Suatu Negara Eksis Selamanya Asalkan Pewarisan Budayanya Berkesinambungan

Guo Yaorong

Pemimpin tertinggi Tiongkok Xi Jinping ketika menerima Presiden Amerika Serikat Trump pada November lalu di Kota Terlarang, Beijing pernah membahas Tiongkok dan Mesir dua peradaban kuno, saat itu Trump menyebutkan bahwa budaya Mesir yang paling kuno memiliki sejarah 8.000 tahun, namun Xi Jinping menegaskan bahwa pada akhirnya yang bisa terwariskan hingga kini hanyalah Tiongkok.

Para ahli menunjukkan, Mesir kuno, Babilonia, India dan Tiongkok, empat negara berperadaban kuno ini akhirnya hanyalah Tiongkok yang berlanjut hingga saat ini, kuncinya terletak pada budaya, kepercayaan dan moralitas yang berkesinambungan.

Komentator aktual NTDTV Zhao Pei ketika diwawancarai menyatakan, orang Tiongkok dikatakan sebagai orang Tiongkok adalah, dikarenakan moralitas dan budaya tradisionalnya.

Dinasti Tang pernah mendefinisikan apakah yang disebut orang Tiongkok itu, karena di saat itu ada seorang bangsa Arab bertandang ke Tiongkok hanya untuk mengikuti ujian kesarjanaan.

Seluruh jajaran pejabat sipil dan militer kekaisaran merundingkan apakah orang Arab tersebut lantas bisa dipandang sebagai orang Tiongkok dan bolehkah ia mengikuti ujian dan menjadi pejabat? Kemudian mereka mendefinisikannya sebagai orang Tiongkok.

Ini karena meskipun penampilan luarnya berbeda dengan orang di daratan Tiongkok pada umumnya, namun ia memiliki sebuah “hati orang Tiongkok”, ia mempelajari prinsip-prinsip Konfusius dan Mencius serta menyetujui nilai-nilai ‘kebajikan, keadilan, tata krama, kearifan dan integritas’ serta moralitas dalam budaya tradisional Tionghoa.

Adapun mengapa empat Negara bersejarah kuno hanyalah Tiongkok yang masih bertahan? “Itu disebabkan budaya dan kepercayaan yang tidak terputus dan bukan karena dinastinya tidak berubah”.

Kenyataannya, nama Negara selama dinasti-dinasti masa lalu sudah berkali-kali berganti, namun orang Tiongkok dinasti Qin (221 – 207SM) dan orang Tiongkok zaman sekarang meskipun jalan pikirnya terdapat banyak perbedaan namun dalam sistemik pemikiran dan budayanya tidak berubah.

“Tak peduli warganegara Kanada, AS atau dari Negara manapun, asalkan ia mengakui nilai-nilai terksebut maka dia adalah orang Tiongkok; sebaliknya orang-orang di daratan Tiongkok yang mengusung revolusi ala Komunisme, ia dipastikan bukan orang Tiongkok,” ungkap Pei.

Kriteria di atas adalah pengakuan dinasti Tang; Zhao Pei menunjukkan, kemudian dinasti Qing (1636 – 1912, dikenal juga sebagai Dinasti Manchu dan adalah satu dari dua ‘dinasti asing’ yang memerintah di Tiongkok setelah dinasti Yuan Mongol dan juga adalah dinasti yang terakhir di Tiongkok juga berpedoman seperti itu.

Orang etnis Manchu tidak sependapat yang disebut dengan ‘perbedaan Manchu dan Han (suku mayoritas di daratan Tiongkok)’ mereka beranggapan bahwa mereka setuju dengan ajaran Konfucius, Mencius dan juga berprinsip: ‘kebajikan, keadilan, tata krama, kearifan dan integritas’, maka itulah definisi orang Tiongkok dan dapat menjadi kaisar yang berkuasa di Tiongkok, dari zaman ke zaman, Tiongkok adalah selalu demikian.

Suatu bangsa itu terutama mengandalkan pada prinsip: kepercayaan, moralitas dan budaya untuk keberlangsungannya dalam mempertahankan kesatuan bangsanya”, orang Tiongkok tak peduli berasal dari zaman apapun, yang mereka yakini adalah tata krama Zhou yang diwarisi sejak zaman Tiga Penguasa dan Lima Kaisar (yang kemudian disebar-luaskan oleh Konghucu/Konfucius).

Selanjutnya Zhao Pei mengambil contoh bangsa Yahudi, Negara Yahudi sudah musnah ribuan tahun mengapa mereka masih bisa bertahan? Kuncinya terletak pada keberlangsungan cara hidup dan kontinuitas budaya orang Yahudi.

Dasar pembentukan negara terkait dengan tradisi dan moralitas

Berbicara tentang hubungan Bangsa dan Negara, Zhao Pei berpendapat bahwa dasar pembentukan suatu negara, sama dengan “moralitas yang diwariskan turun temurun”, hal itu terkait dengan tradisi dan moralitas dari bangsa tersebut, sebagai contoh Amerika Serikat, di dalam Dasar Negaranya yang tertuang dalam “Deklarasi Kemerdekaan.”

Deklarasi Amerika Serikat ini adalah Negara yang didirikan atas dasar Hak Asasi Manusia, penguasa memiliki hak berkuasa, jikalau penguasa menindas dan menganiaya rakyat yang dia kuasai maka rakyat boleh mengangkat senjata melawan tirani.

Prinsip-prisnip di atas ini adalah moralitas dan tradisi Amerika Serikat, hingga ke Lincoln yang berbicara tentang milik rakyat, kuasa rakyat, kenikmatan rakyat dan Amandemen hak asasi manusia, oleh sebab itu faham moralitas dan tradisi demikian itu selalu disempurnakan.

Bagi Tiongkok, Sun Yat-sen mengemukakan Tri Sila (San Min Zhu Yi), ini adalah moralitas dan tradisi ROC (Republik Of China) sejak 1912, menjelaskan ingin mendirikan negara seperti apakah, mengemukakan bagaimana mempraktikkan demokrasi termasuk tiga tahapannya yakni pemerintahan militer, pembinaan politik dan pemerintah konstitusional.

Pada akhirnya direalisasikan secara konkrit oleh Chiang Kai-shek, dengan mendirikan Negara Republik beserta Tri Sila sebagai landasan negara dan mentaati moralitas dan tradisi dengan mendirikan Taiwan sebagai model dasarnya, termasuk presiden serta berbagai tingkatan departemen pemerintahan semuanya sesuai dengan paham moralitas dan tradisi yang selangkah demi selangkah dikonsolidasikan, ‘hasil moralitas dan tradisi yang tersisa hanya di Taiwan (bukan di RRT)’.

Zhao Pei mengatakan, adapun demokrasi hanyalah sebuah bentuk kekuasaan saja, di masa lalu setiap dinasti Tiongkok juga memiliknya. Namun hanya dipraktikkan dalam lingkup kecil saja, sebagai contoh sistem kabinet dinasti Ming, beberapa sarjana jika memiliki pandangan berbeda mereka juga melakukan voting, setelah itu meringkas pandangannya lalu dilaporkan kepada kaisar.

Lebih jauh Zhao Pei menambahkan, demokrasi itu tidaklah sakral. Budaya, moral dan kepercayaan suatu bangsa yang bisa diwariskan itulah baru sakral, bagi sebuah negara yang paling penting adalah moralitas dan tradisi.

“Negara itu adalah Negara yang bagaimanakah, mengalami sistem apakah baru bisa melanjutkan moralitas dan tradisi, ini adalah kunci dari sebuah Negara dan demokrasi itu hanya cara penggunaannya, inilah hubungan dari Bangsa, Negara dan Demokrasi,” simpulnya. (LIN/WHS/asr)