Pria Lansia Tanpa Kewarganegaraan Bertahan Hidup dengan Menjual Tisu, Makan Satu Kali Sehari

EtIndonesia. Tidak banyak dari kita yang mengetahui orang-orang tanpa kewarganegaraan yang tinggal di suatu negara, namun Wu Taiping (nama yang diterjemahkan dari bahasa Mandarin), yang menjual tisu untuk bertahan hidup, adalah salah satu dari mereka yang saat ini tinggal di Singapura.

Lahir di Malaysia pada tahun 1947, dia pindah ke Singapura pada usia lima tahun. Dia berusaha tetapi gagal mendapatkan kewarganegaraan Singapura.

Wu kemudian kehilangan kewarganegaraan Malaysia pada usia 25 tahun dan tidak memiliki kewarganegaraan di Singapura. Dia saat ini mencari nafkah dengan menjual kertas tisu.

Pria lanjut usia tersebut hanya makan satu kali sehari untuk menghemat pendapatannya yang sedikit dan tidak mampu membayar biaya rumah sakit.

8world News melaporkan keadaan sulit yang dialami Wu, seorang pria lanjut usia berusia sekitar 75 tahun.

Lahir di Malaysia pada tahun 1947, Wu pindah ke Singapura pada usia lima tahun dan bersekolah di sana hingga ia putus sekolah tiga tahun kemudian. Dia rupanya melakukan hal itu untuk menyanyikan opera Hokkien atas perintah orangtuanya.

Belakangan, ia dua kali mengajukan permohonan kewarganegaraan Singapura, pada usia 13 dan 20 tahun. Sayangnya, permohonan tersebut diduga gagal karena dia tidak bisa berbahasa Inggris dan Melayu.

Pada usia 25 tahun, Wu kehilangan kewarganegaraan Malaysia karena alasan yang tidak diketahui, sehingga membuatnya tidak memiliki kewarganegaraan.

Dengan demikian, dia tetap berada di Singapura hingga saat ini. Awalnya dia menyanyikan opera Hokkien dan bahkan bekerja sebagai karang guni atau manusia compang-camping.

Wu tinggal bersama pacarnya selama 28 tahun, namun pacarnya meninggal karena kanker beberapa tahun yang lalu.

Dia tidak memiliki anak dan juga tidak ada kontak dengan saudara-saudaranya karena dugaan perselisihan keuangan.

Karena Wu tidak memiliki paspor, dia tidak bisa meninggalkan Singapura. 8world News mengklaim bahwa dia tidak tertarik untuk kembali ke kampung halamannya, karena dia tidak lagi memiliki kerabat di sana.

Sekitar 10 tahun lalu, dia mulai berjualan kertas tisu di dekat stasiun MRT Paya Lebar.

Bekerja dari pukul 06.00 hingga 17.00 setiap hari, ia memperoleh penghasilan antara 30 hingga 70 dolar Singapura secara tidak konsisten setiap hari, namun ia mengatakan bahwa jumlah tersebut tidak pernah melebihi 100 dolar Singapura .

Wu tinggal sendirian di ruang tamu sebuah flat HDB, yang ia sewa seharga 350 dolar Singapura setiap bulan.

Pada akhir tahun 2022, dia memperoleh izin khusus dan saat ini menerima bantuan keuangan sebesar 410 dolar Singapura setiap bulannya.

Meski begitu, dia mengeluhkan dampak kenaikan biaya. Kesulitan keuangan rupanya memaksanya hanya makan satu kali sehari.

Wu menjelaskan bahwa dia dalam keadaan sehat sampai terjadi kecelakaan mobil pada Maret 2023.

Baru-baru ini, dia menemukan kemerahan dan bengkak di mata kanannya. Seorang dokter klinik menyarankan agar dia pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan.

Namun Wu tidak mengikuti saran dokter karena dia tidak mampu membayar biaya pengobatan.

Dia mengungkapkan ketakutannya untuk dirawat di rumah sakit dan tagihannya membengkak setiap hari melebihi kemampuannya. Karena itu, dia hanya bisa menahan rasa sakitnya.

“Kalau saya tidak bisa menjual kertas tisu dan kehabisan uang, saya hanya bisa menunggu kematian,” ujarnya muram.

Dalam balasan tertulis pada tahun 2021, Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura menyatakan bahwa per 30 Nov 2020, terdapat 1.109 orang tanpa kewarganegaraan yang tinggal di Singapura.

“76% dari mereka adalah Penduduk Permanen (PR) Singapura, dan menikmati berbagai manfaat yang diberikan oleh PR seperti layanan kesehatan, perumahan, dan pendidikan.”

Ia menambahkan bahwa Otoritas Imigrasi dan Pos Pemeriksaan (ICA) mengevaluasi setiap permohonan kewarganegaraan atau PR dari orang-orang tanpa kewarganegaraan berdasarkan berbagai kriteria.

Hal ini mencakup ikatan keluarga dengan warga Singapura, kualifikasi pendidikan, dan kontribusi ekonomi.

Keluhan Wu tentang kenaikan biaya juga sama dengan keluhan banyak warga lanjut usia Singapura, yang menggambarkan tahun 2023 menggunakan kata kunci ‘mahal’. (yn)

Sumber: mustsharenews