Rusia Klaim Tidak Mengesampingkan Penggunaan Senjata Nuklir, Jenderal Rusia ke-15 Tewas di Medan Perang

oleh Jin Shi

Rusia baru-baru ini mengklaim bahwa mereka tidak akan mengesampingkan penggunaan senjata nuklir dalam perang di Ukraina, dan Amerika Serikat segera memberikan tanggapan. Selain itu, intelijen Barat mengatakan bahwa di medan perang, terlihat tanda-tanda tentara Ukraina telah mulai beralih dari strategi bertahan menuju menyerang.

Pada Selasa 22 Maret, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov saat berwawancara dengan reporter CNN mengatakan bahwa jika Rusia menghadapi “ancaman eksistensial”, tidak akan menutup kemungkinan menggunakan senjata nuklir.

Bulan lalu, Putin telah memerintahkan pasukan nuklir Rusia untuk memasuki status siaga tinggi.

Menanggapi pernyataan terbaru Rusia, Kementerian Pertahanan AS memberikan tanggapan pada hari Selasa.

Juru bicara Kementerian Pertahanan AS, John Kirby mengatakan : “Pernyataan itu berbahaya, dan itu bukan tindakan yang bertanggung jawab dari sebuah negara besar yang berkekuatan nuklir”.

Namun demikian, John Kirby juga mengatakan bahwa Amerika Serikat belum melihat ada faktor yang akan menyebabkan Amerika Serikat mengubah sikap pencegahan strategis nuklirnya.

Dalam wawancara yang sama, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengakui bahwa Rusia belum mencapai tujuan militer apa pun dalam invasinya ke Ukraina.

Invasi Rusia ke Ukraina telah memasuki hari ke-28. Kementerian Pertahanan AS mengatakan bahwa pasukan Ukraina sedang membalikkan gelombang pertempuran dan mulai berhasil mengambil kembali sebagian wilayahnya yang hilang, terutama di front selatan negara itu.

Beredar berita dari Kota Voznesensk yang berada dibagian selatan Ukraina, bahwa penduduk setempat bergabung dengan pasukan Ukraina untuk menghancurkan serangan satu kelompok tank Rusia dan memaksa pasukan Rusia yang mengepung untuk mundur.

Pertempuran sengit masih terjadi di pusat kota pelabuhan Mariupol. Sekitar 100.000 orang penduduk masih terjebak.

John Kirby mengatakan : “Tentara Ukraina bertahan dengan cara yang cerdik, fleksibel dan kreatif. Mereka mencoba merebut kembali wilayah yang sempat dikuasai pasukan Rusia”.

Pejabat NATO memperkirakan bahwa sebanyak 15.000 orang tentara Rusia telah tewas dalam pertempuran.

Sementara itu, menurut militer Ukraina, Kolonel Alexei Sharov, komandan Brigade Zhukov dari Pengawal ke-810 Korps Marinir Rusia, tewas di Mariupol beberapa hari yang lalu. Ia adalah jenderal senior Rusia ke-15 yang dilaporkan tewas dalam pertempuran di Ukraina. Jika hal ini dikonfirmasi, jumlah jenderal senior Rusia yang tewas dan terluka dalam perang telah mencapai rekor terburuk sejak Perang Dunia II.

Pekan ini, Rusia sendiri juga mengakui bahwa wakil komandan Armada Laut Hitam, Laksamana Satu Andrey Paliy, mati tertembak.

Menurut ‘Wall Street Journal’, di antara pasukan khusus Ukraina, ada tim khusus yang bertanggung jawab untuk menemukan lokasi spesifik tentara Rusia, mereka akan mencari jenderal terkenal untuk diserang. Mereka menemukan bahwa militer Rusia sering menggunakan peralatan radio yang tidak terenkripsi, sehingga mudah untuk mendapatkan posisi yang akurat.

Di luar medan perang, upaya keras lewat saluran diplomatik belum ditinggalkan oleh Ukraina. Pada Selasa 22 Maret, Presiden Volodymyr Zelensky menyampaikan pidato di parlemen Jepang yang topiknya meliputi bahaya senjata nuklir, serangan gas sarin, dan elemen lain yang membuat Jepang merasa simpatik. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan bahwa Jepang akan mempertimbangkan untuk memperbesar sanksi terhadap Rusia.

Pada Rabu, Presiden AS Joe Biden berangkat ke Eropa untuk menghadiri pertemuan puncak darurat dengan sekutu NATO.

Seorang reporter bertanya : “Apa yang akan Anda katakan kepada para mitra Eropa ?”

Biden menjawab : “Saya akan berbicara langsung dengan mereka, saya akan mengatakan apa yang harus saya katakan, dan saya akan mengatakannya ketika tiba di sana nanti”.

Sesaat setelah Biden berangkat, Amerika Serikat secara resmi mengumumkan bahwa tentara Rusia telah melakukan kejahatan perang di Ukraina.

“Mereka yang melakukan kejahatan ini harus bertanggung jawab”, kata Beth Van Schaack, Duta Besar Kementerian Luar Negeri AS untuk Keadilan Global. (sin)