Pemerintah Taiwan Mengecam Hong Kong Yang Menolak Kedatangan Praktisi Falun Gong

EpochTimesId – Otoritas Hong Kong mencegah 68 warganegara Taiwan dan satu warganegara Jepang untuk masuk ke Hong Kong untuk menghadiri pawai akhir pekan lalu, meskipun mereka semua telah memperoleh visa yang valid sebelum naik ke pesawat terbang yang ditumpanginya.

Pihak berwenang Hong Kong memerintahkan mereka untuk kembali ke negara masing-masing.

Mereka adalah praktisi Falun Gong, latihan spiritual yang ditindas di Tiongkok Daratan. Mereka pergi ke Hong Kong – bekas koloni Inggris yang kini berada di bawah kedaulatan Tiongkok – untuk menghadiri pawai pada tanggal 27 April 2019 yang menyerukan rezim Tiongkok untuk menghentikan penganiayaan yang sedang berlangsung terhadap Falun Gong.

Latihan meditasi Falun Gong, juga dikenal sebagai Falun Dafa, mengajarkan serangkaian ajaran moral berdasarkan pada Sejati, Baik dan Sabar.

Pada tahun 1999, jumlah praktisi Falun Gong di Tiongkok tumbuh sekitar 100 juta, menurut perkiraan otoritas Tiongkok. Khawatir popularitas Falun Gong akan mengancam kekuasaan Partai Komunis Tiongkok, pemimpin Partai Komunis Tiongkok saat itu Jiang Zemin melancarkan kampanye untuk membasmi latihan Falun Gong, di mana terjadi penahanan massal, kerja paksa, cuci otak, dan penyiksaan terhadap praktisi Falun Gong.

Tanggapan Otoritas Taiwan

Sementara presiden Taiwan Tsai Ing-wen menghadiri upacara peletakan batu pertama untuk taman teknologi di kota Taoyuan pada tanggal 29 April 2019, seorang wartawan Epoch Times meminta komentar Tsai Ing-wen mengenai insiden tersebut.

“Saya pikir apa yang menimpa warganegara Taiwan adalah kasus yang khas, bahwa warganegara Taiwan diperlakukan secara berbeda saat bepergian ke negara lain,” kata Tsai Ing-wen dalam tanggapannya.

Praktisi Falun Gong pada pawai mengecam 20 tahun penindasan rezim Tiongkok terhadap keyakinan spiritual mereka, di Hong Kong pada tanggal 27 April 2019. (Li Yi / The Epoch Times)

Sementara itu William Lai Ching-te, mantan ketua Legislatif Yuan, badan legislatif satu kamar Taiwan, mengutuk pihak berwenang Hong Kong atas tindakan mereka, dalam wawancara pada tanggal 29 April 2019 dengan cabang penyiar independen NTD cabang Asia-Pasifik.

“Teman-teman Falun Gong kami ditekan di Hong Kong ketika mereka berusaha pergi ke sana dan menggunakan hak mereka untuk kebebasan berbicara. Masyarakat internasional kita harus melihat kasus ini dengan jelas, bahwa kita semua perlu mendukung kebebasan berbicara di Hong Kong, dan mendukung Falun Gong,” kata William Lai Ching-te.

Chiu Chui-cheng, wakil menteri Dewan Urusan Daratan Taiwan, agen utama yang berurusan dengan hubungan lintas selat, mengatakan kepada NTD dalam wawancara pada tanggal 27 April 2019: “Kami sangat mendesak pemerintah Hong Kong untuk menegakkan hak-hak beradab bagi warganegara Taiwan yang mengunjungi Hong Kong dengan dokumen resmi.”

Hong Kong menikmati otonomi relatif, dengan pemerintahan administratif yang terpisah. Tetapi banyak warga Hong Kong percaya bahwa sejak Hong Kong diserahkan dari Inggris pada tahun 1997, Beijing telah memperketat cengkeramannya pada urusan kota Hong Kong dan melanggar kebebasan dasar.

Juga akhir pekan ini, pada tanggal 28 April 2019, sekitar 130.000 warga Hong Kong berpartisipasi dalam pawai dan demonstrasi untuk menentang amandemen yang diusulkan terhadap undang-undang ekstradisi kota yang akan memungkinkan tersangka kriminal dikirim ke Tiongkok Daratan.

Mengingat rezim Tiongkok mengabaikan aturan hukum, penduduk, kelompok bisnis, dan kelompok hak asasi internasional di Hong Kong menyatakan keprihatinannya bahwa perubahan tersebut memungkinkan Beijing untuk menuntut dan mengekstradisi para pengritiknya dengan bebas dari hukuman.

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen juga mengomentari pawai anti-ekstradisi tersebut: “Pawai ini mengungkapkan bahwa ‘satu negara, dua sistem’ bukanlah solusi yang diinginkan atau diterima warga Hongkong. Taiwan tidak mungkin menerima‘ satu negara, dua sistem,” kata Tsai Ing-wen.

“Satu negara, dua sistem” dirumuskan oleh mantan pemimpin Partai Deng Xiaoping, ketika Hong Kong pada tahun 1997 dan Makau pada tahun 1999, bekas koloni Portugis, dikembalikan ke kedaulatan Tiongkok. Di bawah konsep itu, Beijing menetapkan bahwa selama 50 tahun ke depan, Hong Kong dan Makau akan beroperasi di bawah sistem ekonomi dan administrasinya sendiri, sementara Tiongkok Daratan akan terus diperintah di bawah otoritarianisme komunis.

Baru-baru ini, Beijing telah berulang kali mengumumkan niatnya untuk memerintah Taiwan di bawah pengaturan yang sama; ia menganggap pulau di dalam wilayahnya, meskipun Taiwan menjadi negara de-facto dengan pemerintah, mata uang, dan militer yang dipilih secara demokratis.

69 Oran Asing Dicegat di Bandara Hong Kong

Pada tanggal 26 April 2019, 33 praktisi Falun Gong asal Taiwan tiba di bandara Hong Kong dengan visa yang sah. Tetapi bea cukai Hong Kong tidak mengizinkan mereka masuk, tanpa memberikan alasan. Mereka dikembalikan ke Taiwan.

Sehari setelahnya, 35 praktisi Falun Gong asal Taiwan juga ditolak masuk dan dipaksa naik pesawat kembali ke Taiwan. Dan seorang warganegara Jepang yang juga adalah praktisi Falun Gong bernama Zhang Jun juga ditolak memasuki Hong Kong pada saat kedatangan pada tanggal 25 April 2019.

Ibu Ting mengatakan kepada Epoch Times berbahasa Mandarin bahwa ia dipaksa untuk kembali ke Taiwan pada tanggal 27 April 2019: “Inspektur bea cukai Hong Kong menatap saya dengan ekspresi aneh [setelah memindai paspor saya] … Ia memberitahu saya bahwa kebijakan Hong Kong memberinya hak untuk mencegat saya memasuki Hong Kong, meskipun saya punya visa.”

Ibu Ting mengatakan ia yakin namanya berada dalam daftar hitam yang telah disusun pemerintah Hong Kong untuk mencegah orang-orang yang kritis terhadap rezim Tiongkok memasuki Hong Kong.

Zhang Jun mengatakan kepada reporter The Epoch Times Tokyo pada tanggal 28 April 2019 bahwa ia bertanya kepada inspektur bea cukai Hong Kong alasan penolakan masuk, dan diberitahu: “Paspor anda memiliki beberapa masalah.” Ketika ia meminta perincian lebih lanjut, inspektur tersebut berkata: “Saya tidak boleh membiarkan anda memasuki Hong Kong.”

Mereka semua berada di Hong Kong untuk pawai memperingati peringatan 20 tahun aki damai massal oleh para praktisi Tiongkok daratan di Beijing. Tidak peduli pada permohonan para praktisi Falun Gong, rezim Tiongkok meluncurkan penganiayaannya pada bulan Juli 1999.

Menurut situs web Minghui.org yang berpusat di Amerika Serikat, yang berfungsi sebagai tempat klarifikasi fakta mengenai berita penganiayaan Falun Gong, 4.296 praktisi Falun Gong dipastikan telah meninggal dunia akibat dianiaya. Jumlah praktisi Falun Gong yang meninggal dunia sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi, karena sulitnya mendapatkan informasi sensitif dari Tiongkok.

Insiden Masa Lalu

Ini bukan pertama kalinya otoritas Hong Kong tidak mengizinkan praktisi Falun Gong masuk ke kota Hong Kong.

Pada bulan Juli 2017, setidaknya 43 praktisi Falun Gong asal Taiwan yang pergi ke Hong Kong untuk pawai peringatan yang sama dicegat setelah mendarat di bandara Hong Kong dan dipulangkan kembali ke Taiwan. Petugas keamanan dan polisi Hong Kong menahan mereka selama berjam-jam di kantor imigrasi, menyisir barang bawaan mereka, dan menginterogasinya secara individual.

Praktisi Falun Gong menunjukkan dokumen perjalanan yang sah. Mereka juga tidak diberi penjelasan resmi mengapa mereka ditolak.

Tahun 2007 adalah untuk pertama kalinya pihak  berwenang di Hong Kong tidak mengizinkan lebih dari 100 praktisi Falun Dafa asal Taiwan memasuki Hong Kong. (Nicole Hao/ Vv)

VIDEO REKOMENDASI

https://www.youtube.com/watch?v=svsbNh0w8CM

https://www.youtube.com/watch?v=CJmtVKz1BS0