Amerika Jadi Target Operasi Kekacauan dan Subversi Ideologis

Oleh Joshua Philipp

Beberapa operasi yang diluncurkan oleh Rusia selama pemilu 2016 sekarang telah terungkap. Meskipun tidak ada bukti bahwa Rusia telah mempengaruhi hasil akhir pemilihan tersebut, namun target dan sifat operasinya terkait dengan beberapa bentuk subversi ideologis yang lebih dalam yang sedang dimainkan di Amerika Serikat.

Pemerintah Rusia mendorong kelompok-kelompok di Amerika Serikat di keduanya “sayap kiri radikal” dan “sayap kanan ekstrim,” dengan tujuan yang lebih dalam menggerakkan ide atau tindakan yang cenderung menyebabkan perpecahan melalui masyarakat Amerika dan memperluas persepsi rasisme dan konflik.

Namun Rusia hanyalah salah satu dari banyak pemain di bidang ini. Beberapa kelompok lain, termasuk kepentingan khusus, aktivis politik, dan bahkan outlet-outlet berita utama, telah memberi mesin persepsi palsu yang menciptakan gambaran kekacauan dan ketidakstabilan konstan di dalam masyarakat.

Tujuan dari kekacauan tersebut adalah untuk meruntuhkan masyarakat, menghancurkan harmoni sosial, dan membuat orang saling menyerang. Dari keadaan kacau, kebijakan-kebijakan baru dapat diciptakan, kekuasaan dapat berpindah tangan, dan berbagai kelompok dengan agenda ekstrim dapat menggunakan alat-alat ini untuk memajukan ambisi mereka.

Untuk memahami konsep ini, saya telah melanjutkan diskusi saya dengan James Scott yang dimulai pada 26 Juni tentang sifat dari operasi-operasi pengaruh dan perang psikologis. Scott adalah ahli keamanan siber dan informasi peperangan yang telah menyarankan kongres dan komunitas intelijen tentang topik ini dan membantu membangun Institut Teknologi Infrastruktur Kritis untuk Pusat Studi Operasi-operasi Pengaruh Siber.

Scott mengatakan bahwa untuk operasi-operasi yang saat ini dijalankan di Amerika Serikat, “kekacauan adalah operasi tersebut.”

Operasi-operasi pengaruh Rusia yang telah terungkap hanyalah kelanjutan dari program-program serupa kembali ke era Soviet Rusia, ketika Uni Soviet mencoba menyebarkan “revolusi komunis.”

Selama Perang Dingin dan kebuntuan nuklir, Soviet memahami bahwa perang secara langsung tidak layak, dan karena itu mereka beralih ke subversi ideologis, taktik yang dimaksudkan untuk mendemoralisasi (meruntuhkan moral) masyarakat dan menuntunnya ke ketidakstabilan, lalu membuka konflik, kemudian “normalisasi” (menganggap normal) untuk invasi atau perang sipil.

Menurut Scott, ini adalah “maskirovka Rusia,” penipuan militer untuk membingungkan intelijen Barat, dan dalam bentuknya saat ini, taktik-taktik yang digunakan oleh Rusia dan kelompok lain tersebut telah melampaui apa yang ada pada zaman Uni Soviet.

“Mereka telah belajar banyak dari kita sejauh seperti komponen revolusi warna untuk kudeta,” kata Scott. “Kita memiliki masalah di sini tentang Rusia yang mencoba melakukan ini, [dan] Tiongkok [dan] Ikhwanul Muslimin, sebagai bagian dari kekhalifahan siber mereka, dan kemudian kita memiliki ancaman orang dalam yang dengki dalam bentuk kelompok minat khusus yang memiliki minat dalam mengaduk kekacauan.”

Model “revolusi warna” terkait dengan taktik miliarder dan pemodal Demokrat George Soros. Model ini menggunakan strategi “di atas” dan strategi “di bawah”. Untuk bagian “di bawah”, dukungan keuangan diberikan kepada organisasi radikal untuk memprotes dan mengadvokasi perubahan, dan untuk bagian “di atas”, para politisi yang terkait dengan penggunaan sistem yang memproduksi perbedaan pendapat untuk mengusulkan kebijakan-kebijakan baru.

“[Berbicara] tentang revolusi warna, jika Anda mencari warna ungu dan Anda lihat siapa yang memakainya, apa yang disiarkan, apa tempat kejadiannya, Anda akan melihat bahwa memang ada upaya revolusi ungu di negara ini,” Kata Scott.

Ini juga memakai taktik-taktik dari “front persatuan” komunis, yang dirancang untuk menyatukan gerakan-gerakan advokasi, organisasi-organisasi mahasiswa, perusahaan-perusahaan baris depan, dan para politisi yang dikendalikan di bawah satu spanduk. Seringkali, hanya para pemimpin organisasi yang perlu menyadari strategi yang lebih luas, sementara yang lain adalah apa yang digambarkan Lenin sebagai “para idiot yang berguna” yang tanpa sadar membantu dalam tujuan-tujuan yang lebih besar.

Tentu saja, masalah-masalah saat ini di masyarakat tidak dapat dilihat oleh persepsi konvensional tentang “sayap kanan” dan “sayap kiri,” atau Demokrat dan Republik. Di sisi lain dihasilkan dengan inflasi dan ekonomi-ekonomi utang, subversi asing, dan taktik-taktik propaganda Edward Bernays untuk memberi makan apa yang digambarkan Scott sebagai “fetishisme (pemuasan nafsu) konsumen.”

Di atas semua ini, Scott mencatat bahwa di era digital, “kita memiliki masalah sekarang dengan kapitalis-kapitalis pengawasan dalam pencarian terkoordinasi untuk menjebak.” Perusahaan-perusahaan online yang dapat mengumpulkan informasi apa yang kita tunjukkan dan mengumpulkan data atas aktivitas-aktivitas online kita telah mulai terlibat dalam berbagai bentuk propaganda dan penyensoran, membentuk apa yang disebut Scott sebagai “sebuah badan sensor negara kolektif.”

Banyak dari gerakan ini bekerja secara mandiri tetapi juga belajar dari metode dan taktik masing-masing. Banyak aktivis dan “para pengorganisasi komunitas” menerapkan metode mereka dari buku “Rules for Radicals” oleh Saul Alinsky, yang juga mencerminkan taktik-taktik subversi dan penipuan dari sistem-sistem komunis.

Yang lainnya memakai taktik-taktik Marxis budaya dari Sekolah Frankfurt, yang memperkenalkan konsep subversif seperti “teori kritis” yang mengubah sejarah melalui lensa Marxisme, dan itu telah menjadi dasar dari banyak gerakan-gerakan sosial radikal.

Beberapa taktik juga dioperasikan pada tingkat negara. Rusia adalah salah satu yang lebih dikenal melakukan ini, tetapi Iran dan Partai Komunis Tiongkok (PKT) juga sangat aktif dalam hal ini.

Tentara Pembebasan Rakyat PKT, misalnya, memiliki doktrin “Tiga Peperangan”, berdasarkan strategi perang psikologis (untuk mengubah bagaimana informasi dipersepsikan agar dapat diterima secara sadar), perang media (untuk mengontrol narasi media), dan perang hukum (untuk memanipulasi sistem-sistem hukum internasional). Dua kolonel Tiongkok menerbitkan buku “Unstricted Warfare,” yang menguraikan sistem perang tanpa moral, dan yang menggunakan banyak taktik non militer, termasuk “perang budaya,” “perang narkoba,” “perang bantuan ekonomi,” dan lain-lain.

Menurut Scott, salah satu taktik propaganda yang lebih dalam adalah penggunaan “memetika.” Konsep memetika melihat bagaimana ide diperkenalkan ke dalam masyarakat, bagaimana ide-ide itu berkembang dari waktu ke waktu, dan bagaimana mereka akhirnya memengaruhi budaya. Berbagai kelompok mencari untuk menggunakan memetika sebagai senjata.

“Apapun yang punya arti penting juga dapat digunakan sebagai senjata,” kata Scott. “’Meme’ adalah tahap embrio informasi. Ini adalah paket mikro dari informasi yang didistribusikan, dan ini adalah senjata. Ini adalah bahan ampuh dalam operasi-operasi pengaruh, perang informasi, perang psikologis digital. Kita melihat banyak potensi di dalam bidang ini.”

Scott mengatakan bahwa dalam karyanya sendiri di Pusat Studi Operasi Pengaruh Cyber, “kita mengajarkan Komunitas Intelijen bagaimana menggunakannya untuk menyebarkan demokrasi, bagaimana menggunakannya untuk mendapatkan pengaruh di luar negeri tanpa harus mengangkat senjata.”

Mengingat bagaimana segala sesuatu sedang berkembang, dan gambaran yang lebih besar dari keadaan dunia saat ini, dia berkata, “Saya pikir sebuah pikiran adalah medan perang baru.” (ran)

ErabaruNews