Hakim MK Bongkar Tiga Keganjilan Perkara Uji Materi Batas Usia Capres/Cawapres Hingga Berubah Saat Paman Gibran Ikut Rapat
ETIndonesia– Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arif Hidayat membongkar tiga keganjilan dari lima perkara yang menguji aturan batas usia capres dan cawapres, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUUXXI/2023, Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Nomor 90/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023.
Ia juga mengungkapkan adanya perubahan setelah Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Anwar Usman ikut rapat. Ia diketahui adalah paman Gibran Rakabuming alias Walikota Solo yang juga putra Presiden Joko Widodo.
Keputusan dikabulkan permohonan uji materi tentang usia capres/cawapres dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (15/10/2023).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan tiga keganjilan tersebut, yakni penjadwalan sidang yang terkesan lama dan tertunda, pembahasan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), serta Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 ditarik tetapi tetap dilanjutkan. Proses persidangan Pasca Persidangan Perbaikan Permohonan menuju Pemeriksaan Persidangan dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden terkesan terlalu lama, bahkan memakan waktu hingga 2 bulan, yakni pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan 1 (satu) bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023.
Ia juga mengatakan, meskipun hal ini tidak melanggar hukum acara baik yang diatur di dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi. Namun penundaan perkara a quo berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied).
Terkait RPH, Arief menyebut Ketua MK Anwar Usman tidak hadir dalam RPH untuk tiga perkara, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUUXXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023. Alasan kala itu untuk menghindari konflik kepentingan karena kerabat Ketua MK berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo.
Namun demikian, kata dia, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama, Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar “dikabulkan sebagian”.
“Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar. Tindakan Ketua ini kemudian saya pertanyakan dan persoalkan di dalam RPH. Setelah dilakukan konfirmasi pada sidang RPH hari Kamis, tanggal 21 September 2023, Ketua menyampaikan bahwa ketidakhadirannya pada pembahasan dan forum pengambilan keputusan pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 lebih dikarenakan alasan kesehatan dan bukan untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) sebagaimana disampaikan Wakil Ketua pada RPH terdahulu,” urai Arief.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menegaskan jika Mahkamah mengabulkan Permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, maka yang sejatinya terjadi adalah Mahkamah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai ”legislating or governing from the bench” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient reason) dalam batas penalaran yang wajar.
Hal ini, kata dia, menjadikan Mahkamah masuk sangat jauh dan begitu dalam kepada salah satu dimensi dan area yang paling fundamental bagi terselenggaranya kekuasaan legislatif yang baik dan konstitusional, yakni fungsi representasi parlemen sebagai salah satu refleksi serta implementasi utama dari prinsip “kedaulatan rakyat” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Oleh karena itu, jelas Wahiduddin, Mahkamah dalam rangka memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini seharusnya (sekali lagi) meyakinkan kepada publik dan khususnya Pemohon bahwa adakalanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu diselenggarakan dalam bentuk “kemerdekaan untuk tidak melakukan sesuatu” (The Dont’s; judicial restraint) yang secara manusiawi memang relatif lebih sulit untuk dilakukan, sebab manusia memang secara alamiah cenderung lebih tertarik untuk melakukan sesuatu ketimbang menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. “Menimbang bahwa berdasarkan beberapa uraian argumentasi tersebut di atas, saya berpendapat Mahkamah seharusnya menolak Permohonan Pemohon,” ujarnya.
Kemudian pendapat berbeda juga diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo yang berpendapat terhadap Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo. Sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbedanya dalam putusan permohonan a quo.
Dalam sidang yang sama, MK menolak tiga permohonan, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh PSI dan empat Pemohon perseorangan; Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Garuda; dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan Erman Safar,dkk. Tak hanya itu, Mahkamah juga menyatakan dua perkara tidak dapat diterima, yakni Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Arkaan Wahyu Re A dan Perkara Nomor 92/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Melisa Mylitiachristi Tarandung serta satu permohonan ditarik kembali, yakni Perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Soefianto Soetono dan Imam Hermanda. (MK/asr)
Hakim Saldi Isra Ungkapkan Peristiwa “Aneh” yang “Luar Biasa” dan Jauh dari Batas Penalaran Tentang Putusan MK
Khawatir MK menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik yang meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik
ETIndonesia – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengungkapkan peristiwa “Aneh” yang “Luar biasa” dan jauh dari batas penalaran tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabukan sebagian uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tentang usia capres-cawapres 40 tahun. Uji materi ini mengecualikan capres dan cawapres sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
“Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan Putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ungkapnya.
Selanjutnya Saldi mengungkapkan, kronologis proses putusan serta komposisi hakim konstitusi dalam memutus perkara tersebut. Secara keseluruhan terdapat belasan permohonan untuk menguji batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang terbagi menjadi dua gelombang; tiga perkara di atas (Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023) adalah permohonan atau perkara gelombang pertama, sedangkan Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 termasuk perkara gelombang kedua.
Ia juga mengatakan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi tanpa dihadiri Ketua MK Anwar Usman. Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion).
Pada RPH berikutnya, sebut Saldi, beberapa hakim konstitusi yang dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (opened legal policy), tiba-tiba menunjukkan “ketertarikan” dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Padahal, kata dia, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Belum lagi adanya fakta, para Pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut. Dengan adanya kejadian tersebut, tidak ada pilihan selain Mahkamah harus mengagendakan sidang panel untuk mengonfirmasi surat penarikan dan surat pembatalan penarikan kepada para Pemohon.
Saldi membeberkan misteri pembatalan penarikan tersebut yang hanya berselang satu hari, sebagian Hakim Konstitusi yang 97 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 berada pada posisi Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian “pindah haluan” dan mengambil posisi akhir dengan “mengabulkan sebagian” Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Saldi juga menyoroti mengenai amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Ia memaparkan bahwa lima Hakim Konstitusi yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” ternyata terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu tiga Hakim Konstitusi sepakat memadankan atau membuat alternatif usia 40 tahun dengan “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi yang lain memaknai petitum Pemohon hanya sebatas “pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai gubernur”. Tidak berhenti sampai di situ, dua Hakim Konstitusi dimaksud masih tetap mempertahankan prinsip “opened legal policy” dalam menentukan kriteria jabatan gubernur yang dapat disepadankan atau dialternatifkan tersebut.
Ia menyampaikan pilihan jabatan publik berupa elected official termasuk pemilihan kepala daerah, kelimanya berada pada titik singgung atau titik arsir jabatan gubernur. Oleh karena itu, seharusnya amar putusan lima Hakim Konstitusi yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” adalah jabatan gubernur. Dengan pilihan amar memaknai Pasal 169 huruf q UU 7/2017 menjadi “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” seharusnya tertolak atau tidak terterima oleh makna “mengabulkan sebagian”.
Selain itu, Saldi menekankan pembentuk undang-undang secara eksplisit menyampaikan dan memiliki keinginan yang serupa dengan para Pemohon, sehingga perubahan ataupun penambahan terhadap persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden tersebut sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review dengan cara merevisi Undang-Undang yang dimohonkan oleh para Pemohon, bukan justru melempar “bola panas” ini kepada Mahkamah. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terlihat dengan jelas sifat opened legal policy-nya ini, justru diambil alih dan dijadikan “beban politik” Mahkamah untuk memutusnya.
“Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat, sangat, sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?” tandasnya. (MK/asr)
MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres/Cawapres yang Berpengelaman Sebagai Kepala Daerah
ETIndonesia – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabukan sebagian uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tentang usia capres-cawapres 40 tahun. Uji materi ini diajukan oleh Mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengecualikan capres dan cawapres sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (15/10/2023).
Anwar juga menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, ‘berusia paling rendah 40 tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Dikutip dari pemberitaan resmi MK, dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Mahkamah berpendapat pengisian jabatan publik in casu Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun). Namun demikian, terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden meskipun juga dipilih melalui pemilu, namun karena terkait usia calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut batas penalaran yang wajar kurang relevan untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden.
Guntur melanjutkan jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan publik dan terlebih lagi merupakan jabatan hasil pemilu yang tentu saja didasarkan pada kehendak rakyat (the will of the people) karena dipilih secara demokratis. Pembatasan usia minimal 40 tahun semata (an sich) tidak saja menghambat atau menghalang perkembangan dan kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional, tapi juga berpotensi mendegradasi peluang tokoh figur generasi milenial yang menjadi dambaan generasi muda, semua anak bangsa yang seusia generasi milenial.
“Artinya, usia di bawah 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials) seyogianya dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon Presiden dan Wakil Presiden. Jabatan-jabatan dimaksud merupakan jabatan yang bersifat elected officials, sehingga dalam batas penalaran yang wajar pejabat yang menduduki atau pemah menduduki jabatan elected officials sesungguhnya telah teruji dan telah diakui serta terbukti pernah mendapatkan kepercayaan dan legitimasi rakyat, sehingga figur/orang tersebut diharapkan mampu menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik in casu presiden atau wakil presiden,” papar Guntur.
Guntur menyampaikan andaipun seseorang belum berusia 40 tahun namun telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu (anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubemur, Bupati, dan Walikota) tidak serta-merta seseorang tersebut menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebab, masih terdapat dua syarat konstitusional yang harus dilalui yakni syarat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai dan syarat dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehingga, meskipun seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara, namun tidak diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka sudah tentu tidak dapat menjadi calon Presiden dan iatau Wakil Presiden. Selanjutnya, seandainya seseorang diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka mereka tentu harus melewati syarat konstitusional berikutnya, yaitu Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia minimal 40 tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.
“Sedangkan, bagi bakal calon yang berusia di bawah 40 tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden sepanjang memiliki pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu in casu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, atau Walikota, namun tidak termasuk pejabat yang ditunjuk (appointed officials), seperti penjabat atau pelaksana tugas dan sejenisnya. Bagi pejabat appointed officials semata, dapat diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden melalui pintu masuk yaitu berusia 40 tahun,” ujar Guntur.
Berikut amar putusan lengkap yang dibacakan di Sidang MK :
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian
2. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
“Terhadap petitum permohonan dalam perkara-perkara dimaksud dapat dikatakan mengandung makna yang bersifat ‘ambiguitas’ dikarenakan sifat jabatan sebagai penyelenggara negara tata cara perolehannya dapat dilakukan dengan cara diangkat/ditunjuk maupun dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini berbeda dengan yang secara tegas dimohonkan dalam petitum permohonan a quo di mana pemohon memohon ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017 dimaknai ‘Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota’ Dalam rangka mewujudkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR, anggota DPR, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilu meskipun berusia di bawah 40 tahun,” kata hakim MK. (asr)
Orkestra Simfoni Shen Yun: Ansambel yang Sepenuhnya Unik
Catherine Yang
Setelah tiga tahun absen, Shen Yun Symphony Orchestra (SYSO) kembali ke panggung hanya dengan satu hari konser pada 22 Oktober mendatang di Lincoln Center, Kota New York, Amerika Serikat.
Orkestra ini merupakan ansambel pertama dan satu-satunya di dunia yang secara permanen menggabungkan instrumen Tiongkok kuno dengan orkestra klasik Barat. Setelah kesuksesan global Shen Yun Performing Arts, grup tari klasik Tiongkok yang terkenal, menimbulkan banyaknya permintaan untuk mendengarkan musik tersebut secara tersendiri. Sebagai tanggapannya, perusahaan yang berbasis di New York ini menarik para musisi dari masing- masing grup turnya—yang saat ini berjumlah delapan grup—untuk membuat orkestra simfoni yang beranggotakan 100 orang. Pada tahun 2012, SYSO memulai debutnya di Carnegie Hall, dan sejak itu menghiasi panggung gedung konser di seluruh dunia. Simfoni ini sering disambut dengan tepuk tangan meriah, dan bahkan sering kali memberikan encore (tampil ulang).
Musik Shen Yun sama uniknya dengan ansambelnya, dengan lebih dari selusin karya orisinal baru yang ditampilkan untuk program terbaru musim ini. Komposer internal memanfaatkan melodi Tiongkok kuno, lagu etnik dan rakyat yang otentik, serta kemegahan orkestra lengkap.
Penonton sering kali mengintip ke dalam lubang orkestra selama istirahat untuk mencoba melihat sekilas instrumen mana yang menghasilkan suara menakjubkan yang mereka dengar. Namun pada pertunjukan SYSO, orkestra ditampilkan secara penuh, dan penonton konser dapat melihat erhu atau pipa kuno memainkan melodi yang belum pernah mereka dengar sebelumnya, yang akan segera diikuti oleh alat musik senar dan brass Barat.
“Dalam karya asli Shen Yun kami, pipa (baca: biba) dan erhu sering kali memainkan melodi sementara instrumen Barat mengiringinya,” kata pemain biola, Debbie Jin, pemain solo konser mendatang, dalam wawancara dengan Shen Yun.
“Pada momen-momen ini, sungguh membuka mata untuk mendengar bagai- mana rekan-rekan kami yang memainkan alat musik Tiongkok mengekspresikan ide- ide musik mereka, karena mereka sering menggunakan banyak teknik yang asing bagi kami.”
Misi Shen Yun adalah untuk menghidupkan kembali 5.000 tahun peradaban Tiongkok, yang konon diilhami oleh Tuhan, dan musik aslinya tentu saja terdengar Tiongkok.
Namun, ansambelnya sebenarnya hanya mencakup beberapa instrumen Tiongkok: pipa, erhu, dan beberapa instrumen perkusi Tiongkok seperti balok kayu atau gong.
Pipa adalah kecapi Tiongkok yang dimainkan secara tegak, dapat dipetik atau digenjreng. Huruf “pi” (琵) pada nama alat musiknya, pipa, berarti memetik senar ke depan, dan “pa” (琶) berarti memetik senar ke belakang, yang merupakan dasar teknik instrumen. Sebagai alat musik gesek, ia juga menggunakan banyak teknik yang familiar bagi musisi senar Barat, seperti vibrato, pizzicato, dan glissando.
Alat musik bersenar empat dari kayu ini mencapai puncak popularitasnya pada abad ke-13, pada masa Dinasti Tang, dan konstruksinya mewakili kepercayaan tradisional Tiongkok.
Berdasarkan metrik Tiongkok kuno, instrumen pipa yang berbentuk buah pir ini dibuat dengan ukuran tiga kaki lima inci. Ketiganya mewakili langit, bumi, dan umat manusia—yang mana orang Tiongkok kuno selalu mencari keselarasan. Kelimanya berhubungan dengan lima unsur mental, kayu, air, api, dan tanah; dan empat senar mewakili empat musim.
Tali-talinya yang tebal bergemuruh bagaikan badai yang dahsyat, Senar-senarnya yang halus bersenandung bagaikan bisikan yang begitu meninabobokan, Nada-nada keras dan lembut, bercampur dan memantul, Bagaikan mutiara besar dan kecil, di atas nampan batu giok yang berjatuhan.
“Lagu Pipa” oleh penyair abad kesembilan, Bai Juyi. Alat musik erhu mungkin lebih akrab bagi khalayak Barat.
Instrumen ini hanya memiliki dua senar, namun mampu menghasilkan beragam suara, suasana hati, dan dinamika yang sangat memusingkan. Erhu dapat digunakan untuk efek jenaka ataupun tragis, meniru kicauan burung atau kuda meringkik, atau menghasilkan melodi yang menyayat hati dan melankolis. Ada yang mengatakan instrumen tersebut menghasilkan suara yang paling mirip dengan suara manusia, membandingkan kedua senar tersebut dengan pita suara manusia.
Erhu dimainkan secara vertikal, dengan kotak kayu kecil di pangkuan pemain. Busur penggesek dipasang secara permanen pada instrumen, di antara dua senar. Instrumen ini memiliki leher yang panjang, tetapi tidak memiliki fingerboard, dan merupakan instrumen yang sulit untuk dikuasai.
Acara yang akan digelar 22 Oktober ini, akan mencakup beberapa karya orisinal yang belum disebutkan namanya, serta “Finlandia” karya Sibelius, “New World Symphony” karya Dvorak, dan The Butterfly Lovers Violin Concerto, yang mungkin merupakan karya musik klasik Tiongkok yang paling terkenal di Barat.
Jin, seorang pemain biola pemenang penghargaan yang berasal dari Sydney, Australia, adalah pemimpin konser di salah satu grup tur Shen Yun. Rekaman dia membawakan “Konser Biola Kupu-Kupu Sejoli (Sampek Engtay)” dapat ditemukan di platform streaming Shen Yun Creations. “Kami ingin memberikan pengalaman yang membangkitkan semangat dan menggugah jiwa kepada penonton,” kata Debbie Jin. “Bagi saya, saya berharap dapat berbagi emosi yang diungkapkan oleh musik kepada saya—kegembiraan, gairah, dan keindahan.” (aus)
Pengacara Hak Asasi Manusia Internasional : Pihak Berwenang Tiongkok “Sebenarnya Ingin Menyingkirkan Uyghur”
ANDERS CORR
Rezim partai komunis Tiongkok secara efektif menggunakan “kampanye misinformasi” untuk memberikan kesan yang baik pada genosida yang dilakukannya, menurut Omer Kanat, Direktur Eksekutif Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur.
Informasi yang salah tersebut mencakup kunjungan pejabat asing ke tempat yang oleh rezim Tiongkok disebut sebagai “Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang” dan sejumlah kunjungan ke luar negeri oleh orang-orang Uyghur yang diberangus dan hanya diperintahkan untuk mengatakan hal-hal baik tentang Xinjiang.
Sementara itu, rezim Tiongkok merelokasi ratusan ribu warga Uyghur dari kamp pendidikan ulang, tempat mereka menjalani program cuci otak, ke penjara negara dan pabrik kerja paksa di mana mereka dapat bekerja lebih dari 10 jam per hari di samping sesi indoktrinasi politik.
Warga Uyghur yang ditahan biasanya tidak diadili tetapi dijatuhi hukuman massal di sel yang penuh sesak. Hukuman sewenang-wenang yang berdurasi hingga 15 tahun ini didasarkan pada kunjungan orang- orang Uyghur ke luar negeri yang tidak bersalah, ketaatan beragama, atau, jika tidak, tuduhan dan kesak- sian palsu.
Sebagian besar dari antara 1 hingga 2 juta warga Uyghur, yang menurut perkiraan para ahli dan pejabat pemerintah ditahan, tampaknya masih ditahan oleh rezim tersebut. “Semua intelektual Uyghur,” misalnya, “Berada di penjara atau kamp konsentrasi,” kata Kanat kepada The Epoch Times dalam sebuah wawancara pada 26 September. Di kamp-kamp tersebut, terdokumentasikan kasus-kasus orang Uyghur yang menjadi korban pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan.
Menurut Kanat, ada sekitar 10.000 orang Uyghur di Amerika Serikat. Sekitar 500 kerabat mereka telah dibebaskan. Dengan asumsi populasi ini mewakili keseluruhan, maka sekitar 95 persen warga Uyghur yang ditahan masih ditahan, menurutnya. Beberapa dari mereka adalah orang lanjut usia dan diyakini telah meninggal di balik jeruji besi.
“Pelan-Pelan, Uyghur Akan Hilang”
Kanat mengatakan bahwa lebih dari 800.000 anak Uyghur dipisahkan dari orang tuanya di sekolah berasrama dan taman kanak-kanak yang dikelola negara. Mereka diberi nama baru yang bukan nama Uyghur dan akan dihukum jika menggunakan nama asli mereka. Anak-anak dilarang berbicara bahasa Uyghur atau menjalankan agama. “Sangat sedikit anak-anak Uyghur yang tinggal bersama orang tua mereka,” katanya.
Pada awal 2010, ada keluhan tentang sekolah berasrama yang tidak mengizinkan anak-anak berbicara bahasa Uyghur kepada orang tua mereka selama panggilan mingguan. Ketika orang tuanya dibawa ke kamp konsentrasi, anak-anak tersebut secara paksa dikeluarkan dari perawatan keluarga besar mereka, termasuk kakek-nenek, bibi, dan paman, menurut Kanat.
Kanat mengatakan, rezim Tiongkok memandang warga Uyghur sebagai orang asing yang tidak setia, yang jika terjadi perang, bisa dipersenjatai oleh Amerika Serikat dan berperang melawan Beijing. “Mereka sebenarnya ingin menyingkirkan Uyghur,” tegasnya.
“Mereka tidak bisa membunuh semua warga Uyghur sekarang. Ini adalah abad ke-21. Mungkin mereka tidak mampu membunuh, tapi mereka ingin menghilangkan identitas dan budaya Uyghur serta mengubahnya menjadi sesuatu yang lain.”
Tindakan pertama yang dipak- sakan oleh Partai Komunis Tiongkok kepada warga Uyghur di kamp pendidikan ulang adalah dengan mengatakan: “Saya tidak percaya pada Tuhan. Saya percaya pada Partai Komunis (Tiongkok),” katanya. Setelah asimilasi, orang-orang Uyghur dimaksudkan untuk berpenampilan Uyghur tetapi berpikir, hidup, dan bertindak dengan cara orang Tiongkok. “Mereka mungkin akan berubah menjadi orang Tiongkok,” katanya. “Perlahan-lahan, Uyghur akan hilang jika kebijakan ini terus berlanjut.”
Kanat mengatakan bahwa meskipun taktik Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah berubah, niatnya untuk “menghilangkan identitas Uyghur” tetap sama. “Mereka berhasil karena tidak ada tindakan yang kuat dan terkoordinasi dari komunitas internasional.”
Angka kelahiran Uyghur turun
50 persen antara 2017 dan 2019, menurut Kanat, termasuk melalui sterilisasi paksa. “Sebagian besar laki-laki” yang subur telah berada di penjara, katanya. Ratusan ribu perempuan Uyghur dipenjara. Setiap wanita Uyghur yang berusia antara 18 dan 55 tahun diharuskan menerima metode kontrasepsi yang dimasukkan dokter yang disebut alat kontrasepsi dalam rahim (IUD), katanya.
Laki-laki Tiongkok etnis Han dari etnis dominan di Tiongkok melakukan perjalanan ke Turkistan Timur dan melakukan pernikahan paksa terhadap perempuan Uyghur setelah melihat iklan pemerintah komunis Tiongkok tentang “gadis Uyghur yang cantik”, kata Kanat. Perempuan Uyghur merasa terpaksa menikah dengan mereka karena jika mereka menolak, laki- laki tersebut dapat menuntut diskriminasi rasial dari wanita Uyghur terhadap pria Han. “Dia akan dihukum, atau keluarganya akan dihukum oleh rezim,” katanya.
Rezim juga memasukkan laki- laki Han ke dalam keluarga Uyghur melalui program yang diberitakan secara luas yang disebut “menjadi keluarga”, termasuk mengatur tempat tidur di tempat tidur platform berukuran ruang tamu yang biasanya digunakan oleh seluruh keluarga Uyghur. Para “penjaga Han” ini akan mengamati, mencatat, dan melaporkan “anggota keluarga” mereka, yang berujung pada pemenjaraan anggota rumah tangga yang menjalankan praktik keagamaan, misalnya.
Program ini telah menyebabkan “banyak pelecehan seksual”, menurut Kanat. Seorang wanita yang diwawancarai oleh Kanat ha- rus mengancam akan bunuh diri untuk menghentikan “keluarga” yang agresif, katanya.
Genosida
“PKT mungkin ingin membunuh semua warga Uyghur tetapi tidak dapat melakukannya, mengingat kemungkinan adanya penolakan global,” kata Kanat. Namun, penindasan terhadap Uyghur sesuai dengan definisi genosida yang ditetapkan PBB.
Kantor Kanat di Washington tampak kecil dan sederhana: Sebuah meja, beberapa rak penuh buku, dan rak mantel kosong. Pria yang rambutnya mulai memutih dan serius ini memikul beban dunia di pundaknya serta sangat fokus pada genosida dan mereka yang terlibat dalam kejahatannya.
Kanat berterima kasih kepada Amerika Serikat karena menjadi satu-satunya negara yang secara resmi mengakui genosida dan mengesahkan dua undang-undang yang mendukung warga Uyghur, termasuk larangan terhadap barang-barang yang dibuat dengan kerja paksa dari wilayah Uyghur. Dia mengatakan, masih ada beberapa RUU lagi yang sedang dalam proses.
Selain itu, Perdana Menteri Turki juga menyebut penindasan tersebut sebagai “genosida”, mengecamnya di PBB, dan menerima ratusan ribu pengungsi, menurut Kanat.
Dari negara-negara G7, hanya Jerman dan Italia yang belum mengeluarkan mosi yang berpihak pada Uyghur. Tidak ada negara Muslim yang mengeluarkan undang-undang yang mendukung Uyghur. Arab Saudi justru melangkah lebih jauh dengan mendukung Tiongkok dalam sebuah pernyataan.
Kanat berpendapat bahwa Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengambil inspirasi dari kurangnya tanggapan internasional terhadap genosida Rohingya di Burma (juga dikenal sebagai Myanmar). Namun, Beijing melakukan kesalahan besar dalam menerapkan tindakan tersebut terhadap warga Uyghur, bahkan dengan tujuan asimilasi. Warga Uyghur sudah melakukan asimilasi, termasuk melalui pendidikan bahasa Mandarin bagi anak-anak Uyghur, menurut Kanat, hal ini diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Namun, penindasan yang hebat ini menyadarkan masyarakat Uyghur dan dunia akan ancaman Partai Komunis Tiongkok.
“Harapan bagi Kami”
Kanat mengatakan, ini adalah “harapan bagi kami” bahwa semua warga Uyghur sekarang tahu bahwa mereka berada di bawah ancaman. “Tidak ada lagi Uyghur yang memihak Partai Komunis Tiongkok,” katanya. Tak satu pun dari mereka ingin hidup di bawah sistem itu. Bahkan seorang gubernur Uyghur terkemuka dan pendukung pendidikan bilingual kini dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, menurut Kanat. Bahkan warga Uighur yang atheis dan komunis yang memiliki pola pikir Tiongkok tidak dipercaya oleh rezim, katanya. Jadi, tidak ada lagi orang Uyghur yang berpihak pada Beijing. Tidak mungkin warga Uyghur bisa hidup bersama atau memercayai rezim tersebut.
Sejak 2010, negara-negara Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) tampaknya memiliki kebijakan yang tidak menerima warga Uyghur, termasuk untuk bepergian.
“Saya dideportasi dari perba- tasan Kazakh pada 2010 karena mereka mengatakan Anda tidak diperbolehkan mengunjungi negara anggota SCO mana pun karena tekanan dari pemerintah Tiongkok,” kata Kanat.
Kanat sangat kritis terhadap kegagalan komunitas internasional untuk menghentikan genosida. Dia kecewa ketika pejabat pemerintah Amerika Serikat melakukan perjalanan ke Tiongkok dan duduk “semeja” dengan para pemimpin Partai Komunis Tiongkok yang melakukan genosida. Ia mengamati bahwa upaya untuk “menormalkan” hubungan antara Amerika Serikat dan Tiongkok malah me- normalisasi genosida.
Ada beberapa cara yang bisa digunakan oleh pemerintah AS untuk melawan genosida, katanya. Jumlah individu dan perusahaan yang terkena sanksi kerja paksa hanya sekitar selusin, menurutnya, dan lebih banyak lagi pemimpin PKT, termasuk di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat, yang harus bertanggung jawab.
“Kami bisa memberikan ratusan nama,” ujarnya. “Ada ratusan kamp, yang masing-masing kamp berisi pejabat rezim yang bertanggung jawab.”
Di antara negara-negara G7 yang mengadopsi perjuangan Uyghur, Jerman dan Italia belum mengambil tindakan, karena parlemen mereka belum mengeluarkan resolusi yang mengecam “kejahatan terhadap kemanusiaan” ini, apa- lagi “genosida”. Kanat menjelaskan bahwa mereka mempunyai terlalu banyak bisnis di Tiongkok sehingga tidak dapat (atau kemungkinan besar tidak akan) mengambil sikap.
Ironisnya, menurut Kanat, pendekatan keras pemimpin PKT, Xi Jinping dalam memberantas budaya Uyghur justru berdampak sebaliknya. Orang-orang Uyghur sudah kehilangan budaya mereka, perlahan tapi pasti, karena untuk mendapatkan pekerjaan yang baik di Tiongkok mereka harus bisa berbahasa Han dan menjadi anggota PKT. Namun kunjungan Xi ke Xinjiang membuatnya bereaksi berlebihan. Ia menuntut percepatan asimilasi yang sudah terjadi. Hal ini menyadarkan masyarakat Uyghur dan dunia, yang mulai melakukan perlawanan, menurut Kanat.
Meskipun ini adalah masa-masa sulit bagi warga Uyghur, Kanat mengatakan, dia masih memiliki harapan karena masyarakat Uyghur terus bersuara, melawan, dan bekerja sama untuk memastikan kelangsungan hidup mereka dan masa depan yang lebih baik.
“Tetap saja, kami masih eksis di sana,” katanya. “Pemerintah Tiongkok masih belum mampu mengasimilasi kami.” (eko)
Tim Forensik Israel : Korban Serangan Hamas di Jalur Gaza Alami Pemerkosaan, Multilasi dan Pemenggalan Kepala
oleh Xia Yu
Pejabat Israel pada Sabtu (14 Oktober) mengatakan bahwa tim forensik militer Israel yang melakukan pemeriksaan terhadap warga sipil yang menjadi korban serangan Hamas di sekitar Jalur Gaza minggu lalu menemukan berbagai tanda penyiksaan, pemerkosaan, pemenggalan kepala dan kekejaman lainnya.
Sekitar 1.300 jenazah telah dibawa ke tim forensik militer Israel di pangkalan militer Ramla, Israel tengah untuk mengetahui identitas dan keadaan kematian para korban.
Rabbi Israel Weiss, salah seorang pejabat yang bertanggung jawab atas pendataan terhadap korban tewas yang mantan Kepala Staf Angkatan Darat Israel mengatakan, bahwa sekitar 90% personel militer yang meninggal telah teridentifikasi, sedangkan untuk identifikasi korban warga sipil baru terselesaikan setengahnya.
Dia mengatakan banyak jenazah yang menunjukkan tanda-tanda penyiksaan dan pemerkosaan.
Seorang wanita bernama Avigayil yang menjadi petugas cadangan kepada wartawan mengatakan : “Kami melihat jenazah yang dipotong-potong tangan dan kaki, juga jenazah baik dewasa maupun anak-anak yang kepalanya dipenggal”.
Avigayil juga mengatakan bahwa tim forensik dalam pemeriksaan mereka menemukan banyak jenazah yang disimpan dalam kontainer berpendingin yang mengalami pemerkosaan sebelum dibunuh Hamas.
“Kami menggunakan segala cara yang kami miliki untuk mengidentifikasi para korban. Kami melihat mereka dianiaya dengan kejam. Kami melihat (tanda-tanda) penembakan, kami melihat tanda-tanda penyiksaan”, kata Maayan, seorang dokter militer yang berpangkat kapten.
Kfar Aza, sebuah lokasi peternakan yang berlokasi di Israel selatan dekat perbatasan merupakan salah satu daerah yang warganya paling banyak dibantai oleh Hamas. Setelah lebih dari 70 orang teroris bersenjata masuk ke daerah tersebut pada hari Sabtu pekan lalu (7 Oktober), mereka melancarkan pembunuhan besar-besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Seorang reporter dari saluran TV “i24NEWS” yang berbasis di Tel Aviv melaporkan di tempat kejadian bahwa ketika tentara sedang mengangkut jenazah, mereka melihat pemandangan mengerikan yang tak terbayangkan : Para korban itu termasuk sekitar 40 orang bayi dan anak-anak, dan beberapa di antaranya dengan kepala terpenggal. Udara di sekitar lokasi dipenuhi bau tak sedap dari jenazah korban.
Selain itu, Wall Street Journal yang mengutip ucapan dari pejabat Israel melaporkan bahwa dari dokumen yang dibawa oleh militan yang mati tertembak diketahui bahwa pembantaian terhadap warga sipil ini adalah bagian dari strategi Hamas.
Dari dokumen tersebut Wall Street Journal melihat bahwa pengiriman kelompok kecil militan Hamas untuk menyerang komunitas pertanian Alumim di Israel selatan pada pekan lalu itu bertujuan untuk menciptakan jumlah korban tertinggi, kemudian melakukan penyanderaan. Seorang pejabat Israel mengatakan bahwa dokumen tersebut asli.
Dokumen berisikan perintah yang ditujukan kepada anggota militan Hamas yang menyerang Sa’ad (sebuah komunitas pertanian berpenduduk sekitar 670 orang) di Israel berbunyi : Ambil kendali Kibbutz, bunuh sebanyak mungkin dan menyandera warga sambil menunggu instruksi lebih lanjut.
Tal Heinrich, juru bicara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan : “Strategi dan misi Hamas di balik serangan ini sudah sangat jelas yaitu menyakiti dan membunuh sebanyak mungkin warga sipil yang tidak bersalah”.
Dia mengacu pada “peta dan dokumen yang ditemukan dari tubuh Hamas yang mati tertembak”. Dokumen dan peta tersebut menunjukkan bahwa Hamas, yang menguasai Jalur Gaza, telah mengumpulkan informasi intelijen penting mengenai target serangnya dan telah mengembangkan rencana serangan yang cukup terinci. (sin)
Bayi Lahir di Usia 22 Minggu karena Infeksi Ibunya, Kini Berkembang dengan Baik—Dia Sangat Kecil Sehingga Bisa Mengenakan Cincin Pernikahan Ayahnya sebagai Gelang
SWNS
Bayi yang lahir di California pada usia kehamilan 22 minggu berkembang dengan baik meskipun sangat kecil sehingga ia bisa mengenakan cincin pernikahan ayahnya sebagai gelang. Dia adalah bayi paling prematur yang pernah ditangani oleh rumah sakit tersebut.
Ima Carnelus, 37 tahun, masuk ke persalinan pada usia kehamilan 21 minggu karena infeksi saluran kemih (ISK). Para dokter memberi tahu Nyonya Carnelus dan suaminya, Marcus Carnelus, 42 tahun, bahwa mereka harus memilih antara operasi darurat atau membiarkan bayi mereka meninggal secara alami. Pasangan itu ingin “memberinya kesempatan” sehingga bayi mungil bernama Jaxson lahir melalui operasi caesar darurat pada usia kehamilan 22 minggu.
Dia diberi peluang selamat sebesar dua puluh persen. Lahir dengan panjang hanya 11 inci dan berat 1 pon 2,9 ons, Jaxson selamat dari kelahiran. Dia kemudian dibawa ke unit perawatan intensif neonatal untuk menjalani operasi, di mana dia berjuang untuk hidupnya.
Melawan segala rintangan, dia pulang ke rumah setelah 119 hari di rumah sakit. Saat ini, dia adalah seorang anak laki-laki yang berkembang pesat berusia 8 tahun. Sang ibu yang bangga bahkan telah menulis sebuah buku tentang perjalanan mereka yang berjudul “Saving My Son”(Menyelamatkan Putraku).
Sekarang, Jaxson baru saja memulai kelas tiga—sebuah tonggak yang dokter diberi tahu kemungkinan besar tidak akan dia capai—dan orang tua yang bangga mengatakan perjalanan tersebut membuat seluruh keluarga menjadi lebih kuat.
“Di awal, semuanya berat—saya merasa bersalah, seolah-olah tubuh saya telah mengkhianati anak saya,” kata Nyonya Carnelus, seorang peng- usaha, dari Torrance, California. “Ketika dia akhirnya pulang, dia adalah bayi kecil yang luar biasa… tidak ada yang mengharapkan dia akan bertahan lebih dari 24 jam pertama, apalagi delapan tahun.
“Banyak kali orang berpikir itu adalah hal terburuk yang terjadi pada kami, tetapi, sejujurnya, itu adalah yang terbaik. Itu membuat kami melihat kehidupan dari perspektif yang berbeda dan menghargai anugerah kehidupan.”
Nyonya Carnelus dan suaminya, yang merupakan pemilik bisnis fashion, sangat senang saat mengetahui bahwa mereka akan memiliki anak pertama mereka, yang dijadwalkan lahir pada November 2015. Kehamilan berjalan lancar hingga usia kehamilan 21 minggu; pada 9 Juli tahun itu, Nyonya Carnelus mengalami ISK, yang memicu persalinan prematur karena tubuhnya mencoba melawan infeksi tersebut.
Para dokter yakin mereka dapat menunda persalinan selama beberapa waktu lagi untuk memberi bayi lebih banyak waktu untuk berkembang. Tetapi dia mengalami episode penyakit lagi lima hari kemudian, dan kali ini memicu persalinan aktif.
Setelah 10 jam kontraksi, dokter memperingatkan bahwa bayi itu hanya memiliki peluang selamat dua puluh persen dan mungkin lahir dengan cacat berat.
Nyonya Carnelus mengatakan: “Para dokter menyarankan kami untuk membiarkannya lahir tanpa tindakan penyelamatan hidup, dan hanya membiarkan dia meninggal dengan tenang. Mereka merasa kami tidak harus menempatkan dia melalui apa yang mereka pikir akan menjadi ‘kehidupan yang sulit’”.
“Tapi kami berpikir ‘Bagaimana jika keajaiban bisa terjadi?’ dan kami akan mencintainya bagaimanapun dia lahir. Kami tahu kami ingin memberinya kesempatan.”
Pada tanggal 18 Juli 2015, di Providence Little Company of Mary Medical Center, Jaxson kecil lahir; para dokter segera merespons karena ia tidak bernapas. Setelah 24 jam yang penuh ketegangan di mana bayi tersebut diberi pertolongan hidup sebanyak tiga kali, petugas medis menghubungkannya ke ventilator untuk mendukung pernapasannya.
“Setelah awal yang menakutkan, dokter tidak bisa percaya dia berjalan begitu baik,” kata ibu tersebut. “Dia adalah bayi prematur terkecil dan termuda yang lahir di rumah sakit itu.”
Tidak lama setelah kelahirannya, para dokter menemukan sebuah dengungan jantung yang memerlukan pemindahan ke rumah sakit kedua, Miller’s Children’s Hospital, untuk operasi segera. Untungnya, pejuang Jaxson segera stabil. Kemudian pada akhir September 2015, setelah pindah kembali ke rumah sakit tempat dia lahir, Jaxson menghadapi penyakit mata yang disebut retinopathy of prematurity. Dia memerlukan operasi lain untuk mencegah kebutaan.
Keluarganya mengira mereka sudah keluar dari masalah, namun setelah operasi, saat dia diintubasi ulang, paru-paru Jackson colaps. Selama tiga hari orang tua khawatir mereka akan kehilangan anak kecil mereka. Namun pada hari ketiga, dia mulai sadar kembali, dan mereka bisa bernapas lega.
Pada 14 November 2015, tanggal jatuh tempo resmi, Jaxson akhirnya bisa pulang dengan tabung oksigen di hidungnya dan sesi terapi fisik mingguan.
“Dia adalah bayi kecil yang luar biasa—anda bisa tahu dia memiliki awal yang sulit, tetapi begitu dia pulang, dia bahagia dan tumbuh berkembang,” kata Nyonya Carnelus.
Sekarang, Jaxson aktif secara fisik dan sehat tanpa masalah mobilitas, tetapi dia memiliki beberapa masalah sensorik dan bicara karena autisme. Tetapi, meskipun melawan segala rintangan, dia terus tumbuh dan berkembang.
Nyonya Carnelus mengatakan bahwa Jaxson adalah “ceria, lucu, dan suka bicara” serta menyukai musik dan berenang. Terlepas dari kesulitan yang telah dialami keluarga tersebut, mereka mengatakan bahwa itu membuat mereka semua menjadi lebih dekat dan hubungan mereka menjadi lebih kuat.
“Masih terasa merendahkan untuk mengetahui bahwa kami telah berhasil melalui, dan melewatinya dengan baik,” katanya. “Meskipun ada momen-momen sulit, saya sekarang bisa menemukan kebahagiaan di tengah kesulitan—pernikahan kami menjadi lebih kuat dan keluarga kami lebih dekat.”
“Saya ingat staf rumah sakit ber- kata, ‘Suatu hari Anda akan melihat kembali dan menyadari bahwa Anda telah melewati ini’—dan itu benar, saya merasa seperti kami bisa melakukan apa pun. Bahkan sekarang, saya selalu bisa merasakan bahwa saya sedang membesarkan seseorang yang berjuang keras untuk ada di sini—dia sangat bahagia dan ceria.
“Kami menghadapi tantangan, tetapi kami tidak pernah kehilangan Iman kami.”(sun)