Oleh Xie Tian
Secara umum diyakini bahwa setiap orang bergulat dalam dua konsep: kebaikan lawan keburukan dan gejolak itu selamanya eksis.
Oleh karena itu, setiap kejadian seperti peristiwa 11 September WTC, kita melihat kegilaan, kebrutalan dan kebencian.
Tapi pada saat yang sama, kita juga melihat para penyelamat di garis terdepan sebagai pasukan pemadam kebakaran dan tim medis, mereka merupakan orang-orang yang demi menyelamatkan orang lain bersedia mengorbankan nyawa dengan menarik keluar orang-orang yang terjebak dalam puing-puing.
Bagi mereka yang mencoba mencari cara dan kemampuan seseorang untuk melawan godaan, dan kemampuan berperilaku untuk menolak ideologi yang menyesatkan, keserakahan dan egoisme, Profesor Donadl W. Pfaff bertanya dari manakah “bahan baku” manusia berkualitas baik yang bagus ini berasal?
Pfaff beranggapan bahwa “bahan baku” yang mengarahkan pada perbuatan baik, pikiran baik dan kebaikan hati berada dalam otak kita. Ia percaya bahwa otak manusia sejak lahir telah terprogram, agar kita berniat baik pada orang lain.
Banyak motif mendasar manusia, reaksi, dan ketrampilan, semua adalah bawaan sejak lahir, bukan ada setelah lahir. Ia beranggapan bahwa karakteristik biologis umat manusia adalah mendorong kita untuk mempertahankan kebaikan, sehingga kita bisa berbuat baik secara alami.
Para neuroscientists mengeksplorasi hubungan antar manusia, misalnya mengapa dengan orang-orang tertentu kita dapat bergaul dengan baik, namun dengan beberapa orang lainnya tidak dapat? Mengapa kita menyukai atau tidak menyukai satu sama lain? Manusia butuh kerja sama, tapi terkadang konflik interpersonal justru muncul dari kerja sama yang buruk.
Menurut pandangan Pfaff, penelitian para filsuf, ahli biologi, dan psikologi semuanya tidak dapat dianggap sebagai “hard science“, sedangkan penelitian yang dilakukan tim Universitas Rockefeller New York justru menggunakan “hard science” yakni: ilmu saraf.
Pfaff yang juga sebagai Direktur Laboratorium Neurobiologi dan Ilmu Perilaku di Universitas Rockefeller menggunakan positivism ilmiah, menggunakan sains untuk memverifikasi dan meneliti motif perilaku manusia.
Secara konkret, menurut mereka perilaku manusia yang baik dapat diprediksi melalui zat-zat dalam ilmu saraf dan biologi. Penelitian mereka dinyatakan dalam 5 langkah sebagai berikut:
Pertama, ketika Anda akan melakukan sesuatu, pada sel saraf sistem saraf pusat akan dihasilkan banyak data, hal ini menunjukkan bahwa otak manusia akan mengirimkan sinyal sebelum berlangsungnya perilaku.
Kedua, akan timbul gambar objek tindakan tersebut.
Ketiga, gambar objek tindakan akan kabur membaur dengan gambar diri sendiri. Pfaff menjelaskan bahwa hal ini sangat penting karena mereka menganggap orang itu sebagai diri mereka sendiri.
Keempat, Anda akan mengalami suatu “perasaan”, yang akan memungkinkan Anda menilai potensi konsekuensi dari perilaku itu. Ketika perilaku muncul di dalam pikiran Anda, dan citra Anda membaur dengan citra objek, neuron dalam otak akan memberikan penilaian positif atau negatif terhadap perilaku tersebut. Dengan demikian, otak yang dipenuhi dengan sifat altruistik diaktifkan.
Kelima, orang memutuskan apakah akan mengambil tindakan untuk mewujudkan perilaku ini.
Sesuai penilaian dari langkah keempat, jika sinyalnya positif, Anda akan bertindak, jika negatif, Anda tidak akan bertindak.
Pfaff menyimpulkan: Manusia itu pada dasarnya adalah baik; prinsip panduan untuk manusia yang normal dan sehat adalah bertindak dahulu sesuai etika, baru kemudian bertanya mengapa.
Berbicara dengan sejujurnya, walaupun Pfaff mengutip insiden kereta bawah tanah New York sebagai contohnya, namun teori Pfaff tidak sepenuhnya dapat menjelaskan perilaku kepahlawanan kereta bawah tanah.
Wesley Autrey sendiri pernah mengatakan bahwa ia tidak berpikir begitu banyak, juga tiada waktu untuk berpikir begitu banyak, ia juga tidak bertindak setelah menerima sinyal tindakan, juga tidak membaurkan citra dirinya dengan citra Cameron Hollopeter.
Mereka masing-masing berkulit hitam dan putih; satunya seorang pekerja kasar setengah baya, sementara yang lainnya seniman muda; satunya sarat beban keluarga, yang lainnya masih mahasiswa jurusan perfilman.
Sulit dibayangkan kedua peran itu akan berbaur dalam waktu yang sangat singkat dan Wesley Autrey sendiri juga tidak mengevaluasi aspek positif dan negatif dari perilaku tersebut.
Yang lebih krusial adalah, setelah Autrey bertindak sesuai moral dan hati nuraninya, dia tidak menilai konsekuensinya.
Jika dia benar-benar menilai konsekuensi kegagalan menyelamatkan orang dan kematian malang di bawah roda kereta bawah tanah, kedua putrinya yang masih kecil tersebut mungkin sandang pangannya tidak tercukupi, dan akan terlunta-lunta sebatangkara. Menurut teori ilmiah ini, dia mungkin tidak akan melakukan penyelamatan orang lain!
Tentu saja, pemahaman seperti itu oleh Pfaff dan ilmuwan lainnya, dari sudut pandang Buddhisme adalah terbatas dan terletak di dalam pola lama positivisme. Karena dalam pandangan Buddhisme dan para praktisi kultivasi, kesadaran manusia termasuk niat baik adalah berasal dari jiwa primer manusia, otak hanyalah alat untuk memproses.
Apakah seseorang terlahir baik hati, bukanlah karena komponen material di dalam otak yang membentuk manusia sedemikian rupa. Melainkan hakikat, ciri khas dan keistimewaan jiwa primer manusia (termasuk jiwa primer utama, jiwa primer sekunder dan seterusnya) telah menentukan apakah seseorang itu baik hati dan akankah ia bersedia mengorbankan diri sendiri demi menyelamatkan orang lain.
Sebagai contoh kasus naluri baik hati manusia, Pfaff mengutip wejangan Konfusius “Apa yang tidak Anda kehendaki, janganlah dipaksakan kepada orang lain.”
Profesor ini juga telah mengutip ajaran Sakyamuni, yang menunjukkan bahwa kebaikan dan altruisme adalah nilai unggul yang umum bagi umat manusia, adalah kharakter dasar manusia, juga adalah keharusan untuk menopang dunia manusia.
Namun di dalam menjelaskan asal usul altruisme dan niat baik, hakikat kebaikan serta sebab musabab munculnya niat baik, sepertinya sains belum dapat melakukannya.
Ilmu pengetahuan, bagaikan makhluk teramat kecil di dalam alam semesta ini, hanya dapat memberikan sebuah catatan kaki kecil untuk membuktikan kebaikan dalam agama Buddha. dan kelaziman akan eksistensi kebaikan di dalam hati manusia. (PUR/whs/asr)
Sumber : Epoch Weekly
Xie Tian adalah Profesor, University of South Carolina Aiken Business School, Amerika Serikat