Sedikitnya 5 Warga Lhasa Tibet Tewas Bunuh Diri Akibat Lockdown Ekstrem Selama Lebih 50 Hari

oleh Lin Yan

Lhasa, Daerah Otonomi Tibet sudah mendekati rekor penutupan kota terpanjang (2 bulan) yang dipegang oleh Shanghai pada tahun ini. Laporan dari kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa setidaknya ada 5 orang warga bunuh diri dengan melompat dari gedung.

Sebagian besar Lhasa telah ditutup selama 50 hari, bahkan ketika kasus positif COVID-19 yang dikonfirmasi sudah menurun tajam di wilayah Tibet pada Jumat 30 September, dari puncaknya yang 900 kasus pada bulan Agustus menjadi hanya 72 kasus, lockdown ketat masih terus dilaksanakan.

International Campaign for Tibet (ICT), sebuah organisasi hak asasi manusia yang berbasis di Washington pada 29 September menerbitkan sebuah laporan yang menyebutkan bahwa kebijakan Nol Kasus pemerintah pusat yang tidak manusiawi adalah alasan di balik serentetan kasus bunuh diri di Lhasa baru-baru ini. Dan, ini juga menjadi bukti mahalnya biaya sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan yang diusung Xi Jinping.

Mengutip dari sumber-sumber lokal, laporan itu menyebutkan bahwa di Lhasa dan daerah sekitarnya, setidaknya 5 orang warga telah melakukan bunuh diri dengan melompat dari gedung tempat isolasi terpusat atau gedung apartemen yang diblokir.

[Pihak berwenang] belum menerapkan solusi yang berguna untuk memperbaiki kondisi penguncian dan karantina yang keras”. Warga Tibet telah mengalami “kesulitan yang amat sangat” akibat kebijakan pencegahan epidemi yang ekstrem. Tulis laporan itu.

“Kekeliruan yang dibuat Beijing dalam manajemen pencegahan epidemi di Tibet mengungkapkan bahwa manusia harus membayar harga yang super mahal ketika polisi yang otoriter menempatkan sensor dan kontrol sosial di atas kesejahteraan rakyatnya”. Demikian menurut ICT.

Terlepas dari meningkatnya biaya sosial dan ekonomi dari kebijakan Nol Kasus, pihak berwenang Tiongkok telah menjadikan kebijakan ini sebagai pedoman utama dalam menanggapi epidemi, dan menerapkannya sebagai kebijakan yang harus diikuti oleh semua jajaran pemerintahan.

Selain itu, tahun ini adalah tahun transisi di lingkaran kekuasaan tingkat tinggi PKT. Kongres Nasional ke-20 akan diadakan pada bulan Oktober. Sampai saat ini, jumlah kota atau daerah yang terkena penguncian jauh lebih banyak daripada kapan pun selama wabah mulai berkecamuk.

Bahkan negara-negara lain di dunia telah memilih untuk hidup berdampingan dengan virus dan memulai produksi dan kehidupan normal, Tiongkok menjadikan dirinya  semakin terisolasi.

Laporan ICT mengatakan bunuh diri terjadi antara 23-24 September. Salah satunya berada di lapangan olahraga yang sementara ini berdiri rumah sakit darurat untuk menampung pasien yang dikonfirmasi. Seorang pria melompat dari atap bangunan yang digunakan untuk karantina. Beberapa adegan yang direkam video dari sudut yang berbeda mengkonfirmasi kejadian tersebut, termasuk satu rekaman menunjukkan ada sekelompok orang yang mengelilingi jenazah, menjaga jarak dengan petugas yang mengenakan pakaian pelindung.

Yang lain melompat dari atap universitas yang mempelajari pengobatan Tibet, yang digunakan sebagai tempat karantina massal. Sekitar 50 orang mengelilingi jenazah tersebut setelah kejadian.

Kementerian luar negeri Tiongkok menyebutkan pada Jumat bahwa pihaknya tidak tahu menahu soal kasus bunuh diri di Lhasa. Mereka berusaha menutupi kejadian demi membela kebijakan pencegahan epidemi ekstrem.

Pada 17 September, wakil walikota Lhasa meminta maaf atas kekurangan makanan dan minimnya fasilitas di tempat-tempat isolasi, dan berjanji akan memperbaikinya. Tapi masalah tidak juga membaik walau janji sudah tersebar, keluhan dan tuntutan permintaan bantuan warga tidak bersurut. Antara 7 Agustus hingga 26 September, hotline layanan publik Lhasa menerima 92.000 panggilan telepon yang minta kiriman makanan, obat-obatan dan lainnya. Jumlah panggilan telepon ini lebih banyak dari jumlah yang diterima sepanjang tahun lalu. Para pejabat Lhasa mengatakan dalam briefing hari Selasa bahwa lebih dari 90% dari hotline tersebut terkait dengan kebijakan penguncian yang ekstrem.

Para pejabat mengatakan bahwa mereka mulai melonggarkan pembatasan wabah sejak pekan lalu. Tetapi seorang wanita warga Lhasa yang namanya tidak ingin disebutkan mengatakan kepada reporter Bloomberg bahwa pihak berwenang hanya omong kosong. Banyak daerah, termasuk daerah tempat dirinya tinggal, tetap terkunci sehingga hingga saat ini dia tidak bisa meninggalkan rumahnya.

Dia juga mengatakan bahwa dirinya telah melihat video rekaman di media sosial tentang kasus bunuh diri di Lhasa. Meskipun dia tidak mengenal para korban, orang-orang Lhasa sekarang menghadapi tekanan keuangan yang serius karena penguncian telah berlangsung lama dan semua orang tidak dapat bekerja.

Dia mengatakan, tekanan keuangan dan trauma dikurung dalam rumah atau dipaksa tinggal di pusat isolasi mungkin berkontribusi pada keputusasaan.

Sebelum wabah ini, Tibet hanya melaporkan satu kasus yang dikonfirmasi tertular COVID-19  pada awal tahun 2020. Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok telah menyatakan keprihatinan tentang kemampuan Tibet untuk menangani patogen dan telah mengirim para ahli kesehatan dari Beijing.

Selain itu, di daerah etnis minoritas seperti Tibet dan Xinjiang, pihak berwenang mengaitkan langsung penanganan wabah dengan penanganan untuk meredakan perbedaan pendapat etnis yang pernah dilakukan di waktu lalu. Itulah sebabnya, di Xinjiang, beberapa warga Uighur mengatakan bahwa mereka enggan untuk mengeluh secara terbuka tentang pembatasan kebijakan Nol Kasus, karena mereka takut bisa ditangkap oleh pihak berwenang.

Laporan ICT menyebutkan bahwa mereka “sangat prihatin” apakah Tibet juga mengalami situasi yang sama. Untuk itu ICT meminta pemerintah Tiongkok untuk tidak mengambil tindakan represif terhadap warga Tibet dan memberikan ruang bagi warga Tibet untuk mengekspresikan keluhan mereka secara sah.

“Beijing harus mengakui bahwa penindasan yang sudah berlangsung selama beberapa dekade dan pengenalan pembatasan COVID-19 yang ekstrem, tidak manusiawi dapat menyebabkan penderitaan dan bunuh diri di antara warga Tibet”. Demikian laporan menyebutkan. (sin)