Time to Explore
Pada 13 Januari lalu, Republik Tiongkok (Taiwan) mengadakan pilpres, dan William Lai Ching-te sukses terpilih menjadi presiden. Sejumlah kalangan menilai, dengan terpilihnya Lai Ching-te menjadi presiden, akankah mempercepat Beijing menyerang Taiwan?
Dalam setahun terakhir, kata-kata “Timur (RRT) membubung Barat (AS) merosot” sudah jarang terdengar lagi. Tetapi terutama sebelum pandemi, istilah itu berulang kali dilontarkan oleh Xi Jinping.
Dalam asumsi Xi Jinping, seiring dengan semakin menguatnya perekonomian Tiongkok, kekuatan militernya pun ikut meningkat, maka AS dipastikan bakal melemah, dan mereka akan mempunyai kekuatan militer yang cukup untuk mempersatukan Taiwan dengan menggunakan kekuatan militer.
Namun dua tahun lalu terjadi tiga peristiwa yang menimbulkan keraguan Xi Jinping terhadap kekuatannya sendiri. Yang pertama adalah Perang Ukraina, yang kedua adalah masalah korupsi di tubuh Angkatan Roket (AR) Tiongkok, dan yang ketiga adalah decoupling hubungan Beijing-Washington pasca pandemi, membuat perekonomian Tiongkok terjebak dalam keterpurukan.
Dua peristiwa pertama membuat Xi Jinping menyadari bahwa kekuatan militer Tiongkok mungkin tidak setangguh dan sebesar yang ia bayangkan sebelumnya, dan peristiwa ketiga membuat Xi Jinping menyadari, kemampuan ekonomi Tiongkok tidak cukup mapan untuk decoupling dengan dunia. Dari tiga aspek: politik, militer, dan ekonomi, akan penulis sajikan analisa bahwa terpilihnya William Lai Ching-te tidak sampai membuat Xi Jinping dengan gegabah mengobarkan perang.
Taiwan Tidak Berinisiatif Menantang, PKT Tidak Beralasan Menyerang
Dari aspek politik, setelah terpilih menjadi presiden, Wiliam Lai menggelar konferensi pers, dan secara jelas menyebutkan akan menaati sistem ketatanegaraan Republik Tiongkok (Taiwan), tidak arogan juga tidak merendah dengan mempertahankan kondisi sekarang.
Dengan kata lain, ia akan melanjutkan jalur diplomatik Presiden Tsai Ing-wen,dan tidak akan mendeklarasikan kemerdekaan. Maka atas dasar mempertahankan kondisi saat ini, Xi Jinping tak ada alasan untuk menyerang Taiwan. Dengan kata lain, pemerintah Taiwan tidak akan melakukan tindakan apapun yang memprovokasi PKT untuk bertindak agresif.
Mungkin ada pembaca yang berpikir, menyerang Taiwan atau tidak, sepenuhnya adalah keputusan PKT, jika mereka benar-benar hendak menyerang, sama sekali akan abai apa yang sedang Taiwan lakukan. Sebagai contoh, pada saat PD-II, hal berlebihan apa yang telah dilakukan Albania? Tidak ada, tapi Italia tetap harus menduduki Albania. Apakah Cekoslowakia telah melakukan kejahatan? Tidak juga, tapi Hitler tetap mencaploknya. Dengan kata lain, Taiwan Merdeka sebenarnya adalah suatu proposisi yang salah, kunci permasalahan ada pada pihak Partai Komunis Tiongkok sendiri. Jika Xi Jinping benar-benar ingin menyerang Taiwan, meski Taiwan sudah berlutut pun ia akan menyalahkan cara berlututnya.
Secara Militer, PKT Tidak Persiapkan Diri dengan Baik untuk Menyerang Taiwan
Menyerang Taiwan, adalah suatu keputusan militer, jadi membahas aspek kedua ini, maka harus dimulai dari sudut pandang militer. Jika Beijing ingin menyerang Taiwan, ini berarti pasukan mereka harus mempunyai kekuatan yang cukup untuk menyeberangi Selat Taiwan, sekaligus mempunyai kemampuan cukup kuat untuk berperang melawan Amerika Serikat, atau memiliki kemampuan yang cukup kuat untuk mencegah AS ikut campur dalam konflik di Selat Taiwan. Itu sebabnya sejak Xi Jinping mulai menjabat pada 2012, ia segera membenahi pasukan militernya, dan Xi telah melakukan tiga hal:
Hal pertama adalah membersihkan korupsi di tubuh militer. Xi Jinping mulai menangkapi semua “macan besar (istilah untuk koruptor)” di tubuh militer, dua macan terbesar dari Komisi Militer Pusat (organisasi khas dari negara otoriter yang bertanggung jawab atas kekuasaan partai dan memegang kendali atas angkatan bersenjata negara. Red.) yakni dua wakil ketuanya: jenderal Guo Boxiong dan jenderal Xu Caihou.
Hal kedua yang dilakukan Xi adalah melakukan reformasi militer. Pada 2016, PKT telah melakukan reformasi militer berskala terbesar sepanjang sejarah pendirian pemerintahannya, dan mulai dengan mengubah wilayah militer menjadi palagan tempur (zona perang, red.), sekaligus mengubah struktur pasukan dari divisi menjadi brigade.
Xi Jinping berharap lewat reformasi militer dapat meningkatkan modernisasi pada militer, tentu saja melakukan hal ini juga atas pertimbangan politik, dan harus mendobrak fraksi militer yang ada sebelumnya.
Hal ketiga adalah mempercepat produksi perlengkapan dan persenjataan. Kapal induk pertama yakni Liaoning dibeli dari Ukraina, kapal induk produksi dalam negeri pertama yakni Shandong mulai diproduksi pada 2013, lalu mulai mengabdi pada 2019, semua dilakukan semasa jabatan Xi Jinping. Kapal induk ketiga yakni Fujian mulai melaut pada 2022, masih butuh waktu untuk benar-benar siap tempur. Sementara itu kapal perusak type 055 dan type 052 telah diproduksi puluhan unit selama 10 tahun terakhir.
Menumpas korupsi, reformasi militer, dan mengembangkan perlengkapan militer, ketiga hal ini tidak diragukan telah secara positif meningkatkan kepercayaan diri Xi Jinping untuk menyatukan Taiwan secara militer.
Dampak Perang Rusia-Ukraina
Namun Perang Rusia-Ukraina pada 2022, sedikit banyak telah mengubah pemikiran Xi Jinping. Misalnya surat kabar Inggris Financial Times memberitakan, Hillary berkata dirinya pernah memprediksi setelah mengukuhkan kekuasaannya dalam tempo tiga atau empat tahun Xi Jinping “akan mengambil tindakan terhadap Taiwan”.
Selanjutnya Hillary menambahkan, “Menurut saya Ukraina benar-benar telah mencegah hal ini. Menurut pendapat saya, yang terjadi di Ukraina telah menimbulkan dampak yang amat serius terhadap para pemimpin Tiongkok itu.”
Setelah Rusia menginvasi Ukraina, perang ini hingga sekarang telah berlangsung dua tahun lamanya, dan belum juga ada tanda-tanda akan berakhir, pihak Rusia tidak dalam posisi unggul di medan perang: Kapal andalan utamanya Moskva dari Armada Laut Hitam telah ditenggelamkan musuh, kapal perang yang berlabuh di pelabuhan pun dapat dihancurkan oleh rudal anti kapal Ukraina; di darat, di sekitar daerah Kupyansk, Rusia telah dibuat kewalahan oleh Ukraina, dan mereka telah menarik pasukannya dari kota besar Kherson di selatan, sekarang garis pertempuran kedua negara berlangsung relative stagnan di sekitaran Zaporizhia sepanjang Sungai Dnipro.
Melihat kekuatan di atas kertas, Rusia tidak lebih buruk daripada RRT, sementara kemampuan militer Taiwan pasti lebih kuat daripada Ukraina, Rusia menyerang Ukraina sampai mengalami babak belur seperti ini, jika PKT benar-benar menginvasi Taiwan, tentu akibatnya tidak bisa dibayangkan. Perang Ukraina adalah sebuah pelajaran yang nyata, dan membuat Xi Jinping mau tidak mau harus mempertimbangkan lagi kemampuan militernya apakah benar-benar sekuat yang selama ini telah dipropagandakannya?
Perang Ukraina membuat Xi Jinping meragukan masalah kedua, yaitu pekerjaan intelijen PKT. Sebelum Perang Ukraina berkobar, media massa Barat memberitakan, sebenarnya PKT telah sejak lama mengetahui rencana Rusia menyerang Ukraina, khususnya pada saat Olimpiade Musim Dingin di Beijing, Putin dan Xi Jinping telah bertemu, yang kala itu menyatakan kerjasama antara kedua pihak tidak terbatas. Sedangkan di saat perang Ukraina meletus, Kedubes Tiongkok bahkan tidak mengumumkan rencana apapun untuk mengevakuasi warganya. Bahkan beberapa saat setelah perang dimulai, Kedubes Tiongkok untuk Ukraina mengingatkan warga Tiongkok untuk menempelkan sticker bendara Tiongkok pada mobil miliknya.
Apakah pembaca tidak merasa aneh mengeluarkan pengumuman demikian pada saat perang? Mengapa saat perang tidak mengevakuasi warga negaranya? Apakah dengan menempelkan sticker bendera Tiongkok mampu menjamin keselamatan warganya? Sangat jelas, para petinggi PKT beranggapan, Rusia dengan sangat cepat akan berhasil menguasai wilayah Ukraina, dan hubungan Rusia-RRT begitu akrabnya, sehingga hanya dengan menempelkan sticker bendera merah bintang lima saja, maka tentara Rusia tidak akan berani melakukan apapun terhadap para warga Tiongkok.
Maka muncullah pertanyaan, badan intelijen tingkat tinggi PKT dan pihak militer telah menyimpulkan Rusia akan dengan segera menguasai Ukraina, tapi ternyata telah ditampar wajahnya oleh realita. Maka tentu ada alasan bagi Xi Jinping untuk meragukan kemampuan kerja badan intelijennya sendiri, karena badan intelijennya merasa Rusia akan menguasai Ukraina dalam tiga hari, ternyata sekarang sudah dua tahun perang belum juga usai. Jika saja pihak intelijen mengatakan pada Xi Jinping, untuk menguasai Taiwan hanya dibutuhkan waktu seminggu, tapi apakah benar begitu, sepertinya di dalam benak Xi Jinping telah timbul tanda tanya besar.
Masalah Korupsi Pada Angkatan Roket
Menyusul terjadi lagi masalah lain, yang semakin memperkuat kekhawatiran Xi Jinping, yakni masalah korupsi di tubuh Angkatan Roket (AR). Sejak tahun lalu, Xi Jinping telah membersihkan petinggi AR dalam skala besar, termasuk Menhan Li Shangfu, Komandan AR Li Yuchao berikut sejumlah perwira tinggi lainnya.
Belum lama ini kantor berita Bloomberg menjelaskan, pada tubuh AR terdapat masalah korupsi serius selama jangka waktu yang cukup panjang, misalnya rudal balistik yang biasanya bukan diinjeksi dengan bahan bakar, melainkan air, dan tutup lubang peluncuran rudal, ternyata tidak bisa dibuka saat perang karena tutupnya terlalu berat. Yang tampak pada permukaan adalah korupsi di tubuh AR, tapi sebenarnya adalah masalah korupsi pada keseluruhan sistem militer RRT. Apakah hanya AR yang bermasalah, dan AD, AU, AL semuanya bersih? Semuanya berasal dari satu sistem yang sama.
Contoh yang paling mencolok adalah kasus Hu Wenming. Hu Wenming disebut-sebut sebagai bapak kapal induk pertama buatan dalam negeri RRT, dialah yang mengomandoi pengembangan kapal induk Shandong, pada Desember 2023 lalu Hu Wenming dijatuhi vonis 13 tahun penjara. Mengapa? Masalahnya sangat banyak, termasuk transaksi kekuasaan dan seks, korupsi dan suap. Menurut berita resmi RRT, Hu telah meraup uang haram sekitar 50 juta Yuan RMB (783 miliar rupiah, kurs per 23/01), angka sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.
Pada saat terjerat kasus itu Hu Wenming adalah direktur dari China State Shipbuilding Corporation, tapi sebenarnya ia berasal dari AU, di saat yang sama juga pernah menjadi Wakil Manager Norinco Group di AD. Dengan kata lain, satu orang ini pernah menjabat posisi penting di bagian perlengkapan di AL, AD, dan AU, seseorang yang begitu penting posisinya berperilaku begitu korupnya, apakah orang-orang di bawahnya bisa bersih? Bayangkan betapa buruknya kualitas produk persenjataan dan perlengkapan militer Tiongkok.
Persenjataan dan perlengkapan militer RRT dari tampak luarnya terlihat cukup bagus, tapi apakah bisa dipakai atau tidak itu adalah persoalan lain. Misalnya pada 2020, ketika terjadi konflik antara Tiongkok dengan India di perbatasan Tibet, pernah ada rumor beredar, waktu itu kualitas kendaraan khusus militer Mengshi tipe EQ2050 buatan Dongfeng Motor Corporation itu bermasalah, mereka diam-diam menggantikan plat baja berkualitas mobil itu dengan baja biasa, yang mengakibatkan mobil Mengshi itu bermasalah di Tibet.
Peristiwa ini belum memperoleh pembuktiannya hingga saat ini. Tapi pasca beredarnya rumor, para penanggung jawab Dongfeng M-Hero Group telah diperiksa, misalnya Sekretaris Partai Divisi Perlengkapan Khusus Dongfeng sekaligus Wakil GM yakni Zhou Wangsheng dan Wakil Chief Engineer Chen Jianxian telah diperiksa, dan masing-masing telah dijatuhi vonis. Kejadian ini menjelaskan kualitas Mengshi sedikit banyak bermasalah. Jadi masalah kualitas perlengkapan militer PKT, kita bisa lihat hanyalah secuil dari puncak gunung es itu.
Walaupun Xi Jinping mampu mengganti semua pemimpin tersebut dalam waktu singkat, tapi untuk membangun kembali kekuatan tempur pasukan militer, memproduksi kembali perlengkapan yang layak dan memenuhi standar, sepertinya bukan masalah yang bisa diselesaikan hanya dalam tempo dua atau tiga tahun saja. Yang lebih penting adalah, ini bukan pertama kalinya Xi Jinping berusaha memberantas korupsi di tubuh militer.
Sekarang semua petinggi militer telah dipromosikan oleh Xi Jinping sendiri. Dengan kata lain, Xi Jinping memerlukan waktu 12 tahun untuk memberantas korupsi hingga ke akarnya, dan didapatinya orang-orang yang diangkatnya juga sama korupnya. Ini membuktikan, terdapat masalah yang sangat besar di seluruh tubuh militer, siapapun yang diangkat akan sama saja korupnya.
Dukungan AS Terhadap Taiwan
Yang paling penting adalah, di belakang Taiwan ada dukungan AS, selama beberapa tahun terakhir, pada kesempatan yang berbeda Presiden AS Joe Biden telah empat kali menyatakan secara terbuka, jika Tiongkok menyerang Taiwan, maka AS akan mengirim pasukan membantu Taiwan. Sedangkan pada Januari 2023 lalu, CSIS telah membuat simulasi militer yang sangat rinci, dengan melakukan simulasi terhadap 24 kondisi, dalam ke-24 simulasi tersebut, AS memenangkan 22 kali di antaranya. Dengan kata lain, dengan kondisi AS bertekad untuk mengirimkan pasukannya, maka invasi Tiongkok terhadap Taiwan akan menghadapi risiko yang teramat besar.
Dari segi militer, PKT tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk menyerang Taiwan, juga tidak ada persiapan yang baik untuk terlibat konflik dengan AS di kawasan Samudera Pasifik, jadi dari hasil pilpres Taiwan kali ini, siapapun yang menjabat, tidak akan terjadi perang.
Ekonomi Tiongkok Terjebak Dalam Keterpurukan
Lalu dari tinjauan aspek ekonomi, kantor berita Bloomberg baru-baru ini mengeluarkan laporan yang menyebutkan, jika di Selat Taiwan terjadi perang, seluruh dunia akan membayar sekitar 10 triliun dolar AS, atau setara dengan 10% PDB seluruh dunia. Berdasarkan laporan ini, PDB Taiwan akan berkurang 40%, dan PDB Tiongkok pada tahun pertama akan turun 16,7%, sedangkan PDB AS akan turun 6,7%.
Dengan kata lain, jika terjadi perang di Selat Taiwan, maka kerugian Taiwan akan teramat besar, dan kerugian ekonomi Tiongkok juga akan sangat besar, khususnya ekspor impor barang akan terhenti total. Selama dua tahun terakhir, Xi Jinping terus menekankan sirkulasi ekonomi domestik, sedikit banyak ini adalah bagian dari persiapannya untuk berperang.
Tapi selama setahun terakhir, sangat jarang terdengar lagi istilah sirkulasi ekonomi domestik, mungkin karena para petinggi PKT telah menyadari, jika ekonomi Tiongkok decoupling dengan dunia, maka akan mendatangkan pukulan yang sangat mematikan. Belum lama ini Menteri Hubungan Eksternal RRT telah berkunjung ke AS, juga telah beberapa kali mengemukakan kerjasama RRT-AS, dan niat hidup berdampingan secara damai.
Intinya, dua tahun lalu Xi Jinping mungkin mengira pasukannya dan ekonominya telah mempersiapkan diri dengan matang. Tapi sejumlah peristiwa yang terjadi dua tahun terakhir ini, mulai dari perang Ukraina, korupsi di tubuh militer, sampai ekonomi yang terus merosot hingga setahun terakhir, telah membuat Xi Jinping menyadari bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk berurusan dengan AS.
Satu setengah tahun lalu ketika Ketua DPR AS Nancy Pelosi berkunjung ke Taiwan, sebagian orang di Tiongkok sesumbar dengan mengatakan, selama pesawat yang ditumpangi Pelosi berani mendarat, maka itulah saatnya reunifikasi Taiwan secara militer. Tetapi Pelosi sudah datang, Dimana pasukan PKT? (mantan pemimpin redaksi surat kabar Global Times) Hu Xijin juga pernah menyatakan, di saat tentara AS tiba di Taiwan, itulah waktunya mengobarkan perang terhadap Taiwan, tapi nyatanya beberapa kali surat kabar Wall Street Journal memberitakan, pasukan AS telah tiba di Taiwan membantu tentara negara itu berlatih, berarti pasukan AS sudah datang, dimana pasukan PKT? Sekarang ada lagi orang yang mengatakan, William Lai Ching-te terpilih menjadi presiden, perang akan meletus. (sud/whs)