Mengapa Xi Jinping Berdialog dengan Putin?

Wang He

Pada 15 Juni lalu, adalah untuk kedua kalinya dalam tahun ini Xi Jinping berdialog dengan Putin lewat telepon. 

Kali pertama adalah pada 25 Februari lalu, yakni pada hari pertama Putin melancarkan “operasi militer khusus” terhadap Ukraina. Awalnya, baik Putin maupun Xi Jinping tidak menyangka Rusia akan terjebak dalam kubangan perang ini. 

Namun, setelah lebih seratus hari berperang, dilihat dari sudut pandang pola strategis global, jika dikatakan Rusia adalah pihak yang kalah paling besar, maka karena mendukung Rusia secara terbatas Tiongkok pun menjadi pihak yang kalah di urutan kedua; dan setelah lebih seratus hari, Xi Jinping harus memperjuangkan tiga kali menjabat berturut-turut di ajang “Kongres Nasional ke-20 PKT (Partai Komunis Tiongkok)” pada akhir tahun ini. 

Oleh sebab itu, dialog Xi Jinping dengan Putin di telepon, bagi Xi Jinping yang sedang menahan tekanan politik teramat besar, niatnya adalah melontarkan sejumlah sinyal penting.

Mengindikasikan Xi Jinping Masih Kuasai Situasi Politik PKT

Dampak Perang Rusia-Ukraina terhadap situasi politik internasional, telah kita saksikan bersama; pengaruh terhadap situasi politik di Tiongkok pun cukup mendalam, mungkin tidak kalah dengan dampak yang timbul akibat runtuhnya Uni Soviet dulu. 

Dari semula mendukung penuh Rusia sampai mendukung Rusia secara terbatas, dari menjaga jarak dengan Rusia sampai berkoordinasi terbatas dengan AS dan Eropa, ada berbagai jenis sudut pandang politik. 

Di kalangan sesama petinggi PKT, sikap mereka terhadap Rusia terdapat perselisihan serius, dan konfrontasi sengit.

Yang cukup disoroti kalangan asing adalah, pada 14 Juni lalu, Beijing mengumumkan Wakil Menlu yang menempati posisi pertama yakni Le Yucheng dimutasi menjadi Wakil Direktur Administrasi Radio dan Televisi Nasional.

Le Yucheng adalah satu-satunya anggota alternatif pusat PKT pada jajaran Wakil Menlu, dan ia dipandang sebagai kaki tangan Xi, pro-Rusia, dan kandidat kuat Menlu berikutnya. 

Pada 4 Februari lalu, Putin berkunjung ke Beijing untuk bertemu dengan Xi Jinping, dan menandatangani pernyataan bersama yang berskala tinggi. Hasil dari pertemuan tersebut dijelaskan oleh Le Yucheng kepada media massa, “Hubungan antara Tiongkok dan Rusia tidak ada batas atas, tidak ada titik akhir, hanya ada pos pengisian bahan bakar,” ujarnya.

Tak lama setelah Putin kembali ke negaranya, perang terhadap Ukraina pun dikobarkan, hal ini membuat Xi Jinping berada dalam posisi sangat pasif.

Le Yucheng dimutasikan keluar dari Kemenlu, oleh kalangan luar dinilai sebagai tamparan bagi Xi Jinping. Kebijakan PKT terhadap Rusia kemungkinan besar akan dirombak. 

Dan, lewat dialog di telepon dengan Putin kali ini, Xi Jinping menyatakan “sejak tahun ini, menghadapi perubahan yang bergejolak di seluruh dunia, hubungan Beijing dan Moskow tetap mempertahankan perkembangan yang baik”, menunjukkan dirinya masih memegang kekuasaan besar membuat keputusan, dengan niat meluruhkan semua rumor yang beredar.

Memamerkan Hubungan Xi dan Putin Sangat Baik

Pada 4 Februari lalu pernyataan bersama PKT dan Rusia menyebutkan “persahabatan yang tidak ada batasnya, dan kerja sama tanpa pantangan”, walaupun Beijing tidak mengecam Rusia sebaliknya justru agak mendukung Rusia menginvasi Ukraina. Akan tetapi terpaut sangat jauh dari harapan Rusia, khususnya setelah posisi Rusia tidak menguntungkan dalam perang tersebut. 

Surat kabar Washington Post memberitakan, Moskow setidaknya telah 2 kali memberi tekanan terhadap Beijing, dan meminta agar Beijing memberikan lebih banyak dukungan. Sedangkan Beijing tidak bisa menemukan cara untuk memberikan dukungan finansial bagi Rusia dengan kondisi tidak melanggar sanksi yang berlaku. Sementara Tiongkok sendiri juga tidak ingin mendapatkan sanksi tingkat kedua dari Eropa maupun AS karena memberikan bantuan bagi Rusia. 

Oleh sebab itu, Rusia menjadi sangat tidak senang. Surat kabar Inggris The Sun bahkan memberitakan Putin telah melontarkan kata-kata “yang tajam dan kasar” terhadap Xi Jinping.

Xi Jinping sendiri pernah mengatakan: “Presiden Putin adalah sahabat saya yang terbaik.” Putin juga pernah mengatakan, “Teman saya yang paling berharga adalah Xi Jinping.” Apakah kali ini hubungan kedua- nya akan runtuh?

Lewat dialog kali ini, telah menunjukkan keduanya saling mendukung. Menurut naskah berita kantor berita Xinhua News, “Putin menyatakan, di bawah kepemimpinan kuat Xi Jinping, Tiongkok meraih prestasi pertumbuhan yang unggul, Rusia menyatakan selamat atas pencapaian ini.”

Tentu saja, telepon kali ini juga amat penting bagi Putin. 

Pertama, situasi perang tidak menguntungkan, suara menentang perang di dalam negeri semakin keras, supremasi kekuasaan Putin menjadi rusak parah, dia sangat membutuhkan dukungan dari luar negeri. 

Kedua, media massa memberitakan Putin menderita sakit keras, terekam foto/video Putin berbicara dengan nafas terengah-engah, dan terus terbatuk- batuk. Bahkan agen rahasia Kremlin mengungkapkan pada 12 Mei malam, Putin sempat menjalani operasi dan lain-lain. Sangat mendesak untuk membuktikan kondisi fisiknya sehat, dan masih menggenggam erat kekuasaan negara. Berbicara di telepon dengan Xi Jinping adalah suatu pilihan yang baik.

Menyatakan Pembenaran Kebijakan Rusia dan Luasnya Ruang Strategis Beijing

Antara Tiongkok, Rusia, Amerika, dan Eropa, terdapat beberapa hubungan segitiga, seperti Tiongkok-AS-Rusia, Tiongkok-AS-Eropa, dan AS-Eropa-Rusia, yang saling  terhubung satu sama lain. Masing-masing pihak berusaha keras untuk mengembangkan ruang strategisnya sendiri. 

Begitu Perang Rusia- Ukraina dimulai, situasi pun berubah drastis. AS dan Eropa bersatu melawan Rusia, Tiongkok dan Rusia saling bergandeng tangan. Tetapi, PKT belum berani benar-benar merangkul Rusia, ia masih  ingin  menjaga kondisi “bertarung tapi tidak sampai merusak” dengan AS, dan masih berniat mendapatkan keuntungan darinya.

Di antaranya, AS sangat menyoroti masalah aliansi Tiongkok dengan Rusia. Dengan keras memperingatkan Beijing agar tidak memberikan bantuan konkret apa pun kepada Rusia. 

PKT memang tidak berani melanggar batas, tapi juga merasa tercekik, dan hendak melawan untuk menunjukkan “pamornya sebagai negara  besar”.  Dialog di telepon Xi Jinping dengan Putin, adalah satu alat/cara yang paling baik.

Melalui hal itu, Xi Jinping berusaha menunjukkan pembenaran kebijakannya terhadap Rusia, dan luasnya ruang strategis Tiongkok: 

Pertama, AS pernah berpikir untuk “menggandeng Rusia melawan Beijing”, tapi sudah tidak mungkin lagi lantaran meletusnya perang Rusia-Ukraina; 

Kedua dalam perang ini, kekuatan negara Rusia sangat terkuras, untuk berseteru dengan Barat Rusia harus bersandar pada Tiongkok, menjadikan dirinya sebagai saudara lebih muda, dominasi hubungan Rusia-Tiongkok harus diserahkan ke tangan PKT; 

Ketiga, karena perang ini, Uni Eropa terkena dampak cukup besar, dan terus merosot. PKT lebih di atas angin dalam hal hubungan antara Tiongkok dengan Eropa; 

Keempat, saat ini antara petinggi AS dengan Rusia tidak ada interaksi secara langsung, sedangkan interaksi antara Tiongkok dengan AS sangat intens, seperti  pertemuan  Menteri  Pertahanan pada 10 Juni lalu, kemudian disusul pada 13 Juni, Diplomat dan Wakil Pimpinan Nasional Yang Jiechi bertemu dengan Sullivan. 

Oleh sebab itu dalam hubungan segitiga antara AS-Tiongkok-Rusia, bisa dibilang PKT berada di posisi yang menguntungkan, membentuk kekangan yang efektif terhadap Amerika.

Kesimpulan

Dialog Xi dan Putin melalui telepon kali ini, telah direncanakan  dengan  seksama oleh Beijing. Tetapi, karena  memakai  kacamata yang berubah warna untuk melihat dunia ini, dan menanti perkembangan Perang Rusia-Ukraina, akibatnya telah mendorong dirinya sendiri ke dalam jebakan. Perang Rusia-Ukraina dan sikap Tiongkok terhadap Rusia, membuat masyarakat internasional semakin jelas melihat sifat asli PKT. 

Selain AS tidak mengurangi tekanannya terhadap Beijing yang membuat mereka tidak memiliki ruang untuk bernapas.  Bahkan Uni Eropa pun makin menjauh dari Tiongkok, sedangkan Jepang semakin jelas menyatakan tidak akan membiarkan  tragedi  Ukraina terulang di Asia, situasi PKT di dunia internasional semakin sulit.

Dialog telepon Xi Jinping dan Putin, dilihat dari konten beritanya, pada dasarnya hanyalah sekedar basa basi, bersandiwara, dan sekadar tontonan saja. (sud)