Oleh Iswahyudi
Darurat Perceraian Indonesia : Bom Waktu Eksistensi Bangsa
Keluarga adalah partikel terkecil dari sebuah bangsa. Ia adalah tempat dimana cinta dan kasih sayang diajarkan, Sekolah pendidikan karakter awal bagi sebuah generasi.
Sebuah bangsa yang besar bermula dari sebuah keluarga-keluarga yang baik yang menanamkan benih karakter unggul. Kerusakan sebuah bangsa berawal dari keluarga-keluarga yang broken. Sehingga melahirkan anak-anak yang tak terurus yang mencari pelampiasan di luar rumah.
Keluarga yang broken akan menghasilkan generasi yang haus akan cinta dan sentuhan kehangatan keluarga. Generasi itu diluar rumah mencari teman senasip untuk mencoba mengisi kekosongan jiwa. Kebanyakan membuat aksi kenakalan, perkelaian, konsumsi narkoba, perkelaian dan kriminal kriminal yang lain.
Menyiratkan bahwa mereka butuh diakui eksistensinya dengan cara-cara yang melanggar norma dan aturan. Mereka menyatukan diri dalam geng pembuat onar. Dan lebih mengejutkan adalah kasus perkelaian remaja meningkat tiap tahunnya. Konsumsi alkohol dan Norkoba terus meningkat. Pertanyaan yang mengusik bagi kita ” Ada apa dengan keluarga dari bangsa Ini? ”
Sebuah Fakta Mengejutkan di Indonesia
Sebuah rilis mengejutkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai data perceraian tahun 2012 sd 2015 menunjukkan rata-rata kasus perceraain di Indonesia sebesar 340.555 kasus atau tiap jamnya terjadi 39 kasus perceraian. Sementara rata-rata pernikahan pada periode waktu tersebut 2.142.216 kasus. Jadi perbandingannya dari 6 pernikahan 1 pernikahan berujung perceraian.
Sebuang angka yang fantastis. DR. Sudibyo Ali Moeso MA, Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN mengungkapkan angka perceraian di Indonesia tertinggi di Asia Pasifik. Ini berarti kasus perceraian bukan lagi murni masalah keluarga, melainkan menjadi masalah sosial. Karena akan berdampak pada masalah sosial.
Misalnya bagaimana masa depan dari anak-anak korban perceraian, dan bagaiman 340 ribu duda atau janda berperilaku di masyarakat? Bisa dipastikan akan membuat masalah sosial tersendiri dalam masyarakat.
Secara geografis, ada 3 propinsi yang menyumbang paling besar yaitu Jawa Timur ( 88.370 kasus) Jawa Tengah (70.870 kasus) dan Jawa Barat (88.370 kasus).Jawa minus DKI dan Banten saja menyumbang 65 % kasus perceraian di Indonesia dari tahun 2012 sd 2015
Data yang dirilis merdeka.com menyebutkan bahwa 70 persen dari kasus perceraian yang ada diajukan oleh pihak istri ( gugat cerai), sementara 30 persen dijatuhkan oleh suami ( cerai talak). Ini menyiratkan bahwa ada pergeseran dominasi dalam keluarga.
Keluarga konservatif mendogmakan suami sebagai tulang punggung keluarga dan pengambil keputusan, tapi saat ini rupanya dogma itu sudah bergeser. Banyak ditemukan istri mempunyai penghasilan lebih tinggi dari suami.
Situasi ini memicu Istri lebih berpercaya diri untuk mengambil keputusan krusial dalam keluarga. Ini menunjukkan propaganda dari aktivis progender/ gerakan feminisme berhasil mewujudkan agendanya untuk membuat posisi wanita setara bahkan lebih dominan dibanding pria. Dengan istilah Tiongkok kuno. Yin ( unsur wanita) menguat, Yang ( unsur laki-laki) melemah. Selain itu ini menunjukkan ada pergeseran peran laki- laki dalam keluarga.
Lebih lanjut lagi dari 340 ribu kasus perceraian yang ada, sepertiga kasus diajukan oleh keluarga berumur di bawah 35 tahun. Ini menunjukkan bahwa belum adanya kematangan dari para pasangan ini untuk menapaki jenjang pernikahan. Artinya mereka belum siap untuk menjadi orang yang bertanggung jawab secara moril maupun materiil ketika memasuki institusi keluarga atau mewujudkan janji suci pernikahan.
Mereka tidak berfikir kedepan tentang akibat dari perceraian itu sangat pahit bagi anak-anak mereka dan akan mempengaruhi psikologis mereka di masa depan dan bahkan mewariskan satu persepsi yang salah bagi generasi mendatang bahwa kalau tidak cocok berarti bisa cerai. Ini akan membolasaljukan kasus perceraian di masa mendatang lebih masif lagi.
Anak hasil perceraian akan terinspirasi untuk bercerai di saat mereka menikah ketika mereka tidak cocok lagi. Padahal dalam ajaran beberapa agama ada yang melarang perceraian dan merupakan hal yang dibenci Tuhan.
Mengenai apa yang menyebabkan kasus perceraian semakin meningkat tiap tahunnya bisa diringkas antara lain ketidakharmonisan keluarga, tidak ada tanggung jawab, kehadiran pihak ketiga dan masalah ekonomi.
Ketidakharmonisan bisa diakibatkan karena perbedaan prinsip, perbedaan keyakinan, dan intervensi dari pihak keluarga dalam kehidupan pasangan. Tidak ada tanggung jawab semisal suami tidak memberikan nafkah kepada istri dalam jangka waktu tertentu. Atau istri tidak amanat dalam menjaga kepercayaan suami. Kehadiran pihak ketiga semisal suami atau istri punya idaman lain.
Ini kerap kali terjadi,didukung dengan adanya beberapa aplikasi medsos yang juga berpengaruh pada prilaku komunikasi pasangan. Seorang suami atau istri lebih care dengan temannya di media sosial dari pada pasangannya. Memang sudah terbukti bahwa medsos menciptakan suatu ilusi ” Jauh terasa dekat, dekat terasa jauh.
Publik dikejutkan dengan berita 2231 kasus perceraian dan 1862 atau 83% nya akibat perselingkuhan yang dipicu oleh penggunaan media sosial. Kejadian ini terjadi di Depok (1571 kasus), Balikpapan (1536 kasus), Situbondo (1073 kasus), dan Lumajang (2681 kasus). Ini menunjukkan sedang terjadi pembusukan secara tak sengaja yang menggerus keharmonisan keluarga indonesia.
Faktor yang terakhir yang menjadi alasan perceraian adalah masalah ekonomi. Semisal suami tidak berpenghasilan sehingga tidak bisa menunaikan tanggung jawab menghidupi keluarga.
Data Badilag MA ( Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung) menunjukkan 60% perceraian karena masalah ekonomi. Kebanyakan para istri melakukan gugatan cerai karena suami sudah lagi tidak bisa berpenghasilan. Namun bukan hanya karena suami tidak berpenghasilan, gugutan cerai bisa juga karena penghasilan Istri lebih besar dari suami.
Menyelamatkan Bangsa dimulai dari Keluarga
Fakta darurat perceraian ini harus segera disadari oleh semua stakeholder dari bangsa ini. Ini bukan hanya masalah domestik dari sebuah keluarga, melainkan masalah bangsa di masa depan. Sebuah keluarga yang harmonis akan menghasilkan generasi yang sukses tanpa cacat karakter. Sebuah keluarga yang broken akan menghasilkan generasi yang kurang kasih sayang alias cacat cinta. Dan akhirnya akan berujung pada nasib dan eksistensi bangsa ini di masa depan.
Di tengah persaingan bangsa yang semakin ketat, bangsa ini harus memperkuat ketahanan dan meng-upgrade moral, karakter dan kompetensi unggul dari institusi sakral yang bernama keluarga.
Investasi di human capital harus jadi prioritas bangsa ini ke depan. Karena dalam persaingan bangsa-bangsa akan pasti ada upaya-upaya dari pihak ekternal untuk menghancurkan negara dari dalam, yaitu dimulai dari partikel terkecil sebuah bangsa, keluarga.
Nilai keluarga yang luhur seperti kemandirian, tidak egois, percaya pada Tuhan, dan belas kasih adalah sangat efektif bila ditanamkan dalam keluarga Anda.
The last but not least, sayangi keluaga kita. Buatlah keluarga Anda menjadi keluarga terbaik yang menjadi hadiah terindah untuk bangsa ini dan semesta secara keseluruhan. Menjadikan keluarga sebagai surga di bumi sama dengan menjadikan bangsa ini menuju kearah surga. Menuju zaman baru yang lebih cerah. (ISW/WHS/asr)