Globalisasi Bermetamorfosis Menjadi Great Reset : Akhirnya Menjadi Momok Dunia

He Qinglian

Surat kabar Inggris, Financial Times pada 23 Juni lalu memublikasikan artikel dari salah seorang pengamat ekonominya, Martin Wolf yang berjudul The Big Mistakes of the Anti-Globalisers, yang memaparkan 7 kesalahan besar nyata maupun fiktif. 

Ada pendapat yang riil eksis tapi tidak salah, ada yang bersifat asumsi, ada pula yang salah kaprah. Yang terpenting adalah, ia sama sekali telah menghindari sebuah fakta di mana aliansi sayap kiri di Barat telah meningkatkan globalisasi (Globalization) menjadi the Great Reset. 

Artikel ini akan membahas satu per satu secara saksama ketujuh kesalahan dalam artikel Wolf tersebut, dan menjelaskan “jalur pelayaran baru” pada Great Reset adalah bencana bagi dunia.

Kesalahan pertama adalah hanya memelototi perdagangan — maksudnya adalah, di saat mendorong globalisasi ekonomi harus mendorong globalisasi politik, jika tidak maka itu adalah “kesalahan”. Kesalahan Wolf terletak pada dirinya yang mengira bahwa AS dan negara Barat lainnya selalu adalah benar.

Pada era 1990-an tak lama setelah globalisasi ekonomi, dipromosikanlah konten nilai-nilai universal seperti kebebasan, konstitusionalisme demokratis, HAM (Hak Asasi Manusia) dan lain sebagainya, seluruh dunia menyambut baik niat ini, walaupun mendorong “Revolusi Warna” dengan berkonten hal di atas, juga disambut sangat baik oleh negara-negara otoriter, karena Amerika pada waktu itu adalah negara paling top, selain memiliki hard power yang sangat kuat, masyarakat dunia juga memuja “soft power” (istilah soft power, pertama kali diciptakan oleh dosen Harvard University yakni Joseph Nye) yang dimilikinya.

 Yang dimaksud dengan soft power adalah, aspek kekuatan ketiga yang dimiliki oleh suatu negara selain kekuatan ekonomi dan militernya, terutama pengaruhnya di bidang budaya, nilai-nilai, ideologi, aspirasi rakyat dan lain sebagainya. 

Kebalikan dari hard power dimana “sebuah negara menggunakan kekuatan militer dan ekonomi atau kemampuan untuk membeli negara lain”, maka soft power adalah “kemampuan sebuah negara menarik simpati dan meyakinkan negara lain agar ikut dan mematuhinya”.

Kini 30 tahun telah berlalu, setelah “Arab Spring (musim semi Arab)” yang disambut oleh Barat pada 2011 itu telah berubah menjadi “Arab Winter”, Revolusi Warna akhirnya tamat riwayatnya. 

Aliansi sayap kiri yang dipimpin Partai Demokrat AS akhirnya berhasil mengaplikasikan keseluruhan pengalamannya akan Revolusi Warna yang didorongnya itu di dalam negerinya sendiri, dan telah sukses menerapkan sebuah “Revolusi Warna” bagi dirinya sendiri: Yakni politik identitas yang membedakan tingkatan hak berdasarkan warna kulit dan tuntutan ekonomi yang berlandaskan sosialisme (merah), lewat Pilpres 2020 telah diperlihatkan oleh AS pada dunia sebuah proses “pemretelan-demokratisasi” secara nyata, yang sepenuhnya sesuai dengan empat simbol “de-demokratisasi” menurut Charles Tilly (seorang ilmuwan sosiologi sejarah dan politik) dalam buku karya terhebatnya yang berjudul “Democracy” yakni: 

1. Memburuknya pemilu yang bebas dan adil, muncul fenomena dikendalikannya pemilu; 

2. Kebebasan berpendapat, pers bebas, dan hak bebas berorganisasi telah dikikis, kemampuan kaum oposisi menantang pemerintah telah dikikis menjadi lemah; 

3. Batasan hukum terhadap yudisial pemerintah dan birokrasi telah dilemahkan, independensi yudisial terancam; 

4. Pemerintah menciptakan atau secara berlebihan menekankan keamanan negara, untuk menciptakan semacam “perasaan krisis”.

Sebuah negara Amerika yang melalui Revolusi Warna sayap kiri seperti ini, yang dipromosikannya sudah bukan lagi nilai-nilai universal dan demokratisasi yang orisinil, melainkan budaya “progresivisme” yang menjadi obsesi mereka. 

Pada 28 April tahun ini, Menlu AS Antony Blinken mengumumkan: Telah dirilis suatu laporan publik pemerintah AS pertama yang dipublikasikan sepanjang sejarah, yang menunjukkan pekerjaan kami dalam hal mendorong HAM bagi homoseksual pria maupun wanita, biseksual, transgender, kalangan queer, dan juga kaum intersex (LGBTAI+) di seluruh dunia. Kami mendorong seluruh pemerintah di dunia agar bertindak bersama kami, mendukung pekerjaan para pembela HAM LGBTQI+ yang mulia dan tak kenal lelah.”

Tindakan pemerintah Biden ini dengan sendirinya tidak disambut baik. Satu proyek riset yang disebut World Values Survey (WVS) dari hasil surveinya dan kesimpulan dari berbagai pandangan menjelaskan, pada masalah pernikahan, keluarga, jenis kelamin, dan orientasi seksual, “perbedaan nilai-nilai arus utama antara negara yang berpendapatan rendah dengan negara yang berpendapatan tinggi kian lama kian besar.” 

Bahkan surat kabar New York Times dalam artikelnya yang berjudul “Globalization Is Over. The Global Culture Wars Have Begun” mau tidak mau juga mengakui, “Sekarang, jarak antara kita dengan tempat lain di dunia telah semakin jauh. Tapi hari ini sedang terjadi peristiwa yang lebih penting, sangat berbeda dengan konflik negara besar sebelumnya, sangat berbeda dengan Perang Dingin. Ini tidak hanya suatu konflik politik atau ekonomi. Tapi ini adalah suatu konflik politik, ekonomi, budaya, status, psikologis, moral, dan agama. Lebih konkrit lagi, ini adalah penolakan ratusan juta orang secara luas pada garis perang menghadapi prinsip tindakan Barat.”

Inti dari budaya Marxisme adalah menyatukan nilai-nilai seluruh dunia, saya meragukan apakah pemerintah Partai Demokrat AS menyadari bahwa dengan mendorong budaya LGBTQI ke seluruh dunia, adalah sebuah misi yang tidak mungkin dapat dirampungkan.

Untung dan Rugi Globalisasi Ekonomi

Menurut Wolf: “Kesalahan kedua para anti-globalisasi adalah menganggap bahwa era globalisasi adalah suatu bencana ekonomi”.

Pandangan seperti ini, belum pernah penulis jumpai di media massa. Jika ada yang mengatakan demikian, itu pasti adalah pandangan ekstrem yang salah. Dalam pernyataan pada umumnya, Tiongkok dan India bisa dibilang merupakan penerima manfaat terbesar dari globalisasi, dengan populasi total kedua negara yang mencapai 2,7 milyar jiwa, menjadikan keduanya sebagai negara yang melonjak jumlah penduduk dari kelas menengah. Beijing bahkan melahirkan banyak sekali kelas super kaya, jumlah konglomeratnya bersaing ketat dengan Amerika. Tiongkok menjadi negara ekonomi kedua terbesar dunia, warga Tiongkok dapat berkeliling dunia, semua itu adalah berkat globalisasi.

Wolf mengatakan: “Kesalahan ketiga yang dilakukan oleh para anti-globalisasi adalah menganggap negara yang berpendapatan tinggi (khususnya Amerika) ketidaksetaraan yang kian hari kian parah terutama adalah akibat dari perdagangan terbuka, atau setidaknya merupakan akibat yang pasti dari keterbukaan ini.”

Globalisasi ekonomi tidak hanya bidang perdagangan saja, juga ada investasi, pengalihan industri dari negara maju, tidak ada juga yang membatasinya pada perdagangan semata. 

Sekitar delapan tahun silam, ada ekonom yang melakukan riset serius berdasarkan banyak data ekonomi, yang menunjukkan salah satu akibat dari globalisasi ekonomi adalah pendapatan dalam negeri di negara maju membesar secara tidak setara. 

Pada Mei 2016 lalu, mantan ekonom senior Bank Dunia yakni Branko Milanovic dan dosen ekonomi Yale University yakni Profesor John E. Roemer menulis artikel di Harvard Business Review yang menjelaskan, dalam tren globalisasi ini, peningkatan pesat dua negara berkembang yakni Tiongkok dan India telah secara drastis menekan ketidaksetaraan dunia, tapi di dalam negeri banyak negara lainnya, kesenjangan kaya dan miskin justru semakin membesar. 

Dari 1988 hingga 2011, hampir tidak ada perubahan pendapatan kalangan keluarga kelas bawah di negara maju, kecepatan pertumbuhannya relatif lambat. Di sebagian besar negara, khususnya negara besar seperti India, Amerika, dan Rusia, kesenjangan kaya miskin di dalam negerinya bertambah parah. 

Sebuah kesimpulan pahit yang didapat dari riset berdasarkan data dalam jumlah besar: Walaupun perkembangan globalisasi dapat mendorong meningkatnya pendapatan dunia secara keseluruhan, dan pada taraf yang sangat besar menekan kesenjangan pendapatan secara global, tapi di saat yang sama juga memicu semakin buruknya ketidaksetaraan di dalam negeri. Akibat luapan ketidakpuasan yang dipicu ketidaksetaraan di dalam negeri tersebut, globalisasi mungkin akan dianggap telah menciptakan sebuah dunia yang semakin tidak adil.

Laporan dari Pew Research Center mengenai kelas menengah di AS juga telah membuktikan kebenaran kesimpulan tersebut. Di awal era 1950-an abad ke-20, kelas menengah mencapai sekitar 60% dari seluruh populasi di Amerika; namun pada 2013 keluarga kelas menengah di AS telah kurang dari setengah populasinya. 

Pada April 2016 lalu data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS melontarkan peringatan yang lebih keras: Pada 2015 terdapat 81,41 juta keluarga di seluruh AS, yang seluruh anggota keluarganya tidak bekerja ada 16,06 juta, atau sekitar 19,7%, ini berarti dari setiap lima keluarga di AS, ada satu keluarga yang seluruh anggota di dalam keluarga tersebut yang menganggur. Tidak sedikit kaum pekerja dan sebagian kerah putih di AS menganggap bahwa penyebab kondisi semacam ini adalah globalisasi, lapangan kerja yang beralih ke luar negeri, serta gelombang besar migrasi yang menguasai lapangan kerja.

Kesalahan keempat adalah, mendorong swasembada dan kemandirian yang lebih tinggi mungkin dapat melindungi ekonomi dengan biaya yang lebih kecil untuk tidak terkena dampak dari putusnya rantai pasokan beberapa tahun terakhir ini — Wolf mengatakan pandangan seperti ini adalah “salah”, itu karena kurangnya perasaan Wolf terhadap posisi negara pemasok energi dengan negara yang membutuhkan energi pasca perang Rusia-Ukraina. 

Saat ini karena negara Uni Eropa belum dapat menemukan alternatif yang sesuai untuk pasokan gas alam, maka hanya bisa mulai melakukan “Greenwashing”, yang dimaksud greenwashing adalah, negara Uni Eropa terus menyesuaikan kembali standarnya, sumber energi polusi yang tadinya telah dicampakkan keluar dari daftar sumber energi bersih, seperti nuklir, gas alam, batu bara, kayu bakar (atau serbuk gergaji) kini didaur ulang lagi ke dalam daftar energi bersih. Pemerintah Biden saat ini bahkan tengah menghapus tarif masuk bagi Tiongkok karena kurangnya pasokan barang dan melonjaknya inflasi.

“Kesalahan” Yang Diasumsikan Wolf

Kesalahan kelima adalah, menganggap perdagangan sebagai semacam kegiatan ekonomi tambahan — penulis tidak pernah melihat argumen semacam ini. Dia memberi contoh perdagangan dianggap tidak penting bagi AS, Ini kebalikan dari apa yang terjadi di Amerika Serikat saat ini. Amerika Serikat adalah negara konsumen terbesar di dunia, tetapi ekonomi Amerika adalah ekonomi hampa yang khas, tidak menghasilkan mayoritas produk konsumtif, terutama hanya mengandalkan impor. 

Beberapa tahun terakhir, AS telah menyumbangkan defisit perdagangan mencapai ratusan miliar dolar AS kepada seluruh dunia setiap tahunnya, seperti pada 2021 defisit perdagangan AS pertama kalinya melampaui USD 1,0784 Trilyun atau sekitar 5% dari total PDB Amerika. 

Tidak sedikit negara yang perekonomiannya ditopang oleh ekspor komoditas ke AS, dengan kata lain, Amerika membutuhkan berbagai produk yang dipasok negara lain, menghapus tarif masuk Tiongkok adalah untuk meningkatkan pasokan produk konsumtif sehari-hari.

Kesalahan keenam adalah berasumsi bahwa kita telah memasuki suatu era de-globalisasi yang cepat — Wolf telah melupakan satu hal, yang menjatuhkan vonis hukuman mati bagi globalisasi adalah pencetus ide The Great Reset — yakni pendiri Forum Ekonomi Dunia (WEF) Klaus Schwab. Dia menilai globalisasi sudah tidak mampu mewujudkan kendali terhadap dunia, oleh karena itu pada 3 Juni 2020 ketika pandemi COVID-19 sedang marak, ia buru-buru mengeluarkan artikel yang bersifat deklarasi ini, menyebut pandemi yang melanda seluruh dunia, telah memberikan peluang yang teramat baik untuk melakukan Great Reset, pemerintah setiap negara harus memanfaatkan sertifikat sehat pandemi untuk me-reset masyarakat.

Ini berarti menyatakan era globalisasi telah usai, digantikan dengan Great Reset yang akan tampil. Dalam pernyataan “Globalisasi tidak mati, bahkan mungkin belum tiba di ujung jalan. Tapi saat menentukan arah navigasi yang baru, kita harus menghindari ketujuh kesalahan besar ini”, yang dimaksud Wolf dengan “arah navigasi baru”, adalah Forum Ekonomi Dunia mengumumkan sasaran Great Reset. Oleh sebab itu, ia menilai de-globalisasi secara kilat adalah kesalahan, dan mencari pembuat kesalahan yang lain, adalah suatu kesalah-kaprahan.

Kesalahan terakhir adalah menganggap WTO adalah suatu kesia-siaan — ini adalah “kesalahan” yang dilakukan oleh banyak negara. Pada 2018, hakim agung asal Amerika Latin pada Badan Banding (Appellate Body, red.) WTO yakni Ricardo Ramirez-Hernandez telah mengakhiri masa jabatannya di WTO, dalam pidato perpisahannya ia mengatakan, WTO sedang dijerat mati secara perlahan, tapi “lembaga ini tak seharusnya mati lemas”. 

Beberapa tahun terakhir, karena tidak puas dengan mekanisme di WTO, telah menelurkan banyak kesepakatan kerjasama multilateral ekonomi, seperti pada 1 Januari 2022 lalu Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), sebagai kawasan perdagangan bebas terbesar di seluruh dunia meliputi 15 negara termasuk Tiongkok, Jepang, Korsel, Australia, dan Selandia Baru. Musuh lama AS yakni Iran dan Argentina sedang mengajukan bergabung dengan BRICS, dari yang asalnya lima negara akan segera menjadi tujuh negara. 

Semua itu bisa dikatakan mengikuti tren, karena WTO adalah lembaga yang dirombak dari Customs Union oleh Bill Clinton untuk mendorong globalisasi. Sekarang dunia unipolar dimana AS adalah dominan tunggal tengah berubah menjadi dunia multipolar, ditambah lagi dengan gerakan nonblok yang baru, dunia multipolar pun dengan sendirinya membutuhkan hubungan dagang multipolar juga.

Globalisasi ekonomi telah dimulai sejak era 1990-an, hingga kini telah berlangsung 30 tahun lamanya, walaupun terdapat berbagai masalah dan konflik, tapi siapa pun tahu bahwa globalisasi ekonomi adalah tren perkembangan dunia, tidak bisa menempatkan diri di luar tren ini. 

Namun, kekuatan Great Reset yang ambisius justru memanfaatkan umat manusia yang tengah mengalami bencana pada masa pandemi ini, memandang Great Reset sebagai versi upgrade dari globalisasi,dan mencoba membangun sebuah New World Order, berusaha menempatkan bersama negara yang berbeda budaya dan agama, berupaya menggunakan program energi hijau, menciptakan “kuota emisi karbon” yang tadinya tidak ada, membuat negara yang membutuhkan energi meminta uang dari negara pemasok energi, yang tentunya menuai resistensi yang kuat; pemerintah Prancis, Kanada, dan Amerika Serikat berusaha mengatur kembali hak warganya dengan sertifikat vaksin, yang semakin menyulut pertentangan dan protes dari warganya sendiri. 

Kini pemerintahan Biden sebagai CEO dari Great Reset mempunyai pemikiran absurd, ia hendak menjadikan budaya LGBTQI yang dicintai Partai Demokrat itu sebagai nilai universal untuk dipromosikan pada seluruh dunia, dan membuat orang-orang transgender tersebar di seluruh dunia, hal ini hanya bisa dikatakan sebagai suatu eksperimen utopia yang membahayakan seluruh dunia. (sud)