Misteri Candi Tawangalun : Legitimasi Raja-Raja Jawa Keturunan Majapahit?

YUAN MEI

Candi Tawangalun atau dikenal juga dengan nama Candi Sumur Windu terletak di Desa Buncitan, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Berbeda dengan candi – candi lain yang ada di Jawa Timur yang umumnya berada pada pemukiman penduduk, Candi Tawang alun berada di area perbukitan. Hingga kini, Candi Tawangalun masih difungsikan sebagai tempat untuk ritual – ritual pengantin, hari – hari besar dan setiap malam purnama banyak seniman yang menenangkan diri dan mencari inspirasi disini.

Candi Tawangalun adalah Candi di Sidoarjo peninggalan masa klasik bercorak Hindu, candi ini masuk dalam cagar budaya. Candi ini merupakan candi peninggalan yang paling di tidak diurus oleh pemerintah, kata dari Pak Saiful yang merupakan juru kunci dan yang bertugas untuk merawat candi peninggalan dari kerajaan Majapahit ini.

“Bila  dilihat  tidak adanya papan nama, papan peringatan dan juga pagar,” ujar pak Saiful yang sudah 10 tahun mengabdi menjadi juru kunci candi.

Lokasinya berada di atas bukit yang sepanjang hari menyemburkan aliran lumpur. Sehingga tak heran jika tanah tempat Candi Tawangalun berdiri dulu juga pernah menyemburkan lumpur. Untuk menyelamatkan candi, sang juru kunci kemudian segera menutup sem- buran lumpur tersebut sehingga tidak berlanjut. Namun semburan lumpur kini masih terus berlangsung di area tanah sekitar candi.

Candi Tawangalun ini berbeda dari candi-candi  pada   umumnya   yang   ada di daerah Sidoarjo karena candi Tawang alun ini terletak di atas perbukitan dan tidak seperti candi yang lainnya yang terletak di area pemukiman warga. Candi ini memiliki bentuk seperti atap rumah yang berbentuk trapesium. Candi ini dilakukan pemugaran pada bagian atap candi yang sudah mulai banyak jatuh. Candi ini juga dilakukan pemugaran pada bagian dinding candi ini, walaupun bagian dinding masih sedikit yang rusak.

Ukuran Candi Tawangalun tidak terlalu besar, tingginya 2,5 meter, sementara panjang dan lebarnya adalah 5 x 5 meter. Diduga, ukuran dan bentuk candi yang tampak sekarang ini  bukanlah  ukuran dan bentuk candi yang sebenarnya.

Bentuk dan ukuran Candi  Tawang alun yang asli diduga jauh lebih besar namun mayoritas bangunannya telah hancur, hanya tinggal kakinya sedang badan dan atapnya sudah hilang. Tidak ada arca. Struktur Candi Tawangalun yang tersisa sekarang hanyalah struktur yang bentuknya mirip dengan atap rumah.

Di bagian tengah candi terdapat lobang sumuran atau bilik yang berbentuk persegi. Panjang dan lebar lobang sumur an atau bilik tersebut adalah 1 x 1 meter dan kedalamannya 2,2 meter. Menunjukkan ini adalah candi pendharmaan. Namun sayangnya, pintu masuk ke dalam ruang bilik tersebut kini telah tertutup.

Kondisi candi-candi di Sidoarjo memiliki kesamaan yakni terbuat dari bata merah dalam kondisi tidak berbentuk. Kesamaan lain adalah mitos yang dikaitkan dengan Prabu Brawijaya raja Majapahit.

Candi ini kondisi kaki nya disangga batu bata dan masih ada pelipit-pelipit candi yang aus. Hiasan berbentuk miniatur candi juga tinggal kakinya, hiasan ini menunjukkan ada relung untuk arca. Sekaligus menunjukkan jika candi ini mengusung konsep Asta Dikpalaka, yakni delapan penjuru mata angin yang dikuasai Dewa-Dewa tertentu.

Berbeda dengan candi candi lainnya di Sidoarjo yang telah dipugar, kondisi fisik Candi Tawangalun hingga kini masih cukup memprihatinkan. Di sejumlah sudut candi struktur batanya telah hancur dan keropos. Jika tidak segera dilakukan pemugaran atau rekonstruksi tidak menutup kemungkinan kerusakan fisik candi Tawangalun akan semakin parah.

Relief   yang   dulu   menghiasi   candi Tawangalun kini juga hilang tak tersisa. Hingga kini belum diketahui pasti bagian apa yang tampak dari Candi Tawang alun sekarang, apakah batur, kaki atau tubuh candi.

Candi Tawangalun diperkirakan didirikan pada 1292 M pada masa Raja Brawijaya II (Resi Tawangalun). Terdapat kisah romantisme  dalam  pendirian  candi  ini dari tutur kata masyarakat sekitar. Candi Tawangalun dianggap sebagai monumen milik  warga   asli   Desa   Buncitan.   Mereka percaya bahwa cikal bakal dusun di tengah tambak tempat berdirinya Candi Tawangalun berawal  dari  candi  ini.  Setiap 1 Syuro warga beramai – ramai melakukan tasyakuran di kompleks Candi Tawangalun.

Meskipun sudah berusia ratusan tahun batu bata di Candi Tawangalun  tidak satupun yang mengalami kerusakan. Bahkan tim  kepurbakalaan  Trowulan juga heran ketika meneliti batu bata Candi Tawangalun.

Cerita mitos rakyat

Pada masa kerajaan Majapahit, ada seorang   penguasa    sakti    mandraguna di wilayah Tawangalun bernama Resi Tawangalun, ia berasal dari bangsa Raksasa/Jin. Resi Tawangalun mempunyai putri bernama Putri Alun.

Suatu   ketika   putri   Alun   menyukai Raja Brawijaya yaitu Raja Majapahit di masa itu. Demi mewujudkan keinginan putrinya, sang resi mengubah wajah Putri Alun terlihat sangat cantik. Dan akhirnya sang rajapun terpikat hati dan mempersunting Putri Alun sebagai istri selirnya.

Namun ada sifat asli sang putri yang suka makan daging mentah, hingga suatu saat sifat aslinya muncul dan diketahui oleh orang istana. Berita santer itu sampailah ke telinga sang raja, hingga murka dan mengusir Putri Alun dari istana dalam keadaan hamil. Putri Alun pun kembali ke ayahnya, dan melahirkan seorang putra diberi nama Arya Dillah/Damar.

Waktu berjalan, Arya Damar  beranjak dewasa dan putri Alun memberi tahu sang putra bahwa ayahandanya adalah Raja Brawijaya. Dengan izin sang Resi dan ibunya, berangkatlah Arya Damar untuk mencari ayahnya. Ketika Arya Damar sampai di Majapahit dan menghadap ke Raja Brawijaya, Arya Damar mengaku bahwa dia adalah anak Raja Brawijaya dari selir Putri Alun.

Namun bukannya sambutan yang ia dapatkan, malah ia diusir dari Majapahit, karena kecewa dengan perlakuan ayahandanya, Arya Damar pun akhirnya kembali ke Tawangalun. Putri Alun, sang Ibunda Arya Damar merasa prihatin dengan nasib putranya, lalu ia mendirikan sebuah candi sebagai wujud rasa kasihnya terhadap Arya Damar.

Lalu   Arya   Damar   masuk   ke dalam candi untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta alam semesta. Arya Damar merenungi tentang  makna  kehidupan dan bersemadi hingga moksa.

Legenda itulah yang hingga sekarang masih dipercaya oleh warga setempat. Setiap malam kamis  dan  bulan  purnama banyak orang yang datang  ditempat ini untuk melakukan meditasi di tempat sakral ini.

Masih misteri

Seperti halnya kondisi candi yang memprihatinkan, sejarah Candi Tawang alun hingga sekarang juga masih misteri. Kemisteriusan candi ini bisa dijelaskan dalam poin berikut:

1. Fakta bahwa orang-orang setelah era Majapahit lebih memilih bertapa di candi ini, ketimbang menyepi di gunung atau hutan, padahal lokasi candi ini di pesisir kurang tepat untuk bertapa.

2. Konon masa kolonial Belanda, tempat ini menjadi tempat persembunyian tokoh legendaris Jawa Timur, Sarip Tambak Oso.

3. Tempat ini ladang pembantaian, karena menurut juru kunci banyak ditemukan tulang tulang manusia.

4. Sosok Arya Damar yang merupakan keturunan raksasa pemakan daging mentah. Menurut juru kunci, di lingkungan itu ada masyarakat yang cara hidupnya seperti raksasa, sehingga dulu suguhan acara ruwat bumi di sini, ada daging yang masih dengan bercak darah. Hal ini mengingatkan kita pada buthayadna di Bali diantaranya macaru dan ngelawar yang menurut sejarawan merupakan jejak tantra bhairawa. Dikatakan dahulu area candi adalah tempat terpencil yang dijauhi manusia, dan terdapat tempat mandala bhairawa yang memiliki ritual makan daging mentah.

Cerita mitos Arya Damar hampir serupa dengan kisah Arya Damar dalam Babad Tanah Jawi, kitab induk yang disusun oleh juru tulis keraton pada abad ke-18, sehingga tak terbantahkan jika keduanya adalah tokoh yang sama.

Dalam Babad Tanah Jawi, Arya Damar diceritakan juga adalah sosok keturunan raksasa pemakan daging mentah. Yang kemudian oleh Raja Brawijaya dijadikan raja di  Palembang.  Arya  Damar  memiliki istri yang berasal dari Tiongkok (sebelumnya merupakan selir Raja Brawijaya dan kemudian memiliki anak darinya bernama Raden Patah).

Dari cerita Arya Damar dan Raden Patah inilah silsilah raja-raja berkembang dan mengklaim sebagai keturunan Majapahit sehingga melegitimasi untuk memerintah tanah Jawa.