Kebijakan Energi Jerman Salah Kaprah Membuat Beijing Menuai Untung

Yu Ping 

Beberapa hari lalu, ekonom ternama Jerman, mantan Direktur Ifo Institute of Economic Research, Hans- Werner Sinn saat diwawancarai surat kabar Bild mengemukakan kritik tajamnya terhadap kebijakan energi yang dikeluarkan pemerintah Jerman. Seperti kebijakan Uni Eropa menjual mobil berbahan bakar minyak (BBM) yang dinilai “sama sekali tidak bermakna bagi iklim”, sebaliknya justru memperburuk perubahan iklim, dan membuat Beijing memanfaatkan peluang ini untuk mendapatkan keuntungan.

Sinn adalah salah seorang tokoh pemimpin di bidang kebijakan ekonomi selama hampir 20 tahun terakhir, sejak 1996 hingga 2016 saat ia menjabat sebagai Direktur Ifo Institute of Economic Research, yang telah berupaya meneliti masalah ekonomi paling vital era ini, termasuk Jerman bersatu, krisis mata uang Euro, serta akibat dari perubahan iklim, dan lain sebagainya.

Sinn mengkritik kebijakan energi pemerintah Jerman, seperti larangan menjual mobil berbahan bakar BBM, undang-undang menghangatkan ruangan, dan lain-lain, “Semua kebijakan itu sama sekali tidak bermanfaat, tidak hanya telah menghancurkan industri otomotif Jerman, dan membuat taraf hidup kita menurun, justru telah mensubsidi negara lain, khususnya RRT.” Ia menjelaskan, PKT (Partai Komunis Tiongkok) dapat memanfaatkannya untuk membeli minyak mentah dengan harga murah.

Pada April tahun ini, Uni Eropa meloloskan undang- undang, yang memutuskan untuk berhenti menjual mobil berbahan bakar BBM mulai 2035. Pada bulan itu, pemerintahan yang terbentuk dari Partai SPD, The Greens, dan FDP telah meloloskan undang-undang, memutuskan mulai 2024 melarang penggunaan sistem penghangat ruangan yang menggunakan minyak bumi dan gas alam, serta diubah menjadi menggunakan tenaga listrik, dan produk substitusi lainnya seperti pompa kalor yang konsumsi energinya lebih rendah.

PKT Manfaatkan Kesempatan Membeli Minyak Bumi Dengan Harga Rendah

Sinn menjelaskan, melihat perekonomian selama 40 tahun terakhir, jika hanya Jerman dan negara Uni Eropa saja yang berjuang sendirian, seperti melarang penjualan mobil BBM, tidak hanya tujuan pengurangan emisi karbon tidak akan tercapai, yang terjadi justru sebaliknya, dilihat dari sudut pandang global, justru akan makin memperparah emisi karbon.

Sinn menjelaskan, “Jika Jerman tidak lagi membeli minyak bumi, maka harga minyak bumi akan menurun, jadi negara lain akan membelinya.” Ia secara khusus menyebutkan RRT, menurut Sinn, kebijakan Jerman ini tidak menguntungkan bagi Jerman sendiri, dan sama saja dengan memberikan hadiah besar bagi PKT. Faktanya, beberapa tahun terakhir konsumsi batu bara Tiongkok telah meningkat, dan konsumsi minyak bumi juga ikut meningkat.

Bagi Jerman sendiri, kebijakan ini semakin menyulitkan diri sendiri. Karena cuaca tidak stabil, faktor lainnya tidak terkendali, daya listrik yang dapat diperbaharui tidak mencukupi, dan tidak mampu memenuhi kebutuhan industri. Di saat yang sama pemerintah justru mendorong penggunaan listrik, misalnya dalam industri bangunan didorong untuk memasang pompa kalor, pada industri transportasi harus membangun lebih banyak pos pengisian daya bagi mobil listrik. Ini akan menyebabkan konsumsi listrik di musim dingin meningkat sehingga mengalami kondisi pasokan daya listrik tak mampu mencukupi kebutuhan. Ditambah lagi, Jerman telah menghentikan energi nuklir sehingga Jerman harus mengimpor energi listrik atau kembali menggunakan bahan bakar fosil.

April tahun ini, Jerman telah secara resmi menutup tiga pembangkit listrik tenaga nuklirnya, dan mengakhiri sejarah PLTN Jerman. Menurut pemerintah Jerman, energi nuklir bukan energi hijau, dan risikonya tidak bisa dikendalikan, oleh sebab itu menghapus energi nuklir akan membuat negaranya lebih aman, juga menghindari timbulnya lebih banyak limbah nuklir.

Tiongkok Belum Tandatangani “Perjanjian Paris”

Pengurangan karbon adalah tanggung jawab seluruh dunia, tidak hanya urusan Uni Eropa atau Jerman saja, harus dipikirkan untuk meraih keberhasilan dalam masalah ini, serta harus menggalang AS dan Tiongkok untuk bertindak bersama-sama. Sinn mengusulkan agar dibentuk semacam “klub iklim”, semua pihak di dalamnya bersama-sama meninggalkan minyak bumi, dengan demikian baru dapat tercapai tujuan pembatasan penambangan minyak.

Sinn menunjukkan, di seluruh dunia ada 138 negara, termasuk RRT pun belum menandatangani “Perjanjian Paris”, program kebijakan yang menargetkan mengurangi emisi gas rumah kaca global, dengan membatasi peningkatan suhu udara dunia kurang dari 2 derajat Celsius, sekaligus lebih lanjut menargetkan pembatasan peningkatan suhu udara kurang dari 1,5 derajat Celsius.

Ekonom top ini menjelaskan, kebijakan energi Jerman akan memaksa perusahaan meninggalkan Jerman. Karena harga listrik Jerman terlalu mahal, perusahaan bahkan tidak bisa lagi menanggungnya, dan terpaksa mengalihkannya ke negara yang harga listriknya lebih murah. Sinn menilai, Jerman telah memainkan sebuah peran buruk, “Membuat negara lain melihat betapa kesalah-kaprahan kebijakan iklim bisa begitu buruknya”.

Melihat prediksi ekonomi Jerman yang pesimis, ekonom lainnya juga melontarkan peringatan. Bank Sentral Jerman pada Juni lalu menyatakan, diperkirakan perekonomian Jerman tahun ini akan menyusut 0,3% dan ini lebih celaka daripada yang diperkirakan sebelumnya oleh Komisi Eropa.

Menurut data Organization for Economic Cooperation & Development (OECD), mayoritas analis memperkirakan, Jerman akan menjadi negara dengan kinerja ekonomi terburuk di dunia di antara negara ekonomi besar dunia lainnya, PDB Jerman akan mengalami stagnan pada 2023 ini. (Sud/Whs)