Jumlah Jenazah Naik Berlipat Ganda, Kremasi Dilakukan Sampai Tengah Malam Setiap Harinya

oleh Luo Tingting

Insiden skorsing terhadap 3 orang staf Rumah Duka Shanghai masih terus memanas. Seorang anggota staf rumah duka mengungkapkan bahwa sejak 1 April, rumah duka mengkremasi jenazah hingga pukul 00.00 tengah malam setiap harinya, karena jumlah kematian COVID-19 meningkat sampai dua kali lipat dari periode yang sama tahun lalu. Informasi ini telah menimbulkan tanda tanya besar tentang seberapa besarnya jumlah korban tewas di Shanghai terutama sejak lockdown ketat demi merealisasikan “Nol kasus infeksi” digelar otoritas.

Pada 21 April, akun Weibo resmi Komisi Pengawasan Disiplin Kota Shanghai memberitakan bahwa pada 14 April, rumah duka di Distrik Jiading menolak memberikan layanan penanganan jenazah dengan alasan demi pencegahan dan pengendalian epidemi. Sekretaris cabang partai dan direktur rumah duka, yakni Lu Jianliang, telah mendapat peringatan, dan wakil direktur Tao Jie dan Jiang Yiqing namanya telah dimasukkan ke dalam daftar investigasi oleh Komisi Pengawasan Disiplin Kota Shanghai.

Pada 22 April, seorang anggota staf dari Dinas Kependudukan Shanghai memposting di Internet bahwa dia ingin mencoba untuk meluruskan masalah. Menurut pendapatnya, itu besar kemungkinan hanya karena kesalahpahaman mengenai beban tugas dari staf rumah duka di Distrik Jiading.

Menurut artikel tersebut, Mr. Gu seorang lansia yang merupakan tokoh budaya, istrinya  meninggal dunia seminggu sebelumnya. Setelah menghubungi rumah duka di distrik, karena miskomunikasi sehingga timbul beberapa perbedaan pendapat dalam soal proses kremasi.

Insiden itu jadi memanas akibat Mr. Gu menulis materi dan mengirimkannya ke grup di sosmed. Namun, pimpinan dari rumah duka meminta maaf kepada Mr. Gu melalui sambungan telepon. Dia juga menyatakan bahwa masalah ini sudah dianggap selesai sehingga tidak perlu diperpanjang lagi, sedangkan staf terkait di rumah duka juga telah dikenakan hukuman. Namun, setelah media mempublikasikan insiden tersebut, Komisi Inspeksi Disiplin jadi turun tangan, sehingga ketiga staf rumah duka itu mendapat hukuman.

Namun, inti dari artikel yang menimbulkan masalah adalah bahwa anggota staf rumah duka telah “membuka aib pihak yang berwenang” tentang : Sejak 1 April, semua staf rumah duka tidak bisa pulang selama 24 jam, karena jumlah orang yang meninggal meningkat sampai 2 kali lipat dari periode yang sama tahun lalu, sehingga kremasi jenazah terpaksa berlangsung sampai pukul 00.00 tengah malam setiap harinya. Tugas yang berat ini semata untuk mempertahankan dan supaya operasi kota tetap bisa berjalan normal.

Informasi ini telah menarik perhatian publik secara luas. Qin Peng, seorang komentator urusan terkini yang tinggal di Amerika Serikat, dalam pesannya di Twitter menyebutkan : Sebelum kasus COVID-19 merajalela, jumlah orang yang meninggal di Kota Shanghai setiap tahunnya sekitar 115.000 orang. Sekarang, 700 orang yang meninggal setiap hari, jadi ketambahan 10.000 kematian dalam sebulan.

Ada juga netizen Weibo yang mempertanyakan : Rumah duka di Shanghai bukan hanya ini lho ! Jadi informasi ini sangat penting. Pada tahun 2021, jumlah kematian per hari di Shanghai sekitar 380 kasus. Dengan asumsi ini dapat kita nilai bahwa sejak bulan April, jumlah tambahan kematian per hari mencapai setidaknya 300 kasus atau bahkan lebih. Jadi jumlah ini dalam sebulan bisa mencapai sepuluh ribu.

Netizen lain bertanya : “Sebagaimana yang diberitakan oleh pihak berwenang Shanghai bahwa jumlah orang yang meninggal dunia akibat gelombang baru epidemi COVID-19 di Shanghai tidak melebihi 50 kasus. Padahal jumlah kematian per hari di Shanghai pada tahun 2021 adalah sekitar 382 kasus. Sedangkan sejak 1 April, staf rumah duka harus bekerja siang dan malam karena jumlah kremasi jenazah naik dua kali lipat dari periode yang sama tahun lalu. Bolehkah saya bertanya : Dari mana jenazah yang jumlahnya sampai naik 2 kali lipat itu berasal ?

Netizen yang menggunakan nama ‘Patrick200402’ menulis : Sejak lama sudah ada yang mengingatkan bahwa lockdown ketat di Shanghai dan menghentikan layanan medis normal di rumah-rumah sakit, dapat berdampak negatif terhadap pasien non-COVID-19 yang membutuhkan konsultasi medis secara reguler. Itu dapat menimbulkan  bencana sekunder yang sulit diprediksi. Tampaknya keluhan staf rumah duka di Shanghai itu telah mengkonfirmasi adanya hal itu …

Sudah lebih dari sebulan sejak otoritas Shanghai menerapkan lockdown ketat, jumlah infeksi tetap tinggi. Sejauh ini total warga yang didiagnosis terinfeksi COVID-19 telah mencapai lebih dari 400.000 orang. Namun, laporan resmi yang tercatat hingga 21 April, jumlah kematiannya hanya sebanyak 36 kasus. Shanghai ​​yang berpenduduk sekitar 26 juta jiwa dengan jumlah kematian per bulannya yang 9/100.000 tentunya sulit dipercaya oleh para ahli.

Ben Cowling, seorang profesor di School of Public Health di University of Hongkong mengatakan kepada ‘Vice’, sebuah media baru di AS bahwa statistik resmi di Shanghai jelas tidak mencerminkan skala kematian sebenarnya di daratan Tiongkok. “Mana mungkin dapat mengurangi keparahan sampai tingkat seperti itu dengan tanpa melibatkan intervensi”.

Misalnya, dalam 28 hari terakhir terdapat 137.000 orang di Singapura yang terinfeksi COVID-19, di mana sekitar 547 di antaranya meninggal dunia.

BBC mengutip analisis Jin Dongyan, seorang ahli virologi dan profesor Departemen Biokimia Sekolah Kedokteran Li Ka Shing di Universitas Hongkong, memberitakan bahwa pihak berwenang Shanghai sekarang mengakui bahwa ada kematian, yang mungkin hanya demi pembenaran diri mereka sendiri, karena tidak masuk akal kalau tidak ada kematian. Tetapi angka-angka yang dirilis mereka sejauh ini mungkin hanya bagian kecil dari besarnya jumlah yang terus ditutup-tutupi. (sin)