Kaitan Antara Balas Dendam Militer dengan Motif Pembunuhan yang Dilakukan Polisi di Hunan, Tiongkok

oleh Zhou Xiaohui

Epochtimes.id- Sebuah kejadian yang menarik perhatian banyak orang di Tiongkok adalah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anggota polisi Shangmei Zhen (town), Hunan terhadap warga sipil.

Microblogging milik Kantor Kepolisian Xinhua County, Hunan, Tiongkok pada 23 Desember memberitakan bahwa seorang warga sipil mati tertembak oleh pembunuhnya yang bernama Chen Jianxiang, 46 tahun. Ia masih menyandang sebagai anggota polisi Shangmei Zhen. Kepolisian langsung mengeluarkan perintah pencarian dan penangkapan pelaku.

Malam harinya, microblogging tersebut kembali memuat sebuah artikel yang berasal dari reporter ‘Harian Hunan’ bernama Li Guobin yang mengatakan bahwa, Chen telah membunuh 2 orang yang masing-masing adalah pria bermarga Zou, 36 tahun, petugas Dinas Pendidikan Xinhua County, dan pria bermarga Duan, usia 58 tahun, seorang karyawan yang sudah pensiun.

Menurut netizen setempat bahwa Chen Jianxiang tersebut melarikan diri setelah ia berhasil menembak mati seorang wakil kantor kepolisian.

“Ia membawa daftar yang tertulis nama-nama orang yang hendak ia bunuh, antara lain adalah Chen Ying, kepala kantor polisi, kepala kantor keamanan dan ketertiban publik yang berada di lokasi Xihe, Meiyuan beserta reken-rekannya, termasuk kepala preman dan lainnya yang jumlahnya mencapai lebih dari 40 orang” ungkap netizen tersebut.

22 Februari, Xinhua County, Loudi City, Hunan, tembakan polisi menembak. Gambar tersebut menunjukkan gambar terkait kejadian. (Video capture)

“Ia pergi dengan membawa 30 butir peluru dan meninggalkan surat wasiat yang isinya menyebutkan bahwa ia hendak membunuh 30 orang yang membuatnya sakit hati sebagai upaya balas dendam”, lanjutnya.

Selain itu, media Tiongkok mengutip ucapan beberapa penduduk setempat mengabarkan bahwa Chen Jianxiang pernah menjabat sebagai wakil kepala di kantor polisi Xinhua County dalam beberapa tahun terakhir. Ia berkepribadan cukup baik.

Ia masih diakui orang banyak sebagai polisi baik. “Rajin melakukan tugas patrolinya dengan tidak bermalas-malasan. Dan suka menyapa orang-orang yang ia pernah kenal”.

Tidak diragukan lagi, pengumuman Kantor Keamanan dan Ketertiban Publik Xinhua County, berita-berita yang disampaikan netizen mengundang beberapa pertanyaan sebagai berikut:

Pertama, apa motif pembunuhan Chen Jianxiang yang merupakan bagian dari sistem diktator Tiongkok?

Kedua, siapa saja yang hendak ia bunuh ?

Ketiga, apa hubungan dia dengan 2 orang yang sudah menjadi korban penembakannya ?

Keempat, apa yang menyebabkan seorang polisi berkepribadian tidak jelek itu sampai bertekad untuk mempertaruhkan nyawanya ? Apalagi seseorang sudah mencapai usia paro baya, ia semestinya ingin menikmati sukacita keluarga, bukan ?! Apasaja latar belakang dari peristiwa itu.

Mungkin kita bisa menemukan titik terang mengapa Chen Jianxiang membunuh melalui dua peristiwa pembunuhan oleh anggota militer yang pernah terjadi di Tiongkok sebelumnya.

Pada 9 Nopember 2011, 4 orang tentara yunior dari kelompok pasukan no.65331 yang ditempatkan di kota Jilin, Shenyang kabur dari markas dengan membawa senapan otomatis beserta 795 butir peluru.

Sore keesokan harinya, mereka dicegat pihak berwenang di jalan bebas hambatan dekat daerah Fushun. Hanya satu dari mereka yang tertangkap sedangkan 3 lainnya mati saat terjadi tembak menembak.

Ungkapan netizen menyebutkan bahwa peristiwa tersebut bemula dari pemimpin regu mereka yang bernama Yang Fan mengalami penggusuran paksa rumahnya yang terletak di Kampung Liya sehingga keluarganya berkonflik serius dengan pemda setempat.

Hal ini menyebabkan Yang Fan pulang kampung dengan membawa senjata api untuk ‘membalas dendam’. Sedangkan motivasi ketiga rekannya adalah karena rasa simpati dan kesetiakawanan.

Kalaupun kejadian keempat tentara di atas masih tidak sampai menimbulkan konsekuensi serius. Maka insiden militer melakukan “balas dendam kepada musuh di Beijing” yang terjadi  pada tahun 90-an telah menimbulkan sensasi pada masanya.

Pada 21 September 1994, Tian Mingjian, komandan letnan resimen 12 dari garnisun Divisi ke-3 di daerah garnisun Beijing di Tong County. Dia saat itu dengan menggunakan senapan buat Tiongkok (setara AK 47) dan dua ratus buah amunisi menembak mati beberapa pejabat garnisun di lapangan latihan militer.

Ketika itu dia kemudian membajak kendaraan, membunuh beberapa orang warga sipil dan tiba di kawasan kedutaan, adu senjata antara Tian Mingjian dengan polisi bersenjata yang datang mengepung pun tak terelakkan.

Pada saat itu, diplomat Iran Yousef Mohammadi Pishknari berada dalam kendaraan sedang menghantarkan keempat orang anaknya ke sekolah tertembak mati oleh Tian beserta seorang anaknya.

17 orang sipil yang saat itu berada dalam bus dan naik sepeda menuju tempat kerja juga menjadi korban mati akibat peluru yang diberondongkan oleh Tian. Akhirnya nayawa Tian Mingjian pun dicabut oleh penembak jitu yang didatangkan.

Dilaporkan bahwa Tian Mingjian murka akibat istrinya dipaksa untuk menjalani aborsi karena mengandung anak keduanya. Kepalang karena ‘kehilangan anak kedua dan istrinya juga sedang dalam kondisi gawat’ memaksa Tian melakukan tindakan ekstrem itu.

Insiden Yang Jia menyerang polisi adalah contoh dari kejadian seorang sipil yang terpaksa memberontak untuk melawan kekerasan otoritas.

Seperti yang kita semua ketahui, di bawah kepemimpinan PKT, terutama sejak Jiang Zemin berkuasa korupsi di negara tersebut merajalela. Kerusakan pada sistem pemerintahan dan militer menyebabkan juga naiknya angka kejahatan sebesar 17 sampai 22 % setiap tahun, premanisme tumbuh di mana-mana.

Dalam lingkungan sosial seperti ini, setiap warga sipil sulit untuk keluar dari nasib tertekan dan dimangsa oleh penguasa. Hal ini tentunya juga dialami oleh anggota militer termasuk polisi.

Meskipun setelah Xi Jinping menjabat dan membasmi korupsi, tetapi akibat pengaruh dari pemerintahan otokrasi yang sudah berlangsung cukup lama, untuk mengatasi situasi di atas bukannya hal mudah.

Contoh-contoh pemberontakan rakyat sudah banyak sesekali. Dan munculnya kasus Chen Jianxiang tidak lebih dari sebuah gamparan keras kepada ‘zaman Keemasan’ yang terus dipompa oleh otoritas dengan tanpa mengenal lelah.

Tidak perlu berbicara terlalu banyak, dalam lingkungan sosial yang gelap dan korup seperti sekarang ini, orang yang berbaik hati meskipun menyandang status aparatur negara, akan berubah jahat. Mereka terpaksa memilih menggunakan kekerasan untuk mengatasi kekerasan.

“Hidup susah mati pun tak takut”. Apalagi warga-warga yang bersikap demikian ini masih dilengkapi dengan senjata api, membuat otoritas semakin ketakutan.

Ada nasihat leluhur : Air dapat menghantarkan perahu ke tujuan tetapi dapat juga membuatnya terbalik.

Bila air itu diibaratkan rakyat, dan perahu itu adalah pemerintah, oleh karena itu …. perlu mawas diri. (Sinatra/asr)

Sumber : Epochtimes.com