Obat Penurun Demam di Tiongkok Habis Terjual, Koridor Rumah Sakit Jadi Tempat Parkir Jenazah

 oleh Lin Yi

Lonjakan jumlah kasus COVID-19 telah berdampak serius terhadap sumber daya medis kota-kota tingkat pertama di Tiongkok. Di banyak tempat, warga sipil sulit untuk menemukan sebutir pun pil penurun demam. Pada saat yang sama, industri pemakaman maupun kremasi jenazah juga kelebihan beban. Di bawah ini adalah situasi epidemi beberapa tempat di Tiongkok.

Warga Zhengzhou mengatakan : “Seharusnya lebih cepat memberitahu orang-orang dalam antrean, bahwa obat sudah hampir habis, jadi orang tidak menunggu dengan sia-sia. Kita menghabiskan lebih dari 2 jam untuk berbaris dan menunggu di sini yang dingin dan melelahkan”.

Pada 18 Desember, sebuah apotek di Zhengzhou, Provinsi Henan merilis pemberitahuan berisi : “ada pemberian secara gratis obat penurun demam setiap hari 100 kemasan yang setiap kemasannya berisi 2 butir ibuprofen”.

Warga Zhengzhou mengatakan : “Batasnya 100 kemasan, dan saya berada di antrean yang 60-an, bagaimana mereka bilang obat sudah habis terbagi ?”

Ketika obat penurun demam sulit didapat di banyak tempat di Tiongkok, seorang netizen di Zhengzhou, Provinsi Henan merilis sebuah video pada 18 Desember, mengatakan bahwa begitu reporter dari stasiun TV itu pergi dari apotek yang membagi secara gratis obat penurun demam sehingga menarik banyak warga datang untuk berbaris menunggu pemberian. Pemilik apotek langsung mengatakan bahwa obat sudah habis dibagikan, tidak ada yang tersisa.

Warga Zhengzhou mengatakan : “Ketika reporter stasiun TV itu belum datang untuk acara wawancara, mengapa pemilik apotek tidak mengatakan obatnya habis ? Begitu wawancara berakhir, pemberian gratis pun ikut berakhir”.

Selain di daerah, di kota-kota besar seperti Beijing dengan sistem medis yang relatif maju sekalipun, sumber daya medis juga terbatas. Sejak otoritas secara resmi melonggarkan kebijakan pencegahan epidemi, mereka tidak menindak lanjuti soal tambahan untuk sumber daya medis yang diperlukan.

Netizen Beijing : “Tahukah Anda kondisi di klinik demam ? Sekelompok pria dan wanita tua. antrean sampai nomor 396. Sampai giliran Anda perlu menunggu selama 3 – 4 jam. Dan resep obatnya cuma 1. Dokter memberi resep saya “Lianhua Qingwen”.  Saya minta diberikan ibuprofen, tapi dijawab ibuprofen tidak tersedia. Saya bertanya apakah ada obat flu ? Kata dokter tidak ada, satu-satunya obat yang tersedia sekarang adalah Lianhua Qinwen”.

Apakah itu apotek fisik atau pusat perbelanjaan online, obat penurun demam seperti ibuprofen “sulit ditemukan”. Beberapa warga Tionghoa perantauan bergegas membeli obat penurun demam untuk dikirim ke kerabat dan teman mereka di daratan Tiongkok.

Seorang penduduk Hongkong asal Provinsi Anhui mengatakan : “Saya mendengar bahwa tidak ada obat flu yang tersedia di pasaran di luar, termasuk obat flu dan penurun demam”.

Manajer Apotek Ya Neung di Bangkok, Thailand mengatakan : “Banyak orang Tiongkok memborong obat sebanyak yang mereka bisa”.

Khawatir akan terjadi kehabisan obat seperti yang sedang terjadi di Tiongkok, beberapa daerah seperti Thailand dan Hongkong terpaksa melakukan pembatasan pembelian obat flu.

Ada netizen daratan Tiongkok yang berkomentar : “Musim dingin memang musim penyakit gampang menyebar. Bulan lalu, obat demam tidak bebas dijual. Namun bulan ini obat itu sudah habis. Masyarakat tidak diberi waktu untuk mempersiapkan diri”.

Namun, Wang Wenbin, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok pada 15 Desember masih berulang kali menegaskan : “Tiongkok karena memiliki keunggulan sistem, jadi secara umum masih mampu memenuhi permintaan obat untuk anti-epidemi”.

Pada saat yang sama ketika Wang Wenbin membuat pernyataan ini, kota-kota tingkat pertama di daratan Tiongkok sedang menghadapi kekurangan sumber daya pendukung medis yang sangat serius.

Seorang dokter di sebuah rumah sakit di Beijing mengatakan : “Sudah tidak ada fasilitas lagi !”

Anggota keluarga pasien : “Oksigen pun sudah tidak ada, apapun yang kita inginkan sudah tidak ada”.

“Semuanya ada di sini, lihatlah sendiri. Tidak bohong, bukan !?! Nah, cepat putar 120 mumpung belum bergerak”, kata dokter.

Keluarga pasien : “Bagaimana rumah sakit sebesar ini persediaan oksigen bisa habis ?”

“Semuanya sudah habis terpakai. Saya belum pernah melihat pasien sebanyak saat ini !” kata dokter.

Dengan lonjakan jumlah kematian akibat epidemi, industri pemakaman / kremasi pun terkena dampaknya.

Rekaman video terbaru yang diposting oleh netizen menunjukkan bahwa antrean panjang mobil jenazah menunggu giliran kremasi di Beijing, Shenyang, Henan, dan tempat-tempat lain. karena rumah duka sudah penuh, sehingga koridor beberapa rumah sakit juga dijadikan tempat parkir sementara jenazah pasien yang menunggu pengangkatan ke krematorium.

Seorang netizen dari Timur Laut Tiongkok : “Ini adalah orang yang meninggal tadi malam dan belum juga dibawa pergi hari ini. Ada tiga (jenazah) di koridor sini ada empat (jenazah), jadi total tujuh di sini. Wah! di sini masih ada dua lagi yang belum dibawa pergi”.

Setelah tiga tahun lockdown ketat, otoritas PKT benar-benar “kehabisan akal” dalam menangani penyebaran yang semakin meluas karena tidak mempersiapkan sumber daya medis yang cukup. Hal ini menimbulkan kekecewaan yang serius dari publik.

Warga Shanghai mengatakan : “Dalam tiga tahun terakhir, kecuali tes asam nukleat dan membangun tempat penampungan darurat, tidak ada persiapan yang otoritas lakukan. Vaksin yang efektif tidak ada, sekarang bahkan obat flu saja sulit dibeli. Situasi yang kita hadapi saat ini tidak berbeda ketika epidemi SARS yang menyebar di masa lalu. Apakah Anda masih ingat bagaimana epidemi SARS berakhir ? Otoritas cuma merentangkan kedua tangannya, dibiarkan begitu saja. Sekarang itu terulang, biarkan saja warga mati, tidak usah peduli. Apa artinya kehilangan 3 tahun ?” (sin)