‘Pieta’: Citra dari Suatu Harapan

ELIZABETH LEV

Pemandangan paling tragis yang bisa dibayangkan orang adalah seorang ibu yang kehilangan seorang anaknya. Menyaksikan hal seperti itu, sebagian besar orang akan hanyut dalam perasaan kehilangan yang membara, kehampaan atas kehilangan. Namun ketika Michelangelo menggambarkan “Pietà” -nya – Bunda Maria yang berduka atas jasad Kristus yang tak bernyawa – dia mengungkapkan bagaimana kesedihan dapat ditaklukkan oleh sebuah harapan. (Arti kata Pieta adalah belas kasih, berasal dari bahasa Italia)

Pada tahun 1497, Kardinal  Bilhères de Lagraulas menugaskan Michelangelo Buonarroti yang masih berusia 23 tahun, yang saat itu namanya belum dikenal, untuk menghasilkan kelompok patung seukuran manusia, yang menjadi karya publik pertama dari pemuda asal Florentine ini.

Rencananya patung tersebut untuk kapel pemakaman kardinal di Basilika Santo Petrus di Roma, yang saat itu merupakan bangunan yang jauh lebih kecil daripada gereja modern yang besar. Patung tersebut akan ditempatkan di atas altar, di mana generasi mendatang mungkin akan berdoa untuk jiwa kardinal.

Michelangelo menghabiskan satu tahun untuk mencari dan mengangkut satu blok batu marmer dari Carrara dan memajang hasil karyanya yang telah selesai dibuat, yang mengundang ketakjuban universal selama Tahun Yubileum 1500. Tahun Yubileum dirayakan setiap 50 tahun, mengikuti tujuh siklus tahun sabatikal, dan dirayakan sebagai tahun pembebasan dan istirahat.

Kini, pengunjung modern harus memandang patung itu dari balik dinding kaca pelindung, setelah diserang dengan lemparan palu pada tahun 1972. Bekas dan patahannya telah diperbaiki, tetapi perisai pelindung menumpulkan suara artistik dari kekuatan patung ini.

Tema dalam Media Baru

Michelangelo muda adalah orang Italia pertama yang memahat subjek Pietà, sebuah tema yang dikembangkan oleh seniman Jerman pada abad ke-14 dan kemudian diadopsi oleh Prancis, yang memberinya nama yang bermakna “merasa kasihan.”

Komposisinya, menunjukkan Bunda Maria membopong jasad Kristus yang sudah tak bernyawa sebelum penguburan, tidak memiliki dasar kitab suci, dan seniman utara berusaha membangkitkan rasa kasihan dengan menekankan luka-luka di tubuh Yesus dan kesedihan Bunda Maria.

Dengan lubang luka bergerigi dan menganga di tangan, kaki, dan sisi tubuh Kristus, tubuh kaku dengan rigor mortis, dan mahkota duri masih terikat di sekitar alisnya, versi sebelumnya dimaksudkan untuk membuat penonton merasa iba.

Tapi pematung Florentine ini (Michelangelo) punya ide lain. Dia membuat tubuh Yesus dengan artikulasi dan proporsi yang sempurna dari sosok Dewa Yunani, anggota badan yang elegan tersampir di pangkuan Maria. Dia membuat luka-lukanya nyaris tidak terlihat dan wajah yang tertidur itu damai. Satu-satunya indikasi kematian adalah pada detail tubuh yang dipangku dengan hati-hati: bahu yang menempel di bawah telinga, otot-otot yang kendur di paha, dan darah terkumpul di tangan yang menggantung, semuanya menunjukkan begitu beratnya kematian tersebut.

Mengarahkan Kesedihan Kita

Michelangelo menggunakan kesedihan adegan itu untuk mengalihkan perhatian dari Kristus, yang penderitaannya sudah lama berakhir, ke wajah Bunda Maria, yang kesedihannya pasti paling parah. Menatap wajah mudanya, bagaimanapun, kita tidak melihat kerutan kebencian, tidak ada teriakan kesedihan dengan mulut terbuka, dan tidak ada keraguan.

 Wajahnya yang tenang dan sahdu membangkitkan Maria yang masih muda, yang, dalam Injil Lukas, sebagai seorang gadis remaja memberi tahu malaikat Gabriel (Jibril) bahwa dia akan melakukan perintahnya.

Sosok Bunda Maria dari Michelangelo ini adalah wanita yang, ketika dia berkata “ya” kepada Tuhan, maka dia bersungguh-sungguh. Melalui pencobaan untuk menjelaskan kehamilannya yang misterius kepada Yusuf tunangannya, melahirkan Putra Allah di kandang yang kumuh, tergesa-gesa melarikan diri ke Mesir satu langkah di depan tentara Herodes, “ya” Maria memiliki konsekuensi yang mengubah hidup.

Pada hari Jumat itu, ketika setelah Maria mencurahkan 33 tahun kasih sayang kepada putranya, serta 33 tahun harapan pada sang penyelamat, tampaknya terlalu banyak untuk mengambil—semua investasi cinta dan harapan itu dan menguburnya di sebuah makam.

Harapan Meskipun Bayangan

Karya pahat Michelangelo yang terampil menonjolkan risiko dari momen suram ini. Kerudung di sekitar wajah Bunda Maria tampak menggantung longgar, meninggal- kan pita bayangan di sekitar alisnya, menyatu dengan kegelapan di sisi lehernya. Celah-celah yang dalam di korset dan roknya menelan cahaya, membentuk kantong-kantong ketidakjelasan.

Awalnya patung itu ditempatkan di niche yang dangkal, di mana bayangan suram akan menekan di semua sisi. Tak gentar oleh kegelapan, Bunda Maria bertahan dengan mata tertuju pada tubuh Kristus, yang diukir oleh Michelangelo dalam bidang yang paling halus dengan permukaan yang bisa dipoles ekstra luar biasa. Sejarawan seni pun kagum bahwa para pematung tidak pernah memoles marmer sehalus itu lagi, tetapi balik ke karya seni tersebut orang dapat melihat alasannya. (Niche = ceruk dangkal, terutama di dinding untuk memajang patung atau ornamen lainnya)

Untuk semua bayangan yang bermain di sekitar Bunda Maria, matanya terpaku oleh cahaya yang memancar dari tubuh putranya. Bunda Maria tidak pernah melupakan cahaya, bahkan di saat-saat tergelap—sebuah pelajaran abadi bagi juta- an orang yang telah berdiri di depan maha karya ini untuk mengingat rasa sakit dan kesedihan mereka sendiri sambil melihat Bunda Maria memikul beban terberat yang dapat diminta oleh manusia untuk dipukul. Dia tidak pernah kehilangan harapan. Struktur piramidal patung meningkatkan rasa keteguhannya. Harapannya melabuhkannya di saat-saat paling badai.

Di tengah semua kesempurnaan artistik ini, ada anomali yang menyindir ke dalam adegan ini: tubuh bagian bawah Bunda Maria tidak proporsional besar dibandingkan dengan tubuh bagian atas- nya. Jubahnya yang lebar mengubah pangkuannya menjadi pajangan untuk tubuh Kristus, menyerupai kain kafan serta bagaikan rahim yang menahannya selama sembilan bulan.

Tetapi Yesus, yang terbentang di atas kaki Maria, tampaknya tidak berlindung dengan kuat di pangkuannya; dia merosot ke bawah, seolah-olah akan jatuh ke altar di bawah. Dengan satu tangan, Bunda Maria memeluk putranya erat-erat. 

Tangannya yang lain terbuka ke arah penonton dengan sikap menawarkan. Terang dan harapan yang telah menjadi sumber kekuatan Maria tidak disimpan untuk dirinya sendiri, tetapi siap ditawarkan kepada siapa saja yang datang mencari penghiburan di masa-masa gelap. (amy)

Elizabeth Lev adalah sejarawan seni kelahiran Amerika yang mengajar, memberi kuliah dan bimbingan di Roma