Mengapa Korea Utara Tidak Memiliki Pilihan Selain Menghentikan Uji Coba Nuklir?

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un telah mengumumkan pada 20 April bahwa negara tersebut akan menghentikan uji coba nuklir dan peluncuran rudal. Mengapa diktator tersebut tiba-tiba memutuskan tunduk pada tuntutan internasional untuk denuklirisasi setelah uji coba nuklir meningkat sepanjang tahun lalu?

Seorang blogger Tiongkok yang sudah lama dan sering mengomentari berita ekonomi domestik, dengan nama samaran Manzu Yongshi, menulis artikel pada 23 April, menjelaskan bahwa berbaliknya arah rezim tersebut mungkin berkaitan dengan perdagangannya yang menurun drastis dengan Tiongkok sebagai akibat dari tekanan internasional, sedang mengancam kelangsungan hidupnya.

Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Korea Utara. Menurut data dari Bank Korea, perdagangan Korea Utara dengan Tiongkok mencapai 63 persen dari total perdagangannya pada 2007. Pada 2013, persentase itu meningkat menjadi 89,1 persen. Meskipun ada sanksi dari masyarakat internasional, Tiongkok meningkatkan perdagangannya dengan rezim, kata blogger tersebut. Banyak kebutuhan seperti minyak dan obat-obatan diimpor dari Tiongkok, sementara rezim Korea Utara terutama mengekspor batubara ke Tiongkok.

Setelah 2013, karena uji coba nuklir Korea Utara yang berlanjut, Amerika Serikat dan negara-negara lain memperkuat sanksi mereka terhadap Korea Utara. Dengan demikian, perdagangan antara Tiongkok dan Korea Utara sedikit menurun, tetapi masih tetap pada skala $5,06 miliar hingga akhir tahun 2017, menurut data pabean resmi Tiongkok.

alasan korea utara lakukan denuklirisasi
Situs uji coba nukler Pungye-Ri, Korea Utara, 20 April 2018. Kereta api pertambangan dan struktur baru hadir di tumpukan limbah galian pertambangan Portal Barat. (DigitalGlobe / 38 Utara via Getty Images)

Karena dukungan keuangan Tiongkok yang terus berlanjut, Korea Utara tidak terhalang oleh sanksi internasional dan bahkan dengan berani melanggarnya, Manzu Yongshi mencatat.

Sebuah laporan rahasia AS baru-baru ini menemukan bahwa pada tahun 2017, Korea Utara telah melanggar sanksi untuk mendapatkan hampir $200 juta dalam ekspor komoditas terlarang.

Pada November 2017, Presiden AS Donald Trump mulai menekan rezim Tiongkok untuk menindaklanjuti sanksi-sanksi PBB untuk menghukum Korea Utara. Departemen Keuangan AS telah memberlakukan sanksi-sanksi terhadap sejumlah perusahaan Tiongkok yang melakukan bisnis dengan Korea Utara di dalam pelanggaran sanksi-sanksi sebelumnya. Bank of Dandong milik Tiongkok diputus dari sistem keuangan AS karena keterlibatannya dalam pencucian uang untuk Korea Utara.

Tiongkok juga mulai menutup bisnis Korea Utara di dalam batasan-batasannnya dan telah menginstruksikan bank-bank untuk berhenti melakukan bisnis dengan pelanggan-pelanggan Korea Utara.

Perbatasan yang sibuk antara Tiongkok dan Korea Utara tersebut telah menjadi sepi.

Bersamaan hubungan AS-Tiongkok yang sedang memburuk di bawah ketegangan perdagangan baru-baru ini, Tiongkok tidak lagi ingin menyinggung Amerika Serikat pada masalah Korea Utara, tulis blogger itu.

Maka, perdagangan antara Tiongkok dan Korea Utara menurun drastis.

Pada kuartal pertama tahun ini, menurut data pabean resmi Tiongkok, total perdagangan antara Tiongkok dan Korea Utara turun menjadi $483 juta, dibandingkan dengan $1,2 miliar pada kuartal yang sama tahun lalu. Itu mewakili penurunan 60,2 persen. Ekspor Tiongkok ke Korea Utara juga turun 86 persen.

Mengikuti tren tersebut, perdagangan antara Tiongkok dan Korea Utara akan jatuh ke sekitar $1,5 miliar untuk seluruh tahun 2018. Korea Utara kemungkinan akan kehilangan banyak barang yang diandalkan dari Tiongkok untuk disediakan. Ini kemungkinan apa yang telah memaksa Kim Jong Un untuk menyerah, Manzu Yongshi menyimpulkan.

Beberapa anggota parlemen AS skeptis bahwa Kim akan menepati janjinya, meskipun demikian, pada saat yang sama Kim telah menggambarkan senjata nuklirnya sebagai “pedang berharga” dalam pengumuman tentang rencana denuklirisasi, menurut laporan Fox News. (ran)

ErabaruNews