Gelombang Penutupan TK Sedang Melanda Tiongkok, Guru TK Terpaksa Ganti Haluan

NTD

Gelombang penutupan sekolah taman kanak-kanak kembali melanda Tiongkok akhir-akhir ini. Karena itu banyak guru TK yang menganggur terpaksa beralih profesi ke bidang lain, seperti menjadi penyiar web (webcast), perawat jari tangan wanita atau pria, ada pula yang menjadi pekerja sosial.

Dalam beberapa hari terakhir, topik berita yang beredar di Internet Tiongkok dengan judul seperti “Guru sekolah TK yang lahir tahun 1990an telah beralih profesi menjadi manicure atau pedicure, penyiar web”, atau “Gelombang penutupan sekolah TK pada akhirnya juga akan berdampak terhadap universitas”, telah menarik perhatian masyarakat.

Pada awal bulan ini (1 Maret), Kementerian Pendidikan Tiongkok melaporkan bahwa, jumlah seluruh taman kanak-kanak di Tiongkok pada 2023 adalah 274.400 sekolah, berkurang sebanyak 14.800 sekolah dibandingkan dengan tahun 2022 (lebih dari 5%). Padahal jumlah taman kanak-kanak di Tiongkok pada tahun 2022 sudah berkurang sebanyak 5.610 sekolah dibandingkan dengan tahun 2021 (hampir 2%). Ini adalah penurunan pertama kalinya dalam sejarah. 

Pada 17 Januari tahun ini, merilis Biro Statistik Nasional Tiongkok pada 17 Januari, hanya terdapat 9,02 juta bayi baru lahir pada tahun 2023, sebuah rekor terendah. Namun, data resmi Partai Komunis Tiongkok sering kali menyembunyikan situasi yang merugikan, dan data sebenarnya mungkin lebih serius.

Seiring dengan berkurangnya jumlah kelahiran, penutupan TK pun terus terjadi.

Akibat penutupan sekolah TK, baik lembaga sekolah maupun para gurunya mulai memikirkan penyelamatan diri : Sekolah mulai dialihkan menjadi “tempat penitipan anak terintegrasi”. Seorang kepala sekolah TK swasta berusia 43 tahun memutuskan untuk beralih profesi mengurus rumah jompo, atau penitipan orang lansia. Sedangkan para gurunya beralih menjadi perawat kuku jari tangan, menjadi penyiar web (webcast), ada pula yang beralih sebagai pekerja sosial.

Topik tersebut langsung memicu perbincangan hangat di Internet Tiongkok.

Seorang penulis bacaan di Douban bernama “Xìma gan san lao” menulis di blog : “Ini adalah tren yang tak terhindarkan. Gelombang yang bermula dari taman kanak-kanak, beberapa tahun lagi SD, lalu SMP, SMA, kemudian universitas, yang akhirnya akan berdampak luas. Yang berkurang itu tak lain adalah tenaga kerja. pasangan resmi dan jumlah kelahiran yang semakin berkurang. Menggunakan aritmatika sekolah dasar saja kita sudah dapat menghitung bagaimana keadaan Tiongkok dalam 50 tahun ke depan”.

Netizen “Lang xíng tian xia” menulis : “Jumlah kelahiran tahun lalu saja cuma 9,02 juta, hanya setengah dari jumlah kelahiran tahun 2016 (17,86 juta). Anak-anak kelahiran tahun lalu ini masih butuh waktu 2 tahun lagi untuk masuk TK. Jadi dengan kata lain, setengah dari TK yang didirikan 16 tahun lalu itu perlu ditutup selama 2 tahun. Bayangkan saja apa artinya ini ? Kemudian dalam 7 tahun ke depan, setengah dari sekolah dasar yang ada harus ditutup, kemudian merembet ke sekolah menengah dan seterusnya. Dan hal yang paling menakutkan adalah penurunan jumlah kelahiran ini hanya akan menjadi semakin buruk, tidak akan pernah bisa bangkit lagi”.

Beberapa komentar netizen antara lain : “Ada terlalu banyak pasangan saat ini yang tidak ingin memiliki anak. Kebijakan nasional yang satu anak di masa lampau menjadikan populasi Tiongkok secara bertahap menurun, tentu saja banyak taman kanak-kanak yang tutup”. “Pria atau wanita usia berkeluarga tetapi belum mau menikah itu sangat banyak. Jumlah pasangan suami istri yang tidak menginginkan anak tidak sedikit. Penurunan angka kelahiran itu tidak hanya berdampak pada sekolah TK, tetapi juga kebidanan, kemudian susu bubuk, mainan anak, efek dominonya secara langsung mempengaruhi 80% industri di masyarakat”.

Partai Komunis Tiongkok (PKT) bisa melakukan apa saja untuk mencapai tujuan yang diinginkan tak peduli itu benar atau salah. Dahulu rezim PKT menerapkan “pemaksaan aborsi”, sekarang “pemaksaan kelahiran”. Setelah kebijakan keluarga berencana yang brutal dijalankan selama 40 tahun, akibatnya adalah populasi Tiongkok menurun tajam. Setelah sadar dari kesalahan itu, PKT tiba-tiba mengeluarkan kebijakan yang memaksa pasangan untuk memiliki anak lebih dari satu. Namun, upaya untuk mengangkat kembali penurunan demografi ini sudah sangat terlambat. (sin)