Ilmuwan WHO Meminta Tiongkok untuk Mengungkapkan Angka Kematian COVID yang Sebenarnya

Andrew Thornebrooke 

Para penasihat ilmiah utama untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencari “gambaran yang lebih realistis” tentang keadaan COVID-19 di Tiongkok, menyusul sejumlah kebingungan yang dilakukan oleh rezim partai komunis Tiongkok.

WHO mengundang para ilmuwan Tiongkok dalam pertemuan tertutup dengan kelompok penasihat teknisnya pada 3 Januari, dengan maksud agar para ilmuwan Tiongkok dapat menyajikan data mengenai varian COVID-19 yang saat ini beredar di Tiongkok.

Namun, pertemuan antara WHO dan para ilmuwan Tiongkok tidak akan terbuka untuk umum atau pers,  telah dirusak oleh upaya Beijing untuk menyembunyikan skala sebenarnya dari kehancuran yang ditimbulkan oleh COVID-19 di Tiongkok.

Partai Komunis Tiongkok (PKT), yang memerintah Tiongkok sebagai negara satu partai, mencabut apa yang disebut kebijakan nol-COVID pada  Desember menyusul protes bersejarah yang melanda negara tersebut. Namun, alih-alih menghentikan langkah-langkah tersebut, rezim justru mengakhirinya secara keseluruhan, dan sekarang kasus-kasus melonjak di seluruh Tiongkok.

Berbicara kepada pers menjelang pertemuan Selasa, ahli virologi dan anggota komite WHO, Marion Koopmans, mengatakan bahwa informasi yang disajikan oleh otoritas Tiongkok tentang tingkat rawat inap COVID “sangat tidak kredibel,” dan mendesak rezim tersebut untuk lebih jujur demi rakyat Tiongkok.

Koopmans memintai ingin melihat gambaran yang lebih realistis tentang apa yang sebenarnya terjadi, Adalah kepentingan Tiongkok sendiri untuk maju dengan informasi yang lebih dapat diandalkan.  

PKT Menyembunyikan Kematian Massal dan Infeksi

Lockdown nol-COVID selama hampir tiga tahun oleh PKT membuat masyarakat Tiongkok hanya memiliki sedikit natural imun terhadap penyakit ini, yang tampaknya semakin tidak terkendali di Tiongkok.

Meskipun demikian, rezim melaporkan bahwa jumlah orang Tiongkok yang meninggal akibat COVID-19 pada  Desember hanya 10 orang. Demikian pula, rezim melaporkan tiga kematian COVID baru pada 2 Januari dan hanya satu kematian baru pada 1 Januari.

Akan tetapi, bocoran gambar makalah dari konferensi PKT mengungkapkan bahwa pihak berwenang percaya sebanyak 248 juta orang terinfeksi dalam 20 hari pertama Desember. Virus ini telah menginfeksi lebih dari separuh penduduk di ibu kota negara itu, Beijing dan Provinsi Sichuan di Tiongkok barat daya, demikian menurut dokumen tersebut.

Sebuah laporan yang dirilis oleh perusahaan data kesehatan yang berbasis di Inggris, Airfinity, pada Desember memperkirakan bahwa sekitar 9.000 orang di Tiongkok meninggal setiap hari akibat COVID-19, dan jumlah itu kemungkinan akan mencapai 25.000 kematian per hari pada akhir Januari. Kematian kumulatif di Tiongkok sejak 1 Desember mungkin telah mencapai 161.000, demikian bunyi laporan itu.

BMJ, jurnal perdagangan medis mingguan yang ditinjau sejawat, mengeluarkan artikel pada 3 Januari yang menemukan bahwa PKT benar-benar mengaburkan data yang berarti tentang COVID-19 dengan mengubah kriteria yang digunakannya untuk menghitung rawat inap dan kematian.

“Tiongkok telah secara efektif berhenti menghitung kasus dan kematian covid, meninggalkan tes massal dan mengadopsi kriteria baru untuk menghitung kematian yang akan mengecualikan sebagian besar kematian agar tidak dilaporkan,” ungkap artikel itu.

Terlepas dari gempuran kasus baru, PKT telah mengumumkan bahwa mereka akan membuka kembali perbatasannya pada 8 Januari.

Langkah ini memicu protes dari komunitas internasional, dan negara-negara di seluruh dunia sekarang bergegas untuk menerapkan persyaratan tes untuk semua pendatang dari Tiongkok. Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, Prancis, India, Italia, Jepang, Korea Selatan, Spanyol, Malaysia, dan Qatar termasuk di antara negara-negara yang berusaha untuk menempatkan pembatasan yang lebih kuat pada kedatangan dari Tiongkok.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS mengatakan dalam siaran pers 28 Desember bahwa penumpang harus menunjukkan hasil COVID negatif atau bukti kesembuhan sebelum naik ke penerbangan menuju AS dari Tiongkok.

CDC mengatakan bahwa langkah itu dimaksudkan untuk “memperlambat penyebaran COVID-19 di Amerika Serikat selama lonjakan kasus COVID-19 di RRT [Republik Rakyat Tiongkok] mengingat kurangnya data epidemiologi dan urutan genom virus yang memadai dan transparan yang dilaporkan dari RRT.”

Seorang juru bicara PKT mengatakan bahwa persyaratan pengujian itu “tidak dapat diterima” dan rezim akan “mengambil tindakan balasan” terhadap negara-negara yang mengeluarkan pembatasan perjalanan pada penerbangan yang berasal dari Tiongkok.

Reuters berkontribusi pada laporan ini.