Kronologi Kekalahan ISIS di Teritorial Terakhir Saat Pertempuran Suriah Timur

Oleh Reuters

Epochtimes.id- Kelompok teroris ISIS menghadapi kekalahan di teritorial terakhir ketika pasukan Suriah yang didukung AS melawan para jihadis mengatakan pada Sabtu (3/3/2019). Lokasi ini mendekati benteng terakhir jihadis di dekat perbatasan Irak, membatasi empat tahun masa perang.

Setelah jatuhnya Baghouz, sebuah desa Suriah timur di tepi Sungai Eufrat, akan menandai tonggak penting dalam kampanye global melawan ISIS. Walaupun demikian, mereka tetap menjadi ancaman, menggunakan taktik gerilya dan menguasai sejumlah tanah terpencil lebih jauh ke barat.

Sejumlah perlawanan dari pasukan lokal maupun internasional, berhadapan dengan ISIS setelah negara itu mendeklarasikan “kekhalifahan” modern pada 2014 silam. Ketika itu ISIS menguasai sebagian besar wilayah dalam serangan kilat di Suriah dan Irak.

ISIS telah kehilangan ibu kota kembarnya Mosul dan Raqqa pada 2017 silam. Ketika wilayah kekuasaannya terus menyusut, ribuan teroris, pengikut dan warga sipil mundur ke Baghouz. Selama beberapa minggu terakhir, warga telah keluar dari sekelompok kecil dusun dan lahan pertanian di provinsi Deir al-Zor dengan menahan serangan terakhir.

Pada Jumat (1/3/2019) malam, pasukan Pasukan Demokrat Suriah (SDF) mengatakan warga sipil yang tersisa telah dipindahkan. Pasukan SDF kembali melanjutkan serangannya hingga para jihadis berhasil dikalahkan.

Kolom asap hitam naik dari bagian kecil terakhir dari wilayah yang dipegang oleh teroris ISIS ketika para pejuang yang didukung AS menghantam daerah itu dengan tembakan artileri dan serangan udara sesekali, seperti terlihat dari luar Baghouz, Suriah, pada 3 Maret 2019. (Sarah El-Deeb / AP)

“Kami berharap ini akan segera berakhir,” kata Mustafa Bali selaku juru bicara SDF kepada Reuters tak lama setelah matahari terbit ketika SDF maju di dua front menggunakan persenjataan sedang dan berat.

Kantor berita SDF melaporkan, pertempuran berlanjut setelah matahari terbenam. Dilaporkan, terjadi pemboman besar-besaran dari pesawat tempur. Komandan SDF, Adnan Afrin mengatakan ISIS lalu membalasnya dengan drone dan roket hingga mengakibatkan tujuh pejuang SDF  terluka.

SDF sebelumnya memperkirakan ratusan teroris – yang sebagian besar diyakini orang asing – masih berada di Baghouz, dan koalisi internasional pimpinan AS menggambarkan mereka sebagai teroris “paling keras”.

Langkah maju pasukan SDF diperlambat selama berminggu-minggu oleh penggunaan terowongan dan tameng manusia dari para jihadis. Tidak mengesampingkan kemungkinan sejumlah teroris telah merangkak keluar dan bersembunyi di antara warga sipil.

Situasi yang Rumit

Seorang juru bicara koalisi, yang mendukung SDF yang dipimpin Kurdi, mengatakan masih terlalu dini untuk menilai kemajuan pertempuran “karena ini adalah situasi yang rumit dengan banyak variabel.”

Panglima SDF mengatakan pada Kamis (28/2/2019) bahwa pasukannya akan mengumumkan kemenangan dalam waktu seminggu.

Amerika Serikat memiliki sekitar 2.000 tentara di Suriah. Pasukan ini bertujuan mendukung SDF dalam memerangi ISIS. Trump mengumumkan pada Desember lalu bahwa ia akan menarik pasukan AS dengan jatuhnya kelompok ekstremis. Trump menuturkan bulan lalu bahwa sekitar 400 tentara akan tetap di wilayah itu untuk memastikan ISIS tidak akan dapat kembali berkumpul.

Para penyintas Yazidi disambut oleh penduduk Sinuni setelah pembebasan mereka dari kelompok teroris ISIS di Suriah, di Sinuni, Irak, pada 1 Maret 2019. (Fahed Khodor / Reuters)

Sekitar 40.000 orang yang memiliki berbagai kebangsaan telah meninggalkan wilayah jihadis yang semakin berkurang dalam tiga bulan terakhir. Ini setelah SDF berusaha untuk mengusir para teroris dari wilayah kantong yang tersisa.

Jumlah pengungsi yang keluar dari Baghouz melampaui perkiraan awal tentang berapa banyak warga yang bertahan. Afrin mengatakan kepada Reuters pada bahwa banyak orang yang meninggalkan daerah kantong itu telah berlindung di bawah tanah di dalam gua dan terowongan.

Di antara warga sipil ada banyak anak-anak. Beberapa telah direkrut atau diperbudak oleh para jihadis, sementara yang lain orang asing dibawa oleh orangtua mereka untuk dibesarkan di bawah kekuasaan ISIS.

Seorang janda Indonesia berusia 27 tahun yang keluar dari terowongan pada Jumat (1/3/2019) mengatakan dia ingin tinggal di wilayah ISIS tetapi mengakui bahwa kondisinya yang dialaminya membuat dirinya tak dapat bertahan.

“Saya tidak punya uang, saya tidak punya makanan untuk bayi saya, tidak ada obat, tidak ada apa-apa untuk bayi saya, jadi saya harus keluar,” katanya kepada Reuters. (asr)

Oleh Ellen Francis via The Epochtimes