Diktator Kim Jong Un Klaim Memiliki Tombol Nuklir di Mejanya, Bisa Menyerang Amerika

Oleh Jasper Fakkert

Epochtimes.id- Diktator Korea Utara Kim Jong Un dalam pidato tahun barunya mengklaim bahwa ia memiliki sebuah tombol nuklir di mejanya. Jika dia mengaktifkannya, Kim mengklaim bahwa seluruh Amerika Serikat berada dalam jangkauan senjata nuklirnya.

Ancaman tersebut muncul setelah beberapa dasawarsa kegagalan kebijakan Amerika Serikat yang tidak mampu mencegah rezim komunis mengembangkan senjata nuklirnya.

“Seluruh Amerika Serikat berada dalam jangkauan senjata nuklir kita, dan sebuah tombol nuklir selalu ada di mejaku,” kata Kim dalam pidatonya.

“Tidak peduli berapa banyak Amerika ingin menyerang kita dengan kekuatan militer dan tenaga nuklir mereka, mereka tahu bahwa sekarang kita memiliki kekuatan nuklir yang hebat, oleh karena itu mereka tidak akan berani.”

Kim Jong Un presiden korea utara
Diktator Korea Utara Kim Jong Un dan pejabat komunis lainnya di sebuah lokasi yang dirahasiakan di Korea Utara dalam gambar yang dirilis oleh Kantor Berita Pusat Korea Utara Korea Utara. (Kantor Berita Pusat Korea)

Pejabat pemerintah Amerika Serikat belum mengonfirmasi secara terbuka apakah Korea Utara sekarang memiliki senjata nuklir yang bisa menjangkau Amerika Serikat.

Kendala besar yang tersisa dihadapi rezim komunis adalah mengembangkan hulu ledak yang bisa bertahan mendarat kembali ke daratan setelah meluncur melewati atmosfer. Namun, pada bulan Oktober, Direktur CIA Mike Pompeo mengatakan bahwa Korea Utara hanya beberapa bulan lagi untuk menyempurnakan kemampuan nuklirnya.

Selain itu, menyusul peluncuran rudal balistik antar benua (ICBM) Korea Utara pada bulan November, Menteri Pertahanan AS Jim Mattis mengatakan bahwa Korea Utara sekarang memiliki kemampuan untuk mencapai lokasi di dunia dengan misilnya.

Sejak menjabat Presiden AS pada Januari tahun lalu, Donald Trump telah mencoba untuk menemukan solusi diplomatik terhadap ancaman Korut.

Diktator komunis Korea Utara Kim Jong Un (Foto yang dirilis oleh Korea Utara)

Bersamaan dengan itu dia telah meningkatkan kehadiran militer Amerika di wilayah tersebut dan memerintahkan pejabat tinggi militernya untuk menyiapkan berbagai opsi militer.

Sementara Amerika Serikat jauh lebih unggul secara militer, konflik dengan Korea Utara berpotensi menyebabkan ratusan ribu, bahkan jutaan kematian. Ini adalah sesuatu yang Trump coba hindari selama ini.

“Saya bersikap lunak terhadap Tiongkok karena satu-satunya hal yang lebih penting bagi saya daripada perdagangan adalah perang,” kata Trump dalam sebuah wawancara dengan The New York Times minggu lalu.

Trump telah menekan Xi Jinping dan Vladimir Putin untuk meningkatkan sanksi terhadap Korea Utara.

Namun meski ada dua Sanksi Dewan Keamanan PBB untuk membatasi minyak yang bisa dijual ke Korea Utara, baik kapal Tiongkok maupun Rusia terlihat secara ilegal memasok minyak ke Korea Utara.

Pengiriman minyak tersebut dilaporkan dilakukan di laut di mana minyak tersebut dipindahkan dari kapal Tiongkok dan Rusia ke kapal-kapal Korea Utara.

Trump menyebut Tiongkok, mengatakan bahwa mereka telah tertangkap basah mengirimkan minyak tersebut.

Tidak jelas apakah pemerintah Tiongkok dan Rusia terlibat dalam pengiriman minyak atau apakah dilakukan para penyelundup nakal. Baik Tiongkok maupun Rusia telah menolak disebut terlibat pengiriman tersebut.

Progam Nuklir Melambat

Meskipun Korea Utara telah mengejar senjata nuklir selama beberapa dekade, Korut nampaknya berhasil mengelabui pemerintahan AS untuk membuat kesepakatan.

Pada tahun 1994, kemudian-Presiden Bill Clinton mencapai kesepakatan dengan Korea Utara yang akan memantau rezim tersebut meninggalkan program senjata nuklirnya dengan imbalan bantuan finansial dan material.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, Korea Selatan, Jepang, dan negara-negara lain menyediakan dua reaktor nuklir ringan ke Korea Utara, dengan biaya mendekati $ 4 miliar, di samping bentuk bantuan lainnya.

Bill Clinton mengatakan pada saat itu, “Ini bagus untuk Amerika Serikat. Korea Utara akan membekukan dan kemudian membongkar program nuklirnya. Korea Selatan dan sekutu kita yang lain akan lebih terlindungi. Seluruh dunia akan lebih aman saat kita memperlambat penyebaran senjata nuklir.”

Program batal, Korea Utara menerima bantuan tersebut. Namun demikian, Korut terus mengembangkan senjata nuklir.

Rakyat Korea Utara mendengarkan pidato diktator komunis Korea Utara, Kim Jong-Un, melalui siaran televisi di Pyongyang, 22 September 2017 lalu. (ED JONES/AFP/Getty Images/TheEpochTimes)

Presiden George W. Bush awalnya mengambil garis keras, yang terkenal dengan nama Korea Utara sebagai bagian dari “poros kejahatan” dengan Irak dan Iran.

Dia kemudian terlibat dalam perundingan enam negara dengan rezim nakal tersebut, yang menghasilkan tawaran bantuan sebagai imbalan atas Korea Utara yang menghentikan program nuklirnya.

Selama pembicaraan, Korea Utara melanjutkan program nuklirnya, dan pada tahun 2006 melakukan uji coba nuklir pertamanya. Pada tahun 2007, Korea Utara kembali menerima bantuan dengan imbalan untuk melumpuhkan program nuklirnya. Sekali lagi, rezim tersebut tidak mempertahankan tujuan bargaining.

Di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, sejumlah langkah dilakukan agar Korea Utara memperlambat atau menghentikan program senjata nuklirnya. Dengan pesatnya perkembangan program senjata nuklir Korea Utara di tahun 2017, tampaknya ancaman tersebut telah diremehkan oleh Obama dan pemerintahannya.

Sebuah penilaian yang bocor oleh pejabat intelijen Amerika Serikat pada Juli tahun ini menunjukkan bahwa Korea Utara telah berhasil menghasilkan sebuah hulu ledak nuklir yang dapat dibawa pada sebuah rudal.

Presiden Trump telah menuntut dilakukannya sepenuhnya denuklirisasi Korea Utara sebagai solusi atas krisis di semenanjung Korea. (asr)

Sumber : The Epochtimes