Revolusi Kelaparan yang Akan Datang: Saat Ini Rezim Iran Menghadapi Tantangan Terbesar

Catherine Perez-Shakdam 

Revolusi Iran mungkin terjadi karena kebutuhan yang sangat besar.  Bukan, seperti yang telah lama dikemukakan oleh para ahli, karena kerinduan akan perubahan demokratis.

Dan, meskipun bukan bertujuan mengatakan bahwa rakyat Iran tak merindukan kebebasan—mereka pasti menginginkannya—tetap benar bahwa kurangnya kepemimpinan di pihak oposisi mempersulit orang-orang untuk menemukan kohesi dalam perjuangan politik mereka. 

Untuk semua seruan  tentang perubahan, berbagai partai oposisi Iran telah gagal untuk mengambil hati dan pikiran rekan-rekan mereka, dengan menawarkan visi yang layak untuk ditantang oleh aparat keamanan rezim yang terkenal.

Tetapi, dengan kehati-hatian sejauh ini telah memaksa jutaan orang  menyembunyikan pembangkangan mereka, kelaparan mungkin terbukti menjadi motivasi yang  memaksa untuk diabaikan oleh orang-orang Iran, dan seolah-olah, seruan yang tidak mungkin dapat diutarakan oleh pasukan rezim, apalagi membendungnya.

Meningkatnya kebutuhan roti, atau lebih tepatnya, ketidakmampuan jutaan orang untuk membelinya, mungkin  segera menjadi gelombang yang menyapu jajaran kepemimpinan dan menghancurkan pondasi Republik Islam Iran. Jika massa mungkin tetap apatis di hadapan perintah politisi, menawar  ketidakpuasan mereka, betapapun besarnya, tidak melebihi risiko mobilisasi, prospek kelaparan, dan banyak kematian yang pasti menyertainya, mungkin memiliki cara  menggembleng kerumunan massa untuk beraksi. 

Rezim yang lebih besar sepanjang sejarah telah jatuh kepada realitas seperti itu—yang paling terkenal adalah kasus Revolusi Prancis 1789.

Meskipun para intelektual sering meromantisasi  Republik Prancis dengan menyatakan bahwa, Prancis berpikir untuk menemukan kembali dirinya sendiri yang bebas dari diktat monarki dan gereja, untuk menjadi anak revolusi dan Pencerahan. Sebenarnya, inflasi yang merajalela dan memuncaknya kelaparanlah yang memaksa para petani  mengacungkan garpu mereka untuk melawan raja.

Yang utama, ketika rakyat menjerit  gara-gara makanan—perubahan rezim hanyalah produk sampingan dari kemarahan rakyat, alat yang digunakan para ideolog untuk mengukir narasi politik mereka.

Contoh terbaru ditawarkan kepada kita di Tunisia pada 2011, ketika keputusasaan seorang pedagang kaki lima mengeluarkan raungan sedemikian besarnya, sehingga para pemimpin Arab tiba-tiba menemukan diri mereka berada di bumi yang tak rata, otoritas mereka dilawan tanpa banyak harapan akan penebusan politik.

Mohamed Bouazizi, seorang penjual buah berusia 26 tahun yang bakar dirinya memicu revolusi di Timur Tengah, bertindak bukan karena ideologi, tetapi karena keputusasaan ekonomi. Sebagai martir dari sistem  memangsa yang lemah, rasa sakitnya menjadi katalis dan simbol—elemen yang mendatangkan revolusi besar.

Roti akhir-akhir ini  menjadi pusat wacana publik Iran. Dan, meskipun orang-orang rezim  bekerja keras untuk membersihkan negara dari perbedaan pendapat, menggunakan represi dan indoktrinasi, kelaparan mungkin menjadi satu-satunya badai yang tak dapat mereka hadapi.

Lelah karena sanksi selama beberapa dekade, ekonomi Republik Islam sangat rentan terhadap fluktuasi pasar. Dan, jika peringatan para ahli ditanggapi dengan serius, kudeta dapat segera terjadi melalui kekurangan pangan global, penghinaan terhadap ekosistem sosial-ekonomi yang terbukti mustahil untuk diserap. 

Kelangsungan hidup rezim tetap terikat pada kemampuannya untuk menegosiasikan jalan keluar dari pencekikan keuangan, apalagi kesediaannya untuk mereformasi, oleh karena itu tekad pejabatnya untuk mencapai kesepakatan dengan Barat—walaupun cukup menarik, bukan dengan mengorbankan ambisi nuklir mereka.

Peter Sands, Direktur eksekutif the Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria, memperingatkan bahwa “Naiknya harga pangan dan energi, sebagian dipicu oleh perang di Ukraina, dapat membunuh jutaan orang baik secara langsung maupun tidak langsung,” demikian laporan Reuters baru-baru ini. 

“Kekurangan pangan terjadi dalam dua cara. Salah satunya adalah Anda memiliki tragedi orang yang benar-benar mati kelaparan. Tetapi kedua adalah Anda memiliki fakta bahwa seringkali lebih banyak orang yang kekurangan gizi, dan membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit yang ada,” kata Sands kepada Reuters dalam wawancara bulan Juni.

Sands tidak sendirian dalam penilaiannya, sejauh ini masalah tersebut memang sedang terjadi di kalangan masyarakat.

Pada April, Dana Moneter Internasional (IMF) membunyikan alarm, mencatat bahwa kombinasi tingginya inflasi dan masalah pasokan akan menempatkan ekonomi sangat rentan di bawah banyak tekanan. Dengan demikian, justru memperburuk kemiskinan.

Direktur departemen penelitian IMF, Pierre-Olivier Gourinchas, krisis tersebut terjadi bahkan ketika ekonomi global belum sepenuhnya pulih dari pandemi.  

“Bahkan sebelum perang [di Ukraina], inflasi di banyak negara  meningkat karena ketidakseimbangan supply-demand dan dukungan kebijakan selama pandemi, mendorong pengetatan kebijakan moneter. … Dalam konteks ini, di luar dampak kemanusiaan yang langsung dan tragis, perang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan inflasi. … Lebih jauh lagi, kenaikan harga pangan dan bahan bakar juga dapat secara signifikan meningkatkan prospek kerusuhan sosial di negara-negara miskin.”

Musim panas ketidakpuasan Iran baru saja dimulai. Apa yang terjadi selanjutnya berpotensi menyebabkan perombakan regional secara menyeluruh. (asr)

Catherine Perez-Shakdam adalah seorang analis politik Yahudi Prancis dan Rekan Peneliti di Henry Jackson Society. Seorang mantan konsultan Dewan Keamanan PBB untuk Ekonomi Perang Yaman, penelitiannya berperan penting dalam memahami lanskap politik Yaman dan kepentingan keuangan para aktor dengan lebih baik.