Laporan Menunjukkan Akun-akun Palsu Secara Massif Mendukung Kampanye Propaganda Beijing di Twitter

Frank Fang

Rezim Tiongkok sangat bergantung pada Twitter dan Facebook untuk menyiarkan propaganda negaranya kepada khalayak global dan upaya online rezim Tiongkok diperkuat oleh akun-akun Twitter palsu, menurut laporan-laporan terbaru Institut Internet Oxford bersama dengan Associated Press. 

Marcel Schliebs, penulis utama sebuah laporan berjudul “China’s Public Diplomacy Operations” menurut sebuah siaran pers menyatakan : Kami menemukan bahwa Republik Rakyat Tiongkok semakin mencari untuk menggunakan para diplomatnya untuk memperkuat penyebaran propaganda untuk menghadapi outlet-outlet media yang didukung negara.” 

Laporan tersebut, bersama dengan sebuah laporan kedua yang fokus pada operasi-operasi Tiongkok di Inggris, adalah hasil investigasi bersama selama tujuh bulan oleh Institut Internet Oxford, sebuah departemen di Universitas Oxford, bersama dengan Associated Press.

Sebelum tahun 2019, total ada kurang dari 50 akun diplomatik Tiongkok di Twitter, tetapi jumlah itu tumbuh secara eksponensial menjadi 189 akun per tanggal 1 Maret. Di bulan yang sama, terdapat 84 akun diplomatik Tiongkok di Facebook.

Menurut laporan, akun-akun diplomatik ini dikaitkan dengan  Kedutaan Besar Tiongkok, para duta besar Tiongkok, para konsul Tiongkok, atau staf kedutaan lainnya di 126 negara.

Akun-akun diplomatik ini adalah sangat aktif di Twitter. Antara Juni 2020 hingga Februari 2021, akun-akun ini men-tweet 201.382 kali, dan tweet-tweet ini disukai hampir 7 juta kali, dikomentari satu juta kali, dan me-retweet 1,3 juta kali.

Misalnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hua Chungying, yang membuat akun Twitter-nya pada Oktober 2019, men-tweet 2.036 kali dalam periode sembilan bulan dan postingannya telah di-retweet 171.651 kali.

Para netizen Tiongkok tak memiliki akses langsung ke Twitter atau pun Facebook karena Twitter dan Facebook dilarang di Tiongkok. Mereka biasanya menggunakan jaringan pribadi virtual (VPN) untuk menerobos blokade internet Tiongkok untuk mengakses situs-situs web yang dilarang.

Laporan tersebut juga memeriksa 10 media terbesar yang dikelola pemerintah dan aktivitas media sosial milik pemerintah yang memiliki 176 akun mereka di Twitter dan Facebook. 

Selama interval sembilan bulan yang sama, media-media ini memposting lebih dari 700.000 kali, menerima 355 juta suka, lebih dari 27 juta komentar, dan membagikan ulang, selama interval sembilan bulan yang sama. Kemudian 10 media termasuk Xinhua News dan CGTN, perpanjangan tangan global dari CCTV penyiar negara.

Namun demikian, para pengguna Twitter mungkin tidak dapat dengan cepat mengidentifikasi afiliasi-negara dari 189 akun diplomatik. Menurut laporan tersebut, hanya 14 persen dari akun-akun ini, atau 27 akun, diberi label sebagai konten negara.

Twitter mulai memberi sebuah label pada akun pemerintah dan akun media yang berafiliasi dengan negara, termasuk para pejabat penting pemerintah pada bulan Agustus tahun lalu, dalam sebuah upaya untuk memberi orang-orang “konteks sehingga mereka dapat membuat keputusan-keputusan yang terinformasi terhadap apa yang mereka lihat.”

Para diplomat Tiongkok dan media yang dikelola pemerintah Tiongkok,  menikmati keterlibatan tingkat-tinggi semacam itu di Twitter karena sebagian didorong oleh “akun-akun penyebar-super.”

“Akun-akun pengguna ini dengan cepat terlibat dengan konten Republik Rakyat Tiongkok, hanya dalam hitungan detik di antara tweet ulang. Kami menemukan bahwa hampir setengah dari semua akun-akun Republik Rakyat Tiongkok yang ditweet ulang itu berasal dari 1% teratas dari para penyebar-super,” menurut laporan tersebut.

Terlebih lagi, banyak cuitan ulang yang berasal dari akun-akun Twitter ditangguhkan hingga 1 Maret. Secara keseluruhan, 10 persen dari tweet ulang adalah akun-akun diplomatik Tiongkok yang diterima, dan 7 persen dari tweet ulang adalah akun-akun media yang dikelola negara didapat, kemudian ditangguhkan.

Misalnya, 34 persen tweet ulang yang diterima Duta Besar Tiongkok untuk Serbia dalam periode sembilan bulan berasal dari akun-akun yang ditangguhkan. Duta Besar tersebut melakukan tweet 90 kali dan menerima 4.502 tweet ulang.

Namun, laporan tersebut menunjukkan bahwa, hanya Twitter yang mengetahui mengapa akun-akun ini ditangguhkan.

“Para diplomat Republik Rakyat Tiongkok menggunakan gambar-gambar, simbol-simbol, dan gagasan-gagasan di jaringan-jaringan media sosial untuk mengalihkan perhatian khalayak asing sebagai sebuah alat pembentukan agenda-agenda kebijakan dan narasi-narasi luas di luar negeri. Tujuan akhirnya adalah terciptanya sebuah narasi di luar negeri yang menguntungkan Republik Rakyat Tiongkok,” demikian laporan tersebut menyatakan.

Pada Agustus 2019, Twitter menangguhkan 936 akun yang berasal dari Tiongkok yang berusaha merusak gerakan pro-demokrasi di Hong Kong. 

Hampir setahun kemudian, pada Juni 2020, Twitter menghapus sekitar 173.750 akun yang dikaitkan dengan Beijing yang terlibat “dalam berbagai kegiatan-kegiatan terkoordinasi yang bersifat manipulatif,” seperti mendorong “narasi-narasi yang menipu mengenai dinamika-dinamika politik di Hong Kong.”

Laporan tersebut juga menganalisis dengan cermat dua akun Twitter — milik Liu Xiaoming, mantan Duta Besar Tiongkok untuk Inggris, dan  Kedutaan Besar Tiongkok di London. Dari Juni 2020 hingga Januari 2021, sebuah jaringan 62 akun yang terkoordinasi didedikasikan untuk memperkuat pesa-pesan dari dua akun tersebut.

Dari 62 akun, 60 akun akhirnya ditangguhkan oleh Twitter, di mana 29 akun di antaranya karena alasan manipulasi platform. Dua akun yang sisa dihapus oleh para penggunanya.

“Akun-akun tersebut tampaknya menghasilkan sedikit keterlibatan tambahan dari para pengguna yang asli, tetapi mungkin berkontribusi pada penguatan muatan diplomat Republik Rakyat Tiongkok dengan cara memanipulasi algoritme-algoritme platform,” laporan tersebut menyatakan terkait 62 akun tersebut.

Sangatlah penting mempelajari operasi-operasi pengaruh Beijing di Twitter dan Facebook, menurut Philip Howard, seorang profesor di Universitas Oxford dan salah satu penulis laporan itu.

“Dengan mengungkap skala dan jangkauan kampanye diplomasi umum Republik Rakyat Tiongkok, kita dapat lebih memahami bagaimana seharusnya para pembuat kebijakan dan perusahaan media sosial bereaksi terhadap strategi propaganda Republik Rakyat Tiongkok yang semakin tegas,” kata Philip Howard menurut siaran pers. (Vv)