengan menghancurkan alat pengangkut atau peluncur senjata nuklir taktis itu, termasuk roket, peluru artileri atau pembom strategis. Dalam hal ini, saya yakin Amerika Serikat dan Barat dapat melakukannya.

Presiden AS Joe Biden telah memperingatkan Rusia agar tidak menggunakan senjata nuklir dalam perang Ukraina. Biden sebelumnya mengatakan dalam sebuah wawancara dengan CBS News bahwa tindakan seperti itu akan “mengubah situasi perang menjadi yang sama sekali berbeda dengan suasana perang mana pun sejak Perang Dunia II”. Lalu ia menambahkan : “Itu jelas memiliki konsekuensi”.

Baru-baru ini AFP yang mengutip ucapan Pavel Podvig, seorang peneliti senior di Institut Penelitian Perlucutan Senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa memberitakan bahwa 47 situs penyimpanan nuklir Rusia berada di bawah pemantauan terus-menerus dari intelijen dan satelit pengawasan militer Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Rusia telah menyebarkan hulu ledak nuklir strategis atau jarak jauhnya di darat, rudal, pembom, dan kapal selam, tetapi senjata nuklir non-strategis atau taktisnya (yang mencapai 2.000 unit) masih dalam kondisi disimpan, belum dimuatkan pada kendaraan pengangkutnya seperti rudal balistik Iskander dan lainnya. Pavel Podvig mengatakan bahwa Rusia mungkin berharap Barat melihat Rusia, memantau persiapannya sebagai peringatan, sebagai langkah dalam meningkat suhu perang.

Pavel Podvig menambahkan bahwa secara teknis tidaklah sulit untuk mengeluarkan beberapa bom dari gudang senjata, Itu bisa saja terjadi, tetapi ada risiko dalam melakukannya, termasuk serangan mendahului (pre-emptive) oleh negara-negara Barat.

Mark Cancian, seorang pejabat yang pernah bertugas di departemen pertahanan dan energi AS yang menangani senjata nuklir mengatakan : “Saya percaya AS dapat melihat setiap langkah persiapan Rusia untuk melancarkan serangan nuklir”.

Mark Cancian yang kini bertugas di Pusat Studi Strategis dan Internasional, Washington mengatakan kepada AFP, bahwa senjata perlu dipindahkan dari gudang penyimpanan sebelum digunakan, pihak berwenang perlu diberitahu sebelumnya dan Rusia juga harus memberitahu kekuatan nuklir strategisnya agar pasukan darat Rusia dapat melakukan beberapa persiapan, seperti mengeluarkan peralatan pelindung dan menginstruksikan bagaimana beroperasi di lingkungan nuklir, ini yang akan meninggalkan “jejak-jejak” yang terpantau, katanya.

Jika AS mengetahui bahwa Rusia sedang merencanakan serangan dengan senjata nuklir, AS hampir pasti akan memperingatkan dunia, termasuk sekutu AS dan kekuatan besar lainnya, serta Tiongkok dan India yang memainkan peran kunci, dengan harapan negara-negara ini akan menekan Moskow untuk menghentikan rencana itu, atau menghadapi pengucilan.

Pavel Podvig mengatakan bahwa Washington mungkin melihat peringatan publik sebagai hal yang membantu dalam menekan Rusia, dan informasi semacam itu dapat memiliki nilai jera.

Apakah AS memiliki teknologi untuk mengendalikan senjata nuklir Rusia ?

Adapun langkah-langkah untuk mengekang penggunaan senjata nuklir Rusia, orang pada umumnya akan bertanya : Sekarang itu teknologi Amerika Serikat sudah sangat maju, dan keunggulan teknologi Amerika Serikat dibanding Rusia telah terlihat secara jelas dalam perang Rusia – Ukraina. Jika begitu maka Amerika Serikat semestinya sudah memiliki teknologi canggih yang dapat mengendalikan senjata nuklir Rusia yang digunakan sebagai sarana pencegahan utama, sehingga jika Rusia meluncurkan rudal nuklir, ia dapat mengendalikan rudal tersebut agar hancur di udara alias sebelum mencapai sasaran atau terbang berbalik arah menuju wilayah Rusia sendiri ?

Dalam program “Jin Ran Memindai Situasi Saat Ini” yang disiarkan NTDTV baru-baru ini, pembawa acara Jin Ran mengungkapkan bahwa Elon Musk, CEO SpaceX, pernah menantang Putin secara pribadi dengan mengatakan : Rusia boleh mencoba untuk meluncurkan sebuah senjata nuklir ke suatu wilayah yang tak bertuan, mungkin saja senjata nuklir itu akan dia balikkan agar terbang kembali ke titik awal peluncurannya. 

Beberapa ahli berkomentar bahwa rencana Elon Musk secara teoritis adalah masuk akal. Satelit Starlink SpaceX memiliki orbit rendah dan cakupan luas. Secara teori, mereka dapat sepenuhnya mengganggu atau bahkan menutupi sinyal posisi satelit, dan tidak sulit untuk memecahkan kata sandi sistem kontrol satelit penentuan posisi Rusia itu. Jadi mengirim sinyal palsu melalui satelit Starlink untuk mengendalikan arah terbang rudal.

Apakah Elon Musk benar-benar memiliki teknologi seperti itu tidak kita ketahui saat ini. Namun, teknologi roket dan teknologi komunikasi satelit milik SpaceX adalah yang teratas di dunia, dan sulit ditandingi oleh Rusia. Tantangan publik Musk setidaknya memberi peringatan kepada Putin. Begitu rudal nuklir diluncurkan, apakah kendali masih tetap berada dalam tangannya ? Ini akan menjadi salah satu masalah paling realistis yang harus dipertimbangkan oleh Putin. (sin)