Pandangan Pakar tentang Niat Otoritas Moneter Tiongkok Memangkas Suku Bunga Pinjaman Demi Menyelamatkan Pasar

 oleh Zhang Ting

Untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan mengatasi krisis real estate, pada  Senin (22 Agustus) Bank Sentral Tiongkok menurunkan suku bunga pinjaman acuan untuk rumah tangga dan bisnis. Apakah langkah ini dapat menyelamatkan kondisi pasar yang sedang turun ? Para ekonom mengungkapkan beberapa alasan mengapa kebijakan moneter Tiongkok tidak mampu mengatasi hambatan ekonominya.

Ekonom bahkan berpendapat bahwa penurunan suku bunga pinjaman acuan sesungguhnya “berdampak nol” pada lintasan ekonomi dan real estat.

“People’s Bank of China” selaku Bank Sentral Tiongkok pada hari Senin mengumumkan penurunan suku bunga pinjaman acuan (LPR). LPR 1 tahun diturunkan dari 3,7% menjadi 3,65%, LPR 5 tahun diturunkan dari 4,45% menjadi 4,3%. Diantaranya, LPR lebih dari 5 tahun berhubungan langsung dengan suku bunga KPR, penyesuaian ini akan mempengaruhi cara perhitungan dan besaran angsuran KPR.

Terakhir kali bank sentral menurunkan LPR 1 tahun adalah pada bulan Januari tahun ini, dan terakhir kali menurunkan LPR 5 tahun adalah pada bulan Mei tahun ini.

Pakar : Pasar perumahan mengalami krisis kepercayaan, kebijakan moneter tidak dapat menyelesaikan faktor hambatan ekonomi

Wall Street Journal yang mengutip analisis beberapa ekonom melaporkan bahwa, penurunan suku bunga mungkin tidak banyak membantu menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Para peminjam potensial di Tiongkok umumnya khawatir bahwa jika wabah menyebar lagi, kehidupan sehari-hari masyarakat dapat saja terganggu. Apalagi dengan latar belakang pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja di Tiongkok yang sedang memburuk, mereka tentu khawatir terhadap prospek mereka sendiri. Dan, ini yang menjadi faktor tidak bisa mendongkrak kenaikan permintaan pinjaman.

Julian Evans-Pritchard, ekonom senior “Capital Economics” di Singapura, mengatakan bahwa para debitur tidak akan dalam waktu singkat merasakan efek dari penurunan suku bunga, tetapi hilangnya kepercayaan masyarakat pada pasar properti dan kebijakan “Nol Kasus Infeksi” yang diterapkan Partai Komunis Tiongkok juga menjadi faktor yang melemahkan permintaan pinjaman.

“Ini adalah faktor hambatan yang tidak dapat dengan mudah diatasi cuma dengan kebijakan moneter”, tulis Julian Evans-Pritchard dalam sebuah catatan penelitian kepada kliennya pada hari Senin.

Reuters melaporkan bahwa Sheana Yue, ekonom Tiongkok di “Capital Economics” juga menyampaikan sentimen serupa. Sheana Yue mengatakan bahwa kesan yang diperoleh dari semua pengumuman bank sentral baru-baru ini adalah, pemerintah telah memberlakukan kebijakan yang lebih longgar, tetapi ini saja tidak cukup. Karena melemahnya permintaan pinjaman itu sebagian bersifat struktural, yang mencerminkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pasar perumahan, dan ketidakpastian dari berulang kalinya penguncian / lockdown karena kebijakan “Nol Kasus”. Hal-hal ini tidak dapat dipecahkan dengan hanya mengandalkan kebijakan moneter.

Xing Zhaopeng, ahli strategi senior tentang Tiongkok di “ANZ” mengatakan, penyesuaian LPR diperlukan, “tetapi tidak cukup untuk merangsang permintaan pendanaan”. Dia memprediksikan bahwa bank sentral bisa saja kembali melakukan pemangkasan suku bunga acuan untuk pinjaman yang 1 tahun. 

Ekonom “Goldman” juga memperkirakan bahwa akan ada lebih banyak pelonggaran diterapkan pemerintah dalam rangka merangsang pertumbuhan ekonomi.

 “Ini adalah ujian bagi pembuat kebijakan”, katanya.

Namun, para ekonom juga mengungkapkan bahwa potensi efek limpahan (spillover effects)dari harga pangan yang lebih tinggi dan kebijakan moneter yang lebih ketat di pasar negara maju, bisa saja membuat Bank Sentral Tiongkok tidak terburu-buru untuk lebih lanjut menurunkan suku bunga pinjaman.

Bloomberg sebelumnya pernah melaporkan bahwa banyak perusahaan atau rumah tangga enggan meminjam dana dari perbankan, sebagian besar karena kekhawatiran atas ketidakpastian tentang PPKM karena COVID-19 di daratan Tiongkok. Langkah-langkah lockdown ketat telah memukul bisnis, menghentikan produksi dan lenyapnya lapangan kerja, pendapatan masyarakat jadi merosot dan laba perusahaan anjlok. Belum lagi banyak perusahaan terpaksa mengesampingkan rencana untuk ekspansi.

Apa pendapat dari kebanyakan ahli ekonomi ?

Menurut CNBC, Atilla Widnell, Direktur Pelaksana “Navigate Commodities” mengatakan dalam sebuah laporan bahwa langkah-langkah pelonggaran / stimulus moneter baru yang didorong oleh kebutuhan mendesak ekonomi Tiongkok untuk menaikkan tingkat konsumsi masyarakat dianggap tidak efektif.

Mengenai penurunan suku bunga kali ini, David Chao, ahli strategi untuk kawasan Asia Pasifik dari perusahaan manajemen investasi “Invesco” mengatakan, bahwa hal tersebut secara tidak langsung mencerminkan parahnya penurunan pasar perumahan di daratan Tiongkok.

Dia juga menilai penurunan suku bunga pinjaman yang diumumkan bank sentral tidak cukup untuk meningkatkan likuiditas.

“Ini merupakan pesan kuat tentang para pembuat kebijakan Tiongkok bersedia mengambil tindakan yang lebih kuat untuk menolong pasar yang sedang mengalami kesulitan”, tulisnya dalam sebuah catatan.

“Tetapi hanya mengandalkan pelonggaran likuiditas saja tidak cukup mampu memperbaiki kondisi pasar perumahan yang sedang lesu”, tambah Chao.

Dia menambahkan bahwa suku bunga untuk KPR yang rendah selama ini ternyata tidak terbukti mampu mendongkrak kenaikan pasar real estat Tiongkok. “Itu karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan pengembang besar dan model pra-penjualan yang berlaku di Tiongkok”, tambah Chao. 

“Para pembuat kebijakan Tiongkok mungkin perlu menerapkan lebih banyak tindakan non-tradisional, atau bahkan semacam intervensi, untuk memulihkan kepercayaan di pasar perumahan”, tuturnya.

Clifford Bennett, Kepala ekonom “ACY Securities” mengatakan bahwa penurunan suku bunga memiliki dampak nol terhadap lintasan ekonomi saat ini dan sektor real estat. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok tak terelakkan lagi.

CNN mengutip informasi dari para analis memberitakan bahwa masyarakat umumnya sudah memperkirakan otoritas akan menurunkan suku bunga, terutama setelah ada pemangkasan suku bunga lainnya pekan lalu.

Beberapa ahli mengatakan bahwa fokus utama pada hari Senin tertuju pada penurunan LPR periode 5 tahun ke atas yang lebih besar dari perkiraan sebelumnya. Hal ini mencerminkan suatu isyarat tentang kekhawatiran rezim Beijing terhadap semakin parahnya krisis perumahan. LPR dengan jangka waktu lebih dari 5 tahun memang cocok untuk pinjaman berjangka panjang seperti KPR.

“Semua ini berkaitan langsung dengan real estat. Karena sektor real estat saat ini merupakan hambatan terbesar dalam perekonomian Tiongkok” tulis Larry Hu, Kepala ekonom tentang Tiongkok di “Macquarie Group Limited” dalam sebuah catatan.

Sektor real estat yang selama ini telah dijadikan sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi di Tiongkok kini sedang menghadapi keruntuhan karena pengembang properti berjuang untuk mengatasi beban utang sangat berat yang membebani ekonomi domestik. Penghentian pekerjaan konstruksi sehingga proyek menjadi terbengkalai telah memicu protes dan penghentian pembayaran angsuran KPR di beberapa provinsi dan kota di Tiongkok. Hal mana memperparah keruntuhan kepercayaan konsumen.

Krisis properti yang menggelinding kian membesar seperti bola salju sejak krisis pembayaran utang pengembang properti raksasa China Evergrande tahun lalu. Harga perumahan di Tiongkok jatuh, seperti halnya penjualan rumah barunya.

Pekan lalu, “Country Garden”, perusahaan pengembang terbesar di Tiongkok berdasarkan jumlah penjualan, menyebutkan dalam sebuah artikelnya, bahwa laba perusahaan semester pertama tahun ini telah mengalami penurunan sebanyak 70% YoY.

“Goldman Sachs” telah menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB Tiongkok tahun 2022 menjadi 3,0% dari perkiraan sebelumnya yang 3,3%. Angka ini jauh di bawah target pemerintah Tiongkok yang sekitar 5,5%. Sementara “Nomura” menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB Tiongkok menjadi 2,8% dari perkiraan sebelumnya yang 3,3%.

Selain menurunkan suku bunga, rezim Beijing juga telah meluncurkan serangkaian langkah stimulus lainnya, seperti Dewan Negara Tiongkok mengeluarkan 33 metode untuk menstabilkan ekonomi pada Mei tahun ini, terutama yang melibatkan potongan pajak, pengurangan biaya, dan peningkatan subsidi. Tetapi sejauh mana efektivitasnya juga dipertanyakan oleh para ekonom.

Iris Pang, Kepala Ekonom “ING Bank” mengatakan kepada Al Jazeera bahwa sebenarnya langkah-langkah stimulus yang diperkenalkan oleh otoritas Tiongkok tidak kecil. Setidaknya 3,76% dari PDB tahun 2022, tetapi pengaruhnya akan tergantung pada sejauh apa keparahan dari pembatasan terhadap wabah.

Carsten Holz, seorang ahli ekonomi Tiongkok di “Universitas Sains dan Teknologi Hongkong” berpendapat bahwa langkah-langkah stimulus ekonomi itu akan menjadi sia-sia jika PPKM ketat tetap berlanjut.

“Pemotongan pajak, retur pajak, penangguhan pembayaran kontribusi jaminan sosial bagi warga sipil itu semua tidak akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, kecuali uang kelebihan yang berada di tangan masyarakat dapat digunakan oleh mereka, yang mana hal itu menjadi tidak mungkin karena PPKM ekstrem. Lagi pula masyarakat juga tidak mungkin membelanjakan uangnya dalam kondisi ketidakpastian penghasilan, hilangnya lapangan kerja dan seterusnya”, tambah Carsten Holz. (sin)