oleh Xiao Lisheng
Epochtimes.id- Para orangtua di Tiongkok umumnya berpendapat bahwa membesarkan anak bukan hal yang mudah. Akibat kejadian susu bubuk produksi dalam negeri mereka yang tercemar bahan melamin, banyak keluarga, bahkan keluarga pedesaan pun bersedia memilih susu bubuk formula asing.
Menurut sebuah penyelidikan baru-baru ini diketahui bahwa orangtua di Tiongkok menghabiskan 40 % penghasilan bulanan dari pasangan untuk membeli susu formula yang digunakan anak-anak mereka selama satu bulan. Hal lain yang menyebabkan ortu bertambah pusing adalah soal biaya les pelajaran dan perawatan kesehatan.
Media Tiongkok Caixin pada 2 November mempublikasikan laporan hasil pemantauan global dari Global Monitor, sebuah organisasi non pemerintah (NGO) pada 31 Oktober lalu tentang situasi konsumsi susu formula di 14 negara dan wilayah termasuk Inggris, AS, Tiongkok dan Hongkong.
Menurut laporan tersebut, biaya bulanan bayi menyusui di Hong Kong adalah yang tertinggi di dunia dengan nilai setara USD.304. Diikuti oleh Tiongkok Daratan sebesar USD.286, setara dengan 40 % penghasilan bulanan dari pasangan. Bahkan dengan formula termurah pun memiliki biaya bulanan sebesar USD.112. Masih lebih mahal dibandingkan dengan di Jerman yang tertinggi hanya USD.111
Laporan juga mengungkapkan, harga susu bubuk di Tiongkok mahal. Seperti susu bayi Aptamil platinum 1 kaleng ukuran 800 gram, di Inggris dijual sekitar USD. 17, Di Jerman sekatar USD. 24. Sedangkan di Tiongkok, dengan jumlah isi yang lebih sedikit tetapi harga lebih mahal dari harga jual di Inggris dan Jerman.
“15 tahun yang lalu, saya sudah memakai susu bayi impor untuk anak. Pada saat itu, susu bayi impor kalengan berukur 900 gram hanya RMB 148, dan yang produksi lokal Tiongkok berukuran 500 gram hanya RMB 20 lebih,” kata seorang ibu bermarga Tian di Beijing menuturkan kepada Epochtimes.
“Meskipun jauh lebih mahal, tetapi saya tetap memilih yang impor karena yang produksi dalam negeri tidak dapat diandalkan. Sekarang ini saya juga masih lebih memilih susu impor walau sudah kedaluwarsa,” tambahnya.
Ia mengenal seorang ibu dari balita berusia 4 tahun sekarang, ia selalu titip belanja susu dari Australia, bahkan sejumlah temannya juga melakukan hal sama. Mereka menemukan, harga barang yang sama jauh lebih mahal bila dibeli dari toko di Tiongkok.
Ibu ini mengatakan, harga jual susu bubuk dan barang-barang lainnya menjadi mahal itu ada alasannya. Ia memberi contoh apel yang dikirim dari Shaanxi ke Beijing, selain terkena tambahan biaya transpor normal, harga apel pun masih terbebani biaya denda kelebihan muatan yang berbeda-beda oleh polisi lalu lintas setiap propinsi.
Belum lagi biaya sewa stan yang mahal di Beijing, ongkos-ongkos administrasi dan sebagainya. “Jadi harga apel di hulunya Shaanxi yang hanya 2 sen menjadi belasan Yuan di hilirnya Beijing. Biaya di antaranya kedua kutub ini yang tinggi,” jelasnya.
Ibu Tian berpendapat bahwa hal serupa juga dialami susu bubuk dan barang lainnya. Ditambah lagi kolusi antar pejabat dan pengusaha, jadi perbedaan harga tinggi itu ditanggung oleh masyarakat.
“Polisi beroperasi di jalan dengan mengejar target denda uang, seperti halnya di Beijing, untuk mencapai target yang ditetapkan, polisi bisa mengenakan denda kepada masyarakat yang melanggar ketentuan dengan seenaknya. Saya sendiri pun pernah mengalaminya saat mengendarai sepeda motor,” keluh ibu Tian.
Selain harga susu bubuk mahal, orangtua yang balitanya mati karena susu terkontaminasi melamin pun sampai sekarang pun masih tidak berhasil menuntut haknya.
Tahun 2009, Guo Li sang ayah yang anaknya menjadi korban susu bubuk terkontaminasi malahan dijatuhi hukuman penjara 5 tahun oleh pengadilan atas tuduhan pencemaran nama baik yang dituduhkan perusahaan susu bubuk Yashili di Guangzhou.
Setelah mengajukan banding yang menelan waktu 9 tahun, Guo Li baru dinyatakan tidak bersalah melalui keputusan pengadilan pada 7 April 2017. Akhirnya Guo Li dan ibunya mendatangi kantor pusat Yashili di Guangzhou pada 26 September lalu untuk menuntut kompensasi sebesar RMB. 3juta yang dijanjikan perusahaan, tetapi mengalami pengusiran oleh anggota keamanan perusahaan.
Nona Wang dari Shaanxi kepada Epochtimes mengatakan, melihat para ibu khawatir dengan biaya susu bubuk, les pelajaran untuk anak-anak mereka, ia pun jadi bimbang apakah setelah berkeluarga nanti harus memiliki anak.
“Jika sudah memiliki anak tetapi kondisi keuangan saya tidak membaik, Rasanya saya juga tidak mau membeli susu bubuk produksi dalam negeri, lebih baik memelihara sendiri sapi yang air susunya bisa diperah untuk minum,” katanya.
Nona Wang yang kelahiran era 80an ini bergaul dengan sejumlah ibu yang sudah memiliki anak, sehingga ia sering mendengar keluhan mereka tentang mahalnya biaya membesarkan anak. “Ada ibu yang ingin memiliki anak kedua, tetapi mereka tidak sanggup membiayainya,” katanya.
“Selain susu bubuk yang mahal, biaya les pelajaran juga melebihan beban kesanggupan orangtuanya,” tambahnya.
“Ingin membesarkan seorang anak di Tiongkok, orangtua perlu memiliki dana simpanan sedikitnya ratusan ribu Yuan,” lagi ungkap Tian.
Sekarang guru di sekolah tidak mengajar secara serius, lebih memilih minta murid ikut les pelajaran. “Sekarang berbeda dengan masa lalu, murid yang rajin belajar sekalipun mesti ikut les agar bisa mengikuti pelajaran. Tidak ada orangtua yang membiarkan anaknya ketinggalan, bukan ?”
Seorang ibu bermarga Li dari kota Wuhan saat diwawancara media Xinhua tahun 2016 mengatakan, putri sulungnya yang ikut serta les piano, figure skating, kelas Conversation bahasa Inggris, ekstra kurikuler taekwondo saja setahun menghabiskan biaya hampir 200.000 Yuan.
Nona Wang mendengar berita mengejutkan yang disampaikan temannya mengatakan : “Sekarang, sekolahan juga menyediakan ‘meja kecil untuk makan’ yang dikelola beberapa guru untuk makan siang murid-muridnya, tetapi murid-murid dipaksa ikut dan harus membayar sejumlah dana tertentu.”
Nona Wang yang karena menuntut hak dan dijebloskan ke dalam tahanan selama 8 hari karena bertepatan berlangsungnya Kongres Nasional ke 19 mengatakan, baik orangtua dan anak-anak di Tiongkok sangat kasihan.
Para orangtua harus mencari uang demi menutupi biaya hidup yang terus meningkat, sedangkan anak-anak harus bekerja keras untuk menyelesaikan PR yang setumpuk. Ia yakin bahwa ini semua gara-gara sistem otoriter kediktatoran dan kebijakan yang tidak pro rakyat.
“Katanya reformasi, makin direformasi rakyat makin tidak mampu membayar biaya perawatan kesehatan. Begitu pula reformasi di bidang pendidikan katanya, murid sudah tidak perlu membayar uang iuran sekolah, tetapi biaya les berapa kali lebih besar dari uang iuran?”
“Coba Anda lihat para pejabat PKT yang korup itu, berapa banyak anak di luar nikah mereka ? Sedangkan rakyat Tiongkok untuk membesarkan 2 orang anak saja setengah mati,” protes ibu itu. (Sinatra/asr)
Sumber : epochtimes.com
ErabaruNews